Juga kurang tepat membuat nama-nama sedemikian rupa sehingga mirip bahasa asing, tapi terlalu memaksakan sehingga malah ganjil.Â
Misalnya, seorang ibu Katolik mengira, asalkan berakhiran -us seperti nama orang suci Katolik (misalnya Santo Fransiskus), suatu nama pasti baik.
Maka si ibu ini dengan mantap memberi nama anaknya Kementus. Sekilas mirip nama santo, tapi...tidak ada seorang pun santo bernama Kementus. Ketika si anak pergi kuliah di Jogja, dia diledek teman-temannya yang orang Jawa. Mengapa? Dalam bahasa Jawa, kementhus justru artinya sok pintar ^_^.Â
Karena itu, sebaiknya meminta petunjuk dan nasihat dari tokoh agama atau orang yang sungguh paham bahasa-bahasa asing tersebut sebelum memberi nama anak.Â
Repot juga nanti ketika harus mengganti nama lewat proses hukum di pengadilan.
5. Aspek sejarah
Bung Karno pernah menulis, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah. Hal ini juga berlaku ketika orang tua memberi nama bayi.Â
Karena itu, sebaiknya orang tua mencari tahu, apakah nama yang akan mereka berikan ternyata terkait nama tokoh dunia maupun nasional yang -sayangnya-terkenal dursila.Â
Nama-nama artis dan tokoh publik (yang masih hidup) sering jadi rujukan orang tua zaman sekarang dalam memberikan nama bayi. Bahkan, beberapa bayi dinamai persis dengan nama artis dan tokoh publik. Pernah terpikir kah, bagaimana jika si artis atau tokoh publik (yang masih hidup) ini terjerumus narkoba atau skandal memalukan? Hmm...runyam kan jadinya? Tapi, kalau sudah telanjur, ya gimana :)
Karena itu, ada baiknya memilih nama yang secara historis "sudah teruji". Para tokoh suci agama-agama dan kepercayaan, pahlawan nasional, ilmuwan, olahragawan, politikus, dan nenek moyang budiman bisa menjadi pilihan yang baik.
Wajarkah Memberi Nama Terkait Corona dan Wabah Lainnya?