Ada yang menarik saat penulis membaca sebuah artikel ilmiah di laman Harvard. Artikel itu bila diterjemahkan judulnya adalah "COVID-19 PM2.5: Sebuah studi nasional mengenai paparan jangka panjang polusi udara dan kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat."
Studi terbaru Harvard University ini memang meneliti hubungan antara polusi udara dan kasus korona di AS, namun kiranya bisa "menjelaskan" pula tingginya jumlah (kematian) pasien korona di Jakarta. Bagaimana penjelasannya?
Latar belakang studi di AS tersebut
Ilmuwan Amerika Serikat memperkirakan, COVID-19 bisa mengakibatkan meninggalnya antara 100.000 dan 240.000 orang di Negeri Paman Sam itu.
Lazimnya, pasien korona semakin tinggi risiko meninggal dunia bila mereka telah memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Nah, sebagian besar kondisi atau penyakit penyerta yang meningkatkan risiko kematian untuk COVID-19 adalah penyakit yang juga dipengaruhi oleh paparan jangka panjang polusi udara terhadap pasien.Â
Studi Harvard University ini menyelidiki apakah paparan rata-rata jangka panjang terhadap partikel halus (PM2.5) meningkatkan risiko kematian COVID-19 di Amerika Serikat atau tidak.
Metode studi
Tim peneliti yang terdiri dari Xiao Wu, Rachel C. Nethery, Benjamin M. Sabath, Danielle Braun, dan Francesca Dominici mengumpulkan data dari sekitar 3.000 kabupaten (counties) di Amerika Serikat (98% dari populasi) hingga tanggal 4 April 2020.Â
Para peneliti juga telah memperhitungkan aneka faktor yang turut mempengaruhi tinggi-rendah jumlah kematian pasien korona. Faktor-faktor ini antara lain ukuran populasi, ketersediaan ruang perawatan rumah sakit, jumlah individu yang diuji, cuaca, dan variabel sosial ekonomi dan perilaku (termasuk obesitas dan merokok).Â
Hasil studi
Para peneliti Harvard menemukan bahwa peningkatan hanya 1 mikron g / m3 dalam PM2.5 dikaitkan dengan peningkatan 15% pada tingkat kematian akibat COVID-19. Interval kepercayaan 95%. Hasilnya signifikan secara statistik.