Nama juga adalah sebuah doa. Ini bisa dijelaskan secara psikologis pula. Doa identik dengan sesuatu yang diulang-ulang agar dikabulkan. Nama juga demikian. Bayangkan berapa juta (atau miliar) kali seseorang mendengar namanya dipanggil sepanjang hidupnya?
Jika nama itu bermakna baik misalnya, "Budi" dan "Utami" tentu si anak akan terpacu untuk menjadi seorang berbudi luhur. Nama menjadi afirmasi sikap yang ia kembangkan dalam hidup.
3. Aspek budaya
Pemberian nama juga terkait erat dengan budaya masyarakat setempat. Setiap masyarakat memiliki cara untuk meneruskan kearifan budaya, termasuk dengan menetapkan semacam norma pemberian nama bayi.
Suku-suku tertentu bahkan mewajibkan seperangkat nama untuk bayi-bayi yang lahir demi mempertahankan identitas budaya. Tentu saja, nama-nama ini bisa dipastikan bermakna positif bagi budaya setempat.Â
Di Indonesia, kita beruntung memiliki khazanah nama-nama bayi yang amat kaya. Kita memiliki ratusan bahasa daerah yang menyediakan nama-nama positif. Pula kosakata bahasa Indonesia menyediakan bagi kita banyak sekali kata positif untuk menamai anak-anak.Â
4. Aspek bahasa
Pemberian nama dari bahasa asing secara serampangan bisa mengganggu. Apalagi, bila nama-nama asing itu dicomot begitu saja tanpa memperhatikan apa artinya dalam bahasa asing.Â
Terkadang, kita mengira semua kata dari bahasa asing, apalagi bahasa-bahasa yang dipergunakan untuk menulis kitab-kitab suci aneka agama adalah kata-kata yang selalu baik.
Padahal tidak selalu. Misalnya, salah satu kata bahasa Ibrani (bahasa asli Kitab Suci Perjanjian Lama umat kristiani) adalah abad atau avad.
Seorang ayah Katolik mungkin mengira, "Kata ini dari bahasa Ibrani, pasti baik artinya." Sang ayah lantas memberi nama anaknya Avad. Padahal, avad dalam bahasa Ibrani itu artinya budak.Â