Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sesulit Apapun Situasi, Pengguguran Kandungan Bukan Solusi

23 Januari 2020   06:48 Diperbarui: 23 Januari 2020   13:05 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Thinkstock

Sebagai pengantar, dalam artikel ini, saya tidak dapat menulis istilah ab**** karena sistem Kompasiana mencegah iklan obat yang sering mengganggu. Saya sangat paham akan urgensi blok ini. Sebagai ganti istilah tersebut, saya gunakan "pengguguran kandungan". 

Saya harap Anda juga menggunakan istilah "pengguguran kandungan" dalam kolom komentar, untuk menghindari artikel ini kena blok (mencegah saja). 

Sebenarnya amat disayangkan bahwa artikel ini tidak dapat memuat istilah ab****. Warganet pasti mencari dengan kata kunci tersebut. Mungkinkah Kompasiana memberi solusi? 

Tiga Kisah

Mari kita simak tiga kisah berikut. Semua nama hanyalah fiktif belaka.

Melati panik karena tes kehamilan menyatakan bahwa ia mengandung bayi dari kekasihnya. Masalahnya, kekasihnya masih mahasiswa semester awal. 

Melati sendiri masih kelas dua SMA. Kedua sejoli ini jelas belum siap menikah. Apalagi, hubungan mereka tak direstui orang tua Melati karena pacar Melati bukan berasal dari keluarga yang setara status sosialnya dengan keluarga Melati.

Dalam kepanikan, Melati mulai mencari-cari dukun dan obat yang bisa membantunya untuk menggugurkan kandungan. Namun di lubuk hatinya, ia sebenarnya tak mau melakukan pengguguran kandungan. Ia tahu, makhluk mungil di dalam rahimnya tak patut jadi korban demi menutupi aib.

Dalam kebingungannya, Melati berjumpa teman lamanya di SMP dulu, Maria. Maria berkata, "Melati, saya tahu ada lembaga yang bisa membantumu. Kamu bisa melahirkan dengan aman di fasilitas klinik mereka. Jangan buru-buru memilih untuk menggugurkan kandunganmu."

*

Kisah lain, Ibu Mawar terkejut karena ia hamil anak keempat. Suaminya yang hanya kerja serabutan tak menghendaki lagi kehadiran bayi di keluarga mereka. "Kita tak mampu beri makan empat anak, Bu!"

Bu Mawar bingung harus berbuat apa. Jika ia melawan kehendak suaminya, bisa-bisa sang suami meninggalkannya atau bahkan menyakitinya.

Dalam kekalutan, Bu Mawar berkisah pada Bu Kusuma. Bu Kusuma menasihati agar Bu Mawar mengurungkan niatnya. "Masih banyak pasangan suami-istri menantikan buah hati, mengapa Ibu malah ingin menggugurkan kandungan? Cobalah bicara baik-baik dengan suami untuk mencari pemecahan lain."

*

Di kota lain, Ibu Puspa menangis di hadapan pemuka agama yang ia percayai. "Saya menyesal, mengapa saya gugurkan kandungan saya sepuluh tahun lalu. Saya sering mimpi buruk, dihantui rasa bersalah atas tindakan saya itu. Seandainya bayi itu saya rawat, ia pasti jadi penghibur bagi saya setelah suami saya wafat setahun lalu."

Dilema Korban Perkosaan

Kehamilan akibat perkosaan memang selalu dilematis. Di satu sisi, korban sangat mungkin trauma dengan setiap hal yang terkait dengan peristiwa perkosaan yang ia alami. Kehadiran janin yang adalah hasil tindak perkosaan bisa jadi ditolak mentah-mentah oleh korban dan keluarganya.

Akan tetapi, toh hati nurani yang jernih akan berpikir ulang: apa salah bayi "hasil" perkosaan sehingga "pantas" digugurkan? Dalam sejarah, cukup banyak wanita korban perkosaan memutuskan untuk menerima janin yang ia kandung. 

Sejumlah wanita di Rwanda yang diperkosa saat kerusuhan etnis memutuskan untuk merawat janin hasil perkosaan. Meski berat, keputusan itu akhirnya adalah keputusan yang membahagiakan. Ada pengampunan dan kasih sayang luar biasa dalam hidup para wanita dan anak-anak "hasil" perkosaan.

Pula sejumlah biarawati Katolik yang mengandung akibat perkosaan memutuskan untuk merawat janin yang tak diinginkan itu. Keputusan yang sangat berat dan dilematis, namun saat dijalani dengan kesadaran akan cinta pada kehidupan, keputusan itu lah yang paling tepat.

Menggugat Hukum di Indonesia

Sayangnya hukum positif di Indonesia tidak melihat contoh-contoh kebesaran hati para wanita korban perkosaan itu sebagai solusi. Hukum di Indonesia bahkan membolehkan pengguguran kandungan selektif, sesuatu yang amat mengerikan. 

Dalam kesadaran moral universal, manusia tidak boleh dinilai berdasarkan kecacatannya. Pengguguran kandungan selektif sejatinya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. 

Bukankah seharusnya, janin yang lemah karena cacat genetik justru harus mendapatkan perhatian lebih, bukan malah digugurkan? Ini adalah prinsip vulnerabilitas: kita yang kuat wajib secara moral melindungi janin yang lemah. 

Di Indonesia, pengaturan tentang pengguguran kandungan dimuat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada umumnya, semua orang dilarang melakukan pengguguran kandungan.

Berdasarkan pasal 75 UU Kesehatan, disebutkan hanya terdapat dua kondisi pengecualian untuk dilakukannya pengguguran kandungan dengan alasan medis:

  • Yang pertama, adanya indikasi darurat kesehatan pada usia dini kehamilan yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, janin menderita kelainan genetik berat, atau cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan sehingga sulit bagi janin untuk bertahan hidup di luar kandungan.
  • Kondisi kedua adalah kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma.

Pengguguran kandungan yang dilakukan di luar dari kondisi di atas adalah ilegal. Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 194 UU Kesehatan, yaitu tiap orang yang terlibat tindakan pengguguran kandungan  ilegal dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal sebesar Rp. 1 miliar.

Secara khusus untuk kondisi pengguguran kandungan akibat pemerkosaan, diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau PP Kespro sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan.

Syarat pengguguran kandungan dalam aturan itu disebutkan pada pasal 31, yaitu hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) berdasarkan surat keterangan dokter. Selain itu, dalam pasal 34 (2b) juga disebutkan mengenai syarat menjalani pengguguran kandungan adalah keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain yang membenarkan dugaan telah terjadi pemerkosaan.

Jutaan Kisah, Satu Muara

Tiga kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah para wanita yang berhadapan dengan pilihan amat sulit untuk menggugurkan kandungan mereka.

Dalam sebagian besar kasus, pihak wanita lah yang selalu menjadi korban. Para wanita sering kali menjadi pihak yang didesak pihak pria dan pihak keluarga besar untuk melakukan pengguguran kandungan.

Perasaan wanita yang lebih sensitif dan nurani yang tak bisa dibohongi akan menggemakan rasa bersalah yang sering muncul, "Mengapa aku tega menggugurkan anakku sendiri?" Amat sering terjadi, rasa bersalah itu terus menghantui pihak wanita berpuluh tahun setelah peristiwa pengguguran kandungan terjadi.

Memang sering terjadi, rasa bersalah setelah melakukan pengguguran kandungan menghantui siapa pun pelakunya seumur hidup. Dalam pelayanan kami, para imam Katolik sebagai konselor, tak jarang kami menjumpai wanita-wanita yang dihantui rasa bersalah atas pengguguran kandungan yang pernah mereka lakukan bertahun-tahun silam. 

Terapi untuk menyembuhkan trauma para wanita ini sungguh tidak mudah. Antara lain, biasanya para wanita ini diminta untuk mendoakan arwah bayi yang mereka gugurkan. 

Bayi itu perlu diberi nama, lantas jika tak ada makamnya, para wanita pelaku pengguguran kandungan perlu "membuat" makam untuk mengenang si bayi tersebut secara pantas. 

Para wanita itu lantas bisa menumpahkan perasaan sesal dan doa mereka di hadapan "makam" bayi yang sudah diberi nama. Saya sendiri belum pernah mendampingi secara langsung proses terapi ini, hanya mendengar saja dari rekan-rekan saya. 

Para wanita ini lantas diajak untuk melakukan silih atas kesalahan mereka. Silih itu, antara lain, dapat diwujudkan dengan memberi beasiswa untuk satu anak yatim-piatu atau memberi bantuan untuk anak-anak kurang mampu. 

Sungguh, terapi semacam ini tidak mudah karena terkait dengan sebuah peristiwa yang memengaruhi secara mendalam hidup seorang wanita yang pernah menggugurkan kandungan. 

Wasana Kata

Akhir kata, sesulit apa pun situasi yang Anda alami, pengguguran kandungan bukanlah solusi. Ilmu pengetahuan telah menunjukkan pada kita bahwa kehidupan bayi sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma. 

Sejak saat pembuahan itu lah, kehidupan sang manusia kecil itu wajib kita jaga. Juga bila ia adalah buah dari perkosaan atau kehamilan yang tak diinginkan. Juga bila ternyata janin itu mengalami kelainan genetis.

Dosen moral saya pernah mengatakan hal yang sangat relevan untuk menjawab orang-orang yang masih mendukung pengguguran kandungan:

"Coba bayangkan bahwa janin tak bersalah itu adalah Anda. 

Apakah masih tega melakukan pengguguran kandungan?"

Salam cinta kehidupan. Jika ingin berdiskusi lebih lanjut soal tema ini, sila hubungi kontakbobby@zoho.eu. 

Rujukan: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun