Dalam kesadaran moral universal, manusia tidak boleh dinilai berdasarkan kecacatannya. Pengguguran kandungan selektif sejatinya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius.Â
Bukankah seharusnya, janin yang lemah karena cacat genetik justru harus mendapatkan perhatian lebih, bukan malah digugurkan? Ini adalah prinsip vulnerabilitas: kita yang kuat wajib secara moral melindungi janin yang lemah.Â
Di Indonesia, pengaturan tentang pengguguran kandungan dimuat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada umumnya, semua orang dilarang melakukan pengguguran kandungan.
Berdasarkan pasal 75 UU Kesehatan, disebutkan hanya terdapat dua kondisi pengecualian untuk dilakukannya pengguguran kandungan dengan alasan medis:
- Yang pertama, adanya indikasi darurat kesehatan pada usia dini kehamilan yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, janin menderita kelainan genetik berat, atau cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan sehingga sulit bagi janin untuk bertahan hidup di luar kandungan.
- Kondisi kedua adalah kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma.
Pengguguran kandungan yang dilakukan di luar dari kondisi di atas adalah ilegal. Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 194 UU Kesehatan, yaitu tiap orang yang terlibat tindakan pengguguran kandungan  ilegal dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal sebesar Rp. 1 miliar.
Secara khusus untuk kondisi pengguguran kandungan akibat pemerkosaan, diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau PP Kespro sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan.
Syarat pengguguran kandungan dalam aturan itu disebutkan pada pasal 31, yaitu hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) berdasarkan surat keterangan dokter. Selain itu, dalam pasal 34 (2b) juga disebutkan mengenai syarat menjalani pengguguran kandungan adalah keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain yang membenarkan dugaan telah terjadi pemerkosaan.
Jutaan Kisah, Satu Muara
Tiga kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah para wanita yang berhadapan dengan pilihan amat sulit untuk menggugurkan kandungan mereka.
Dalam sebagian besar kasus, pihak wanita lah yang selalu menjadi korban. Para wanita sering kali menjadi pihak yang didesak pihak pria dan pihak keluarga besar untuk melakukan pengguguran kandungan.
Perasaan wanita yang lebih sensitif dan nurani yang tak bisa dibohongi akan menggemakan rasa bersalah yang sering muncul, "Mengapa aku tega menggugurkan anakku sendiri?" Amat sering terjadi, rasa bersalah itu terus menghantui pihak wanita berpuluh tahun setelah peristiwa pengguguran kandungan terjadi.