Menurut Galli, jumlahnya pasien positif korona yang dilaporkan tergantung pada seberapa banyak orang yang dapat dijangkau oleh tes medis yang dilaksanakan. Data resmi hanya  sebagian mewakili jumlah pasien positif korona yang sebenarnya. Apalagi, sebagian pasien memilih mengunci diri di rumah daripada memeriksakan diri ke rumah sakit.
Pada hemat penulis, rasa enggan memeriksakan diri ini kiranya disebabkan sejumlah faktor: 1) takut harus  menjalani perawatan yang lama dan membosankan di rumah sakit, 2) takut tertular korona di rumah sakit, 3) pasien hanya memiliki gejala ringan dan memutuskan tidak perlu memeriksakan diri.
Sebuah studi atas kasus kematian di Nembro, Italia Utara menunjukkan bahwa kematian di daerah itu di kala wabah korona mencapai 4 kali lipat angka kematian normal.Â
Studi atas kota kecil Nembro ini dapat mencerminkan bahwa sebenarnya jumlah kematian akibat korona di Italia bisa mencapai 4 kali lipat angka resmi yang dilaporkan. Kita tahu, proses untuk mencapai kesimpulan bahwa seseorang wafat karena korona memerlukan tes yang tidak selalu tersedia, harus lewat prosedur berbelit, dan waktu yang lama.
Maka, cara paling mudah untuk menduga angka kematian sebenarnya akibat korona adalah membandingkan jumlah kematian pada waktu wabah dengan jumlah kematian rata-rata sebelum wabah.
Jumlah kematian yang meningkat tajam di kala korona menjadi indikator yang kuat bahwa korona lah faktor penyebab utamanya.
Gejala Underreported di Indonesia
Berbeda dengan Korea Selatan yang sejak awal melakukan tes massal pada warga, Indonesia terlambat dan terkesan pelit melakukan tes massal  untuk mengetahui angka positif korona sesungguhnya.
Bahkan setelah datangnya alat uji, kenyataan di lapangan menunjukkan, otoritas kesehatan negara kita tidak lantas secara massal mengadakan uji tes korona.
Seperti dilansir kompas.com, sejak 31 Desember 2019 hingga 1 April 2020 jumlah spesimen tes Covid baru mencapai 7.193 spesimen. Sementara, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 264 juta jiwa, total spesimen yang telah diperiksa terlalu kecil.Â
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengkritisi gejala "kemalasan memeriksa warga" ini. Padahal, menurut Daeng, pemerintah sebenarnya dapat memanfaatkan puskesmas hingga rumah sakit umum daerah tipe C dan D yang banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia