Rupanya, istilah nasi kucing ini tidak begitu dikenal di sejumlah kawasan di Indonesia timur. Sama halnya dengan istilah angkring(an). Maklum saja, istilah angkringan diserap dari bahasa Jawa.Â
'Nasi Anjing'
Nah, komunitas bernama ARK Qahal di Jakarta Barat membuat istilah 'nasi anjing' untuk menamai nasi bungkus bagi warga terdampak corona.
Bagi anggota komunitas tersebut, kata 'anjing' melambangkan kesetiaan anjing dalam menjaga tuannya. Tentu kita pernah membaca berita tentang anjing yang tak meninggalkan tuannya yang terkubur reruntuhan gempa.Â
Komunitas tersebut membuat bungkusan makanan dengan logo kepala anjing dan tulisan 'Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing #Jakartatahanbanting'.
'Nasi anjing' disajikan dengan porsi yang lebih besar dari 'nasi kucing'. Isi bungkusannya pun bergizi dan halal, yakni cumi, sosis daging sapi, dan teri. Juga tak mengandung sajian daging anjing seperti dugaan warga penerima bantuan.
Pihak kepolisian akhirnya mengadakan mediasi antara dua pihak untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini. Pihak pemberi diminta mengganti logo kepala anjing dan nama 'nasi anjing' yang membuat resah.
Akhirulkalam
Peristiwa heboh pemberian bantuan berupa 'nasi anjing' baru-baru ini dan juga pengalaman rekan penulis soal 'nasi kucing' mengajarkan kita banyak hal.
Pertama, kita perlu berhati-hati saat membuat istilah dan hendaknya jangan menganggap semua orang paham makna istilah (baru) yang kita maksudkan.
Kedua, kita perlu peka terhadap perbedaan persepsi makna suatu istilah terkait keragaman suku, agama, ras, budaya, dan lokasi geografis.