Kabar buruk kembali tersiar dari dunia pendidikan tinggi tanah air. Baru-baru ini empat orang tertangkap tangan menjadi joki tes masuk Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya.Â
Mereka disebut-sebut mahasiswa UGM dan ITB, serta satu lulusan SMA di Kediri. Keempat joki berinisial RD (18) dan Inam (19) yang disebut merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), BA (22) yang disebut mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), serta MM (17) lulusan salah satu SMA negeri di Kediri. Mereka diamankan panitia pelaksana di tengah jalannya tes, Selasa (21/5/2019). Bersama mereka, diamankan pula seorang pengguna.
Konfirmasi UGMÂ
UGM telah mengonfirmasi bahwa salah satu nama yang disebut, yakni RD (18) adalah mahasiswa UGM. Sementara nama kedua, yaitu Inam (19) belum ditemukan dalam data mahasiswa UGM.
Dihubungi salah satu media, ITB belum memberikan keterangan mengenai dugaan salah satu mahasiswanya jadi joki tes masuk Fakultas Kedokteran UMS.
Joki Tanda Mentalitas Sukses Instan
Perjokian dalam dunia pendidikan tinggi dan dalam proses seleksi PNS jadi tanda bahwa sebagian mahasiswa dan pemuda kita ingin sukses dalam waktu singkat tanpa mau belajar.
Inikah produk dari sistem pendidikan kita? Harus diakui, iya. Nyatanya mereka adalah lulusan dari SMA yang penyelenggaraan pendidikannya ada di bawah Kementerian Pendidikan.
Selama ini, walau sudah sedikit dimodifikasi, keberhasilan siswa di sekolah terlalu diukur dengan capaian nilai Ujian Nasional. Guru-guru pun terlalu dibuat sibuk dengan fokus pada cara agar siswa mampu mengharumkan nama sekolah dengan raihan nilai UAN tinggi. Bahkan pada situasi tertentu, sebagian oknum guru disinyalir memberi contekan pada siswa agar mampu mengerjakan ujian nasional dengan baik. Ini rahasia umum.
Akibatnya, pendidikan moral dan proses mengeksplorasi keingintahuan kerap kali dinomorduakan. Demi nama baik sekolah. Demi prestasi akademik.
Joki Tanda Bahaya Kualitas Sarjana Kita
Mirisnya lagi, masih terjadinya praktik perjokian jadi tanda bahaya kualitas sarjana kita. Apa jadinya bila peserta yang menggunakan jasa joki akhirnya diterima di perguruan tinggi?
Si curang ini bisa dipastikan akan juga melakukan aneka kecurangan dalam ujian dan penulisan skripsi agar bisa lolos dan mendapat gelar sarjana.
Masyarakat harusnya cemas karena jika para mahasiswa curang ini lulus sebagai sarjana di bidangnya, justru mereka jadi sarjana yang membahayakan masyarakat.
Apa mau ditangani dokter bermutu abal-abal di ruang operasi? Apa mau diberi nasihat oleh dokter yang ternyata dulu lolos ujian masuk dengan menggunakan jasa joki?
Menyigi Solusi
Kelemahan utama sistem pendidikan kita, hemat saya, adalah minimnya pendampingan dan penilaian terhadap proses belajar tiap anak. Semua terlalu difokuskan pada nilai akhir, bukan proses. Karena fokus yang keliru ini, siswa bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapat nilai akademik tinggi, juga dengan mencontek, menjiplak, dan memakai joki.
Justru sistem yang baik sudah ada dalam pendidikan di taman kanak-kanak. Setahu saya, TK memberi rapor yang bersifat deskriptif. Rapor TK bercerita tentang keterampilan motorik si anak, kemampuan si anak dalam bergaul dan berkomunikasi, dsb. Tak lagi rapor TK dihiasi nilai A atau B semata.
Saya pikir, mengapa sistem pendampingan dan penilaian ini tidak juga diterapkan di jenjang SD sampai PT? Bukankah seharusnya, pendidikan itu memadukan intelektualitas dan aspek perkembangan pribadi, termasuk pendidikan perilaku bermoral?
Keaktifan siswa bertanya, rasa ingin tahu siswa, ketekunan siswa dalam mengerjakan tugas, kemampuan siswa untuk bekerjasama dan menghargai rekan, kemampuan siswa dalam berwicara dan menyampaikan gagasan tidak masuk dalam penilaian rapor siswa SD sampai mahasiswa PT kita.
Yang kita lihat di rapor dan ijazah hanya angka-angka semu.
Maka tak heran, ada sarjana bahasa Inggris yang ketika dites masuk oleh sekolah calon penerima lamaran, ketahuan bahwa si sarjana itu belepotan bahasa Inggrisnya, baik lisan maupun tulisan. Padahal, ia lulusan universitas yang lumayan ternama.
Simak kisahnya dalam tulisan Pak Hamdali Anton ini.
Tak heran, ada guru dan sarjana bahasa Indonesia, tak pernah sekali pun menghasilkan tulisan bermutu (yang layak dimuat di media massa atau layak dijadikan referensi siswa). Jangankan menulis, membaca buku dan karya sastra bermutu saja jarang-jarang.Â
Lalu, bagaimana bisa membimbing anak-anak untuk cinta membaca dan menulis? Bagaimana mereka ini bisa lulus sarjana? Nyatanya bisa. Cukup lulus ujian semester, baca beberapa buku, jiplak sana-sini, mencontek, ikut drill sebelum ujian, pelajari soal tahun lalu, atau pakai joki kalau berduit...
Catatan tambahan saya
Saya salut dengan para guru dan sarjana yang rajin menulis, juga di Kompasiana ini. Tapi jika dihitung, saya amat yakin, lebih banyak guru dan sarjana yang belum mampu menulis dengan baik.Â
Seandainya seluruh guru dan sarjana (bahasa Indonesia saja, misalnya) rajin menulis, juga di blog, saya rasa Kompasiana akan lebih warna-warni lagi, tak seperti sekarang ini.
Salam Indonesia cerdas, tanpa joki!
Sumber:Â 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H