Memang sering terjadi, rasa bersalah setelah melakukan pengguguran kandungan menghantui siapa pun pelakunya seumur hidup. Dalam pelayanan kami, para imam Katolik sebagai konselor, tak jarang kami menjumpai wanita-wanita yang dihantui rasa bersalah atas pengguguran kandungan yang pernah mereka lakukan bertahun-tahun silam.Â
Terapi untuk menyembuhkan trauma para wanita ini sungguh tidak mudah. Antara lain, biasanya para wanita ini diminta untuk mendoakan arwah bayi yang mereka gugurkan.Â
Bayi itu perlu diberi nama, lantas jika tak ada makamnya, para wanita pelaku pengguguran kandungan perlu "membuat" makam untuk mengenang si bayi tersebut secara pantas.Â
Para wanita itu lantas bisa menumpahkan perasaan sesal dan doa mereka di hadapan "makam" bayi yang sudah diberi nama. Saya sendiri belum pernah mendampingi secara langsung proses terapi ini, hanya mendengar saja dari rekan-rekan saya.Â
Para wanita ini lantas diajak untuk melakukan silih atas kesalahan mereka. Silih itu, antara lain, dapat diwujudkan dengan memberi beasiswa untuk satu anak yatim-piatu atau memberi bantuan untuk anak-anak kurang mampu.Â
Sungguh, terapi semacam ini tidak mudah karena terkait dengan sebuah peristiwa yang memengaruhi secara mendalam hidup seorang wanita yang pernah menggugurkan kandungan.Â
Wasana Kata
Akhir kata, sesulit apa pun situasi yang Anda alami, pengguguran kandungan bukanlah solusi. Ilmu pengetahuan telah menunjukkan pada kita bahwa kehidupan bayi sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma.Â
Sejak saat pembuahan itu lah, kehidupan sang manusia kecil itu wajib kita jaga. Juga bila ia adalah buah dari perkosaan atau kehamilan yang tak diinginkan. Juga bila ternyata janin itu mengalami kelainan genetis.
Dosen moral saya pernah mengatakan hal yang sangat relevan untuk menjawab orang-orang yang masih mendukung pengguguran kandungan:
"Coba bayangkan bahwa janin tak bersalah itu adalah Anda.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!