Belum lama ini istilah 'nasi anjing' menjadi buah bibir. Pasalnya, pemberian 'nasi anjing' bagi warga di kawasan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu 26/4 dini hari sempat memicu kemarahan.
Warga tak terima diberi bantuan makanan siap santap dalam bungkusan berlogo kepala anjing disertai tulisan 'Nasi Anjing'. Tentang 'nasi anjing' akan kita ulas setelah kita membahas 'nasi kucing'.
'Nasi kucing' dan 'nasi anjing' memang dua istilah yang (bisa) buat terbahak dan resah. Adapun 'para ibu-bapak' bisa bikin tertawa. Kok bisa? Bagaimana kisahnya?
Rekan penulis menceritakan pengalaman nyata yang dialaminya bertahun silam di Yogyakarta. Ia tinggal bersama banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Suatu hari, ia mengajak ngobrol seorang mahasiswa dari Indonesia timur yang belum lama tiba di Jogja.Â
"Yuk kita ke warung angkringan di ujung gang sana. Nanti kita beli nasi kucing."
Si mahasiswa dari Indonesia timur berkomentar begini: "Hah, masak sih beli nasi kucing. Kita kan manusia, bukan kucing!"
Sontak teman penulis tertawa geli. "Namanya memang nasi kucing, tapi itu untuk manusia, kawan."
Bagi orang Jogja, nasi kucing adalah terjemahan dari istilah bahasa Jawa "sego kucing".Â
Nasi kucing biasanya berisi nasi sekepalan tangan kurcaci, teri atau irisan telur goreng, dan sayur. Jelas bahwa nasi kucing porsi mini ala kudapan untuk kucing ini tak mengandung daging kucing. Nasi kucing ini andalan anak kos, apalagi yang kiriman uang dari orang tuanya tersendat-sendat.
Rupanya, istilah nasi kucing ini tidak begitu dikenal di sejumlah kawasan di Indonesia timur. Sama halnya dengan istilah angkring(an). Maklum saja, istilah angkringan diserap dari bahasa Jawa.Â
'Nasi Anjing'
Nah, komunitas bernama ARK Qahal di Jakarta Barat membuat istilah 'nasi anjing' untuk menamai nasi bungkus bagi warga terdampak corona.
Bagi anggota komunitas tersebut, kata 'anjing' melambangkan kesetiaan anjing dalam menjaga tuannya. Tentu kita pernah membaca berita tentang anjing yang tak meninggalkan tuannya yang terkubur reruntuhan gempa.Â
Komunitas tersebut membuat bungkusan makanan dengan logo kepala anjing dan tulisan 'Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing #Jakartatahanbanting'.
'Nasi anjing' disajikan dengan porsi yang lebih besar dari 'nasi kucing'. Isi bungkusannya pun bergizi dan halal, yakni cumi, sosis daging sapi, dan teri. Juga tak mengandung sajian daging anjing seperti dugaan warga penerima bantuan.
Pihak kepolisian akhirnya mengadakan mediasi antara dua pihak untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini. Pihak pemberi diminta mengganti logo kepala anjing dan nama 'nasi anjing' yang membuat resah.
Akhirulkalam
Peristiwa heboh pemberian bantuan berupa 'nasi anjing' baru-baru ini dan juga pengalaman rekan penulis soal 'nasi kucing' mengajarkan kita banyak hal.
Pertama, kita perlu berhati-hati saat membuat istilah dan hendaknya jangan menganggap semua orang paham makna istilah (baru) yang kita maksudkan.
Kedua, kita perlu peka terhadap perbedaan persepsi makna suatu istilah terkait keragaman suku, agama, ras, budaya, dan lokasi geografis.
Ada satu cerita menarik. Seorang penyuluh pertanian dari Jawa Tengah baru saja datang di suatu daerah di Kalimantan. Ia menyapa hadirin dengan berkata, "Selamat pagi, para ibu dan bapak..."
Mendadak semua peserta penyuluhan itu tertawa terbahak-bahak.Â
Si Mas Penyuluh Tani ini bingung. "Kenapa mereka tertawa. Apa yang lucu? Apa saya lupa mengancing ritsleting celana, ya?"
Ia tengok ke bawah, celananya baik-baik saja.Â
Dari belakang, rekannya berbisik,"Mas, jangan pakai kata para. Bahasa daerah sini, para itu pantat!"
Oh, pantas saja. Dalam pemahaman warga setempat, para ibu dan bapak berarti ... ibu dan bapak (^_^)!
Apakah para pembaca, eh...pembaca sekalian pernah mengalami hal senada? Sila tinggalkan komentar cantik. Sila bagikan coretan ini bila dipandang tak bikin huru-hara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H