Menyimak data perkembangan kasus korona di dunia yang disajikan John Hopkins University, ada satu hal yang menarik perhatian. Sampai Minggu  5 April, kasus positif korona Indonesia di bawah Luxembourg. Indonesia melaporkan 2.092 kasus positif, sedang Luxembourg 2.729 kasus. Perbedaannya mencapai 700-an kasus.
Aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin kasus positif korona yang dilaporkan Indonesia, negeri dengan 267 juta jiwa penduduk pada 2019 bisa lebih sedikit dari Luxembourg yang penduduknya cuma 602 ribu jiwa? Apakah ini mukjizat atau justru gejala underreported (yang disengaja)?
Gejala Underreported
Apa yang terjadi di Indonesia sangat mungkin adalah gejala underreported kasus positif korona. Gejala underreported artinya kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada kasus yang sungguh terjadi di lapangan.
Sebenarnya, banyak negara lain, termasuk negara maju pun juga underreported dalam hal pelaporan kasus korona. Tiongkok dan Italia, misalnya, diduga kuat juga mengalami gejala underreported.
Ada beberapa faktor mengapa suatu negara hanya melaporkan sedikit kasus positif korona dibanding kenyataanya:
1. Menjaga citra negara: ini terutama berlalu di negara otoritarian. Tak perlu disebutkan, kita tahu contoh-contohnya.
2. Menjaga citra pemerintah yang berkuasa dari serangan pihak oposisi.
3. Mencegah agar warga tidak panik.
4. Menutupi kelambanan otoritas pemerintah dalam menangani wabah
5. Tidak cukupnya tes medis dalam jumlah besar untuk mendeteksi pasien.
6. Warga diliputi ketakutan untuk melaporkan diri dan memeriksakan kesehatan.
Kasus Underreported di Italia
Sebagai studi kasus, mari kita simak kasus underreported di Italia. Setakat ini, Italia melaporkan 124.632 kasus positif, 15.362 di antaranya berakhir dengan kematian pasien.
Analisis aneka pengamat Italia sebagian besar bermuara pada satu kesimpulan. Angka kasus positif yang sungguh terjadi di lapangan bisa berlipat-lipat dari angka yang dilaporkan.Â
Di Lombardia, episentrum korona di Italia, angka kematian akibat korona diperkirakan lima kali angka yang dilaporkan. Ini adalah pendapat  Massimo Galli, spesialis penyakit menular di Rumah Sakit Sacco, Milan.
Menurut Galli, jumlahnya pasien positif korona yang dilaporkan tergantung pada seberapa banyak orang yang dapat dijangkau oleh tes medis yang dilaksanakan. Data resmi hanya  sebagian mewakili jumlah pasien positif korona yang sebenarnya. Apalagi, sebagian pasien memilih mengunci diri di rumah daripada memeriksakan diri ke rumah sakit.
Pada hemat penulis, rasa enggan memeriksakan diri ini kiranya disebabkan sejumlah faktor: 1) takut harus  menjalani perawatan yang lama dan membosankan di rumah sakit, 2) takut tertular korona di rumah sakit, 3) pasien hanya memiliki gejala ringan dan memutuskan tidak perlu memeriksakan diri.
Sebuah studi atas kasus kematian di Nembro, Italia Utara menunjukkan bahwa kematian di daerah itu di kala wabah korona mencapai 4 kali lipat angka kematian normal.Â
Studi atas kota kecil Nembro ini dapat mencerminkan bahwa sebenarnya jumlah kematian akibat korona di Italia bisa mencapai 4 kali lipat angka resmi yang dilaporkan. Kita tahu, proses untuk mencapai kesimpulan bahwa seseorang wafat karena korona memerlukan tes yang tidak selalu tersedia, harus lewat prosedur berbelit, dan waktu yang lama.
Maka, cara paling mudah untuk menduga angka kematian sebenarnya akibat korona adalah membandingkan jumlah kematian pada waktu wabah dengan jumlah kematian rata-rata sebelum wabah.
Jumlah kematian yang meningkat tajam di kala korona menjadi indikator yang kuat bahwa korona lah faktor penyebab utamanya.
Gejala Underreported di Indonesia
Berbeda dengan Korea Selatan yang sejak awal melakukan tes massal pada warga, Indonesia terlambat dan terkesan pelit melakukan tes massal  untuk mengetahui angka positif korona sesungguhnya.
Bahkan setelah datangnya alat uji, kenyataan di lapangan menunjukkan, otoritas kesehatan negara kita tidak lantas secara massal mengadakan uji tes korona.
Seperti dilansir kompas.com, sejak 31 Desember 2019 hingga 1 April 2020 jumlah spesimen tes Covid baru mencapai 7.193 spesimen. Sementara, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 264 juta jiwa, total spesimen yang telah diperiksa terlalu kecil.Â
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengkritisi gejala "kemalasan memeriksa warga" ini. Padahal, menurut Daeng, pemerintah sebenarnya dapat memanfaatkan puskesmas hingga rumah sakit umum daerah tipe C dan D yang banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia
Seperti dikutip dari sumber ini, Indonesia adalah negara dengan performa tes COVID-19 terburuk di dunia setelah Bangladesh. Berdasarkan data yang telah diolah oleh @jodigraphics15, Indonesia hanya melakukan dua tes untuk setiap 100.000 penduduk. Sementara Malaysia melaksanakan 112 tes, Singapura 672 tes, dan Korea Selatan 843 tes untuk setiap 100.000 penduduknya.
Mengetahui Jumlah Kasus Positif Sebenarnya Amat Penting
Sejatinya, mengetahui jumlah kasus positif yang real terjadi di lapangan amat penting untuk mencegah penyebaran korona. Keuntungannya:
- pasien sadar dirinya harus berobat dan melakukan swakarantina
- orang-orang dekat pasien sadar risiko kontak dekat dengan pasien
- memberikan informasi mengenai peta dan kronologi penyebaran korona
- memberikan informasi mengenai kebutuhan obat, APD, dan ruang perawatan yang harus disediakan
Untuk (Si)apa Memelihara Gejala Underreported?
Pertanyaan berikutnya, untuk (si)apa pihak-pihak tertentu memelihara gejala underreported di tanah air kita? Apakah oknum-oknum itu tidak merasa bersalah bila jatuh korban jiwa sia-sia karena tak diadakan tes massal korona yang mudah diakses warga?
Melalui tulisan sederhana ini, penulis sebagai warga biasa menggugah nurani siapa pun yang masih mempertahankan gejala underreported korona agar segera bertindak demi kebaikan bangsa Indonesia.
Yang berkuasa dan yang kuat harusnya melindungi rakyat kecil dan orang-orang tulus, termasuk tenaga medis di tengah wabah korona ini.
Lakukanlah perubahan sebelum semuanya terlambat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H