"Nilai kursi terbalik" itu adalah 44,44.Â
Berbekal nilai cantik itu, saya didaftarkan masuk SMP favorit. Sebagai anak remaja, waktu itu saya senang juga ketika akhirnya diterima di SMP favorit.
Ada kebanggaan tersendiri ketika mengenakan seragam dengan tulisan nama SMP favorit itu. Namun, sejujurnya jadi murid sekolah favorit tak selalu bahagia.
Ada tiga alasan:
1. Persaingan ketat yang bikin stress.
Aneh juga ya, masih anak SMP tapi sudah merasakan persaingan ketat yang bikin stress. Di SD persaingan ketat tak saya rasakan. Barulah di SMP favorit itu, saya merasakannya. Ada rasa malu ketika nilai saya terpaut jauh dari nilai teman-teman yang tinggi. Akhirnya saya memang terpacu belajar. Menurut saya, ini terlalu berlebihan.Â
Seharusnya masa sekolah (dasar dan menengah) adalah masa yang membahagiakan untuk belajar, bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan bakat. Bukan masa untuk bersaing ketat hanya demi mengejar nilai akademik.
2. Rasa minder karena "kalah" bersaing
Bagi anak yang IQnya di atas rata-rata, tekun, dan dapat ikut (baca:membayar) les privat, bersaing ketat di sekolah favorit itu baik. Pengalaman saya -yang berotak prosesor jadul, tidak terlalu tekun, dan tidak les privat- cenderung pahit.
Saya terdampar di luar sepuluh besar ranking kelas. Nilai saya biasa saja. Kadang saya merasa minder karena tak mampu bersaing dengan anak-anak yang lebih pintar.
Juga-jujur-saya bandingkan diri saya yang berasal dari keluarga biasa dengan teman-teman sekelas yang sebagian anak-anak dosen, dokter, dan pejabat penting di Yogya.