Mirisnya lagi, masih terjadinya praktik perjokian jadi tanda bahaya kualitas sarjana kita. Apa jadinya bila peserta yang menggunakan jasa joki akhirnya diterima di perguruan tinggi?
Si curang ini bisa dipastikan akan juga melakukan aneka kecurangan dalam ujian dan penulisan skripsi agar bisa lolos dan mendapat gelar sarjana.
Masyarakat harusnya cemas karena jika para mahasiswa curang ini lulus sebagai sarjana di bidangnya, justru mereka jadi sarjana yang membahayakan masyarakat.
Apa mau ditangani dokter bermutu abal-abal di ruang operasi? Apa mau diberi nasihat oleh dokter yang ternyata dulu lolos ujian masuk dengan menggunakan jasa joki?
Menyigi Solusi
Kelemahan utama sistem pendidikan kita, hemat saya, adalah minimnya pendampingan dan penilaian terhadap proses belajar tiap anak. Semua terlalu difokuskan pada nilai akhir, bukan proses. Karena fokus yang keliru ini, siswa bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapat nilai akademik tinggi, juga dengan mencontek, menjiplak, dan memakai joki.
Justru sistem yang baik sudah ada dalam pendidikan di taman kanak-kanak. Setahu saya, TK memberi rapor yang bersifat deskriptif. Rapor TK bercerita tentang keterampilan motorik si anak, kemampuan si anak dalam bergaul dan berkomunikasi, dsb. Tak lagi rapor TK dihiasi nilai A atau B semata.
Saya pikir, mengapa sistem pendampingan dan penilaian ini tidak juga diterapkan di jenjang SD sampai PT? Bukankah seharusnya, pendidikan itu memadukan intelektualitas dan aspek perkembangan pribadi, termasuk pendidikan perilaku bermoral?
Keaktifan siswa bertanya, rasa ingin tahu siswa, ketekunan siswa dalam mengerjakan tugas, kemampuan siswa untuk bekerjasama dan menghargai rekan, kemampuan siswa dalam berwicara dan menyampaikan gagasan tidak masuk dalam penilaian rapor siswa SD sampai mahasiswa PT kita.
Yang kita lihat di rapor dan ijazah hanya angka-angka semu.