Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "Gali" Dayak Bulusu, Cermin Harmoni dengan Hutan

13 Mei 2019   09:35 Diperbarui: 13 Mei 2019   10:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengar budaya Gali, jangan lantas berpikir soal gali lubang tutup lubang. Dalam bahasa suku Dayak Bulusu yang tinggal di Kalimantan Utara, "Gali" secara harfiah diartikan sebagai "pantang". Budaya ini diwariskan secara turun-temurun di kalangan Suku Dayak Bulusu.

Ritual Jelang Masa Panen Buah
Ritual pantang alias Gali dilakukan setiap kali menjelang masa panen buah.
Tujuan dari Budaya Gali ini adalah agar panen buah melimpah ruah. Nah, sebenarnya apa kaitan budaya Gali dengan panen buah yang melimpah?

Berikut penjelasan putra asli suku Dayak Bulusu, Mader Paulino, mengenai budaya Gali.

1. Permulaan dan akhir masa Gali

Gali biasanya dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama para tokoh adat saat munculnya bunga-bunga di pohon-pohon buah. Melihat tanda-tanda akan terjadi panen buah, dilakukanlah Gali atau pantang.

Gali dilakukan secara terpusat di Balai Adat. Gali diawali dengan memberi makan sesaji "kereganan lawon" atau dalam bahasa Indonesianya kurang lebih berarti "roh-roh yang memberi panen buah". Yang memberikan sesaji kepada "kereganan lawon" ini adalah ketua adat atau orang-orang yang dituakan.


Setelah memberikan makan "kereganan lawon", masyarakat yang hadir akan makan bersama di ruangan Balai Adat. Uniknya, makanan disajikan di atas daun pisang dan mangkok yang digunakan untuk sayur berkuah adalah tempurung kelapa tua.

dok Mader Paulino
dok Mader Paulino

Cara penyajian makanan pada saat pembukaan Gali punya makna yang mendalam bagi Suku Dayak Bulusu.

Gali pada zaman dulu dilakukan selama 1 bulan atau paling cepat 2 minggu. Namun untuk zaman sekarang hal itu akan sangat sulit dilakukan. Alasannya akan penulis sampaikan di bagian berikut.

Berakhirnya masa Gali ini ditandai dengan menikmati madu yang baru saja diambil dari Pohon Mangris.

2. Larangan selama Gali

Selama masa Gali, masyarakat setempat terutama masyarakat Suku Dayak Bulusu dilarang:
a. Menebang pohon baik kecil maupun besar.
b. Menggali tanah.
c. Membakar tumpukan sampah, tumpukan kayu, apalagi membakar kayu-kayu di hutan.
c. Melakukan aktivitas / bekerja di hutan
d. Menimbulkan bunyi yang menyebabkan kebisingan.

Larangan-larangan tersebut di ataslah yang menyebabkan mengapa sekarang sangat sulit melakukan Gali selama 1 bulan. Yang menjadi bahan pertimbangan adalah bagaimana harus berpantang melakukan pekerjaan sementara banyak warga kesehariannya mencari makan dari hutan atau menjadi pekerja kasar yang dalam bekerja menimbulkan kebisingan.

3. Makna Gali

dok Mader Paulino
dok Mader Paulino


Gali sendiri sebenarnya adalah bentuk:

a. Harmoni masyarakat dengan alam semesta

Gali sebenarnya sejenis retret atau saat hening bagi masyarakat Dayak Bulusu. Dengan melakukan Gali, seluruh masyarakat Dayak Bulusu menarik diri dari berbagai macam kesibukan.

Namun yang paling mencolok, di balik kegiatan Gali ini, masyarakat diajak untuk berdamai dengan alam semesta yang adalah Ibu penyedia berbagai kebutuhan hidup.

b. Penghormatan sekaligus Bentuk Syukur kepada Sang Pencipta

Di dalam kegiatan Gali ini juga terdapat makna yang sangat mendalam bahwa di dalam kehidupan ini tidak selamanya harus disibukkan dengan kerja dan kerja. Akan tetapi, hidup ini juga harus disempatkan untuk menyepi, berdamai dengan alam semesta dan mensyukuri kekayaan alam yang adalah pemberian dari Sang Pencipta.

Budaya Gali sebagai Pengingat bagi Para Perusak Hutan

Budaya Gali adalah pengingat bagi kita, manusia, agar tahu menghormati alam ciptaan, terutama hutan. Hutan seharusnya dihormati seperti kita menghormati pribadi yang memberi rezeki sehari-hari. 

Sayangnya, praktik kapitalisme saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan yang dimiliki, sebagian, oleh politisi dan pejabat, untuk membabat habis hutan.

Masyarakat adat seringkali tak berdaya melawan deforestasi yang mirisnya didukung oleh surat izin resmi dari pemerintah yang seharusnya melindungi hutan dan masyarakat adat.

Di kawasan Kalimantan Utara, saat itu terus terjadi deforestasi, baik demi produksi kayu gelondongan maupun demi pembukaan lahan sawit yang sayangnya tidak berkonsep sawit lestari.

Mari belajar dari kearifan lokal masyarakat Dayak Bulusu yang tahu berpantang sejenak dari kegiatan mengambil kekayaan hutan.

Salam lestari!

NB: Artikel ini terwujud berkat izin Mader Paulino, tokoh muda Dayak Bulusu, sahabat penulis. 

Mader Paulino-tengah (dokpri)
Mader Paulino-tengah (dokpri)

Bahan artikel ini diolah dari tulisan Mader Paulino di halaman Facebooknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun