Ramai sekali pembahasan soal zonasi dan sekolah favorit dalam penerimaan siswa baru. Dua Kompasianer telah membahas dari sudut  pandang berbeda.
Simak tulisan menarik Pak Topik Irawan ini yang menekankan bahwa sekolah favorit, pencapaian rangking tertinggi, dan prestasi mengagumkan yang angka-angkanya tertera di secarik ijazah bukanlah tolok ukur kesuksesan seseorang.
Baca juga tulisan cantik Bu Novi Nurul Khotimah yang menyoroti "tren" orang tua pindah rumah hanya demi memperbesar peluang anak mereka diterima di sekolah favorit.
Dalam tulisan ini, saya mengambil sudut pandang sebagai seorang yang pernah jadi murid sebuah sekolah favorit.
Murid SD Swasta Biasa
Saya dibesarkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekolah dasar saya "hanya" sebuah sekolah swasta milik yayasan Katolik. Letaknya di pinggiran kota Yogyakarta.
Meski sekolah pinggiran, saya merasa sekolah dasar saya tak kalah mutunya dengan sekolah dasar favorit. Buktinya, dalam sejumlah perlombaan, sekolah saya bisa menjadi pemenang.
Saya sendiri pernah mewakili SD saya dalam lomba Porseni. Saat itu, saya diminta ikut lomba pidato bahasa Indonesia. Di tingkat kotamadya (kalau tidak salah ingat), saya berhasil masuk tiga besar. Karena itu, saya kembali mewakili SD saya sebagai peserta lomba pidato, kali ini di tingkat yang lebih tinggi, tingkat Provinsi DIY.
Meskipun kalah di tingkat Provinsi dari wakil tuan rumah (yang sejujurnya biasa saja pidatonya..heheh), saya tetap bahagia karena boleh mewakili SD saya di tingkat provinsi DIY.
Masuk SMP Favorit
Bagi Anda yang warga asli kota Yogya, Anda tentu tahu mana saja sekolah favorit di kota Yogya. Saat lulus SD, Nilai Ebtanas Murni saya lumayan tinggi. Nilai itu masih saya ingat karena guru saya pernah berkomentar, "Eh nilaimu kok semuanya kursi terbalik".
"Nilai kursi terbalik" itu adalah 44,44.Â
Berbekal nilai cantik itu, saya didaftarkan masuk SMP favorit. Sebagai anak remaja, waktu itu saya senang juga ketika akhirnya diterima di SMP favorit.
Ada kebanggaan tersendiri ketika mengenakan seragam dengan tulisan nama SMP favorit itu. Namun, sejujurnya jadi murid sekolah favorit tak selalu bahagia.
Ada tiga alasan:
1. Persaingan ketat yang bikin stress.
Aneh juga ya, masih anak SMP tapi sudah merasakan persaingan ketat yang bikin stress. Di SD persaingan ketat tak saya rasakan. Barulah di SMP favorit itu, saya merasakannya. Ada rasa malu ketika nilai saya terpaut jauh dari nilai teman-teman yang tinggi. Akhirnya saya memang terpacu belajar. Menurut saya, ini terlalu berlebihan.Â
Seharusnya masa sekolah (dasar dan menengah) adalah masa yang membahagiakan untuk belajar, bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan bakat. Bukan masa untuk bersaing ketat hanya demi mengejar nilai akademik.
2. Rasa minder karena "kalah" bersaing
Bagi anak yang IQnya di atas rata-rata, tekun, dan dapat ikut (baca:membayar) les privat, bersaing ketat di sekolah favorit itu baik. Pengalaman saya -yang berotak prosesor jadul, tidak terlalu tekun, dan tidak les privat- cenderung pahit.
Saya terdampar di luar sepuluh besar ranking kelas. Nilai saya biasa saja. Kadang saya merasa minder karena tak mampu bersaing dengan anak-anak yang lebih pintar.
Juga-jujur-saya bandingkan diri saya yang berasal dari keluarga biasa dengan teman-teman sekelas yang sebagian anak-anak dosen, dokter, dan pejabat penting di Yogya.
3. Kurang dapat mengembangkan bakat
Demi mendapat nilai ulangan dan ujian yang baik, waktu saya selama sekolah di SMP favorit banyak tersita oleh kegiatan belajar saja. Badan sudah lelah karena belajar. Bakat-bakat seni dan olah raga tidak banyak berkembang. Waktu untuk menikmati masa remaja yang ceria dan penuh eksplorasi menjadi amat sempit bagi saya.
Akhir Indah Satu Kisah yang Tak Selalu Indah
Keluarga saya mungkin tidak pernah tahu apa yang saya rasakan sebagai remaja muda yang harus mengalami situasi sulit sebagai siswa sekolah favorit. Yang keluarga saya rasakan adalah rasa bangga karena saya siswa sekolah favorit. Hiks, kok tetiba saya sedih ya mengenang masa itu...
Oh ya. Selama bersekolah di SMP favorit itu, saya tidak ikut bimbingan belajar ekstra secara privat. Berbeda dengan beberapa teman saya yang keluarganya lebih mampu secara ekonomi sehingga bisa membayar bimbel privat.
Persiapan Ujian Akhir Nasional SMP praktis saya lakukan mandiri, tanpa ikut les, tanpa guru privat. Syukurlah, nilai akhir UAN SMP yang saya dapatkan juga tidak mengecewakan. Bahkan ada rasa bangga karena nilai saya lebih baik dari beberapa teman yang ikut bimbingan belajar atau les privat. Ya, anak dari keluarga biasa ini rupanya bisa juga lulus dari SMP favorit, dengan segala suka-dukanya.
Wahai Orang Tua
Wahai orang tua, jadi murid sekolah favorit itu tak selalu indah. Ini pengalaman saya pribadi. Nah, kadang orang tua kurang menyadari bahwa anak mereka bebani dengan beban berat saat masuk sekolah favorit.
Saran saya, orang tua perlu mendiskusikan rencana mendaftarkan anak ke sekolah favorit dengan anak. Yang jadi murid sekolah favorit adalah anak Anda, bukan Anda.
Setidaknya pengalaman saya di atas bisa jadi bahan permenungan bagi orang tua yang menggebu-gebu ingin anaknya masuk sekolah favorit.Â
Sila menilai dan mengukur kemampuan anak Anda. Ajak bicara anak Anda. Sudah siapkah anak Anda jadi murid sekolah favorit, dengan segala tekanan sosial yang ada? Apakah harus masuk sekolah favorit? Apa yang Anda dan anak Anda cari di sekolah favorit? Hanya kebanggaan sesaat? Apakah tidak lebih baik memilih sekolah yang mengembangkan bakat dan minat anak Anda alih-alih memaksa anak masuk sekolah favorit?
Bagaimana jika nanti anak Anda bernasib mirip saya, anak keluarga biasa yang "tersisih" dalam persaingan antara siswa-siswa sekolah favorit, yang seringkali berasal dari keluarga berada.
Salam Indonesia cerdas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H