Mendung menggelayut di langit Solo. Tetes hujan di luar jendela seperti berlomba dengan tetes air mata Elena. Sembari mengelus perut yang perlahan membesar, Elena hanya bisa menyesali peristiwa tiga bulan lalu di kamar kosnya. Rayuan pacarnya membuatnya terlena.Â
"Tenang saja, Lena. Aku janji akan menikahimu."Â
Janji tinggal janji. Sang pacar pergi tanpa jejak, meninggalkan Elena dan janin dalam kandungannya.Â
Semester ini seharusnya Elena selesai skripsi, sesuai harapan ayah dan ibunya di Pontianak. "Aku tak mau perutku terus membesar. Aku malu," bisiknya pada dirinya sendiri. Maka ia mulai mencari-cari info di internet, di mana obat peluruh kandungan bisa dibelinya.
***
Tiba-tiba ponselnya berdering. Elena sebenarnya enggan menjawab. Sudah hampir tiga hari dia mengurung diri di kamar kos. Entah mengapa, kali ini dia mau menjawab telepon dari nomor asing.
"Halo, Lena. Masih ingat aku, kan?" suara seorang gadis yang segera dikenalinya.Â
"Ya ampun, Maria. Dari siapa kamu dapat nomorku?" Â Tawa renyah teman sebangkunya di SMP terdengar dari ujung sana.
"Ceritanya begini. Aku kuliah di Jogja dan bulan ini sedang penelitian di Solo. Eh pas wawancara ketemu teman kamu sekampus. Iseng aja aku tanya, apa ada anak Pontianak di kampusnya. Dia lalu sebut namamu. Nah, hari ini aku ingin ketemu kamu, Lena." Â
Elena segera mengiyakan dan memberi alamat kosnya. Kehadiran Maria membuat Elena terhibur. Hampir dua jam mereka asyik bernostalgia. Saat minum teh, tiba-tiba Maria bertanya, "Lena, maaf ya. Kelihatannya perutmu berubah." Elena sejenak terdiam.Â
Maria lantas merangkul sahabat lamanya.
"Maria, aku malu. Aku juga marah pada lelaki yang telah meninggalkanku.Â
Aku tak ingin melihat wajahnya saat anak ini lahir nanti. Aku tahu aku salah, tapi ..." ujar Elena sambil menahan tangis. Maria menghela nafas panjang.Â
"Tenangkan dirimu, Lena. Besok kita sama-sama ke Jogja. Aku antar kamu ke tempat yang biasa kudatangi di akhir pekan."
***
Maria memencet bel tamu "Pondok Esperanza".Â
Tak lama seorang suster membukakan pintu. Seorang gadis cilik ikut menyambut.
"Lusi, ayo beri salam untuk Kak Maria dan Kak Elena," kata Suster Ana.Â
"Selamat sore Kak Maria dan Kak ...eh siapa tadi namanya" celetuk si mungil.Â
"Kak Elena" jawab si pemilik nama sambil tersenyum. "Selamat sore Kak Elena", kata si cilik.Â
"Lusi, nantinya Kak Elena akan menemanimu belajar menggambar. Kamu pasti senang ditemani Kak Elena yang jago melukis," kata Maria.Â
Lusi mengangguk pelan. Suster Ana mengantar dua tamunya keliling. Dalam perjalanan tadi, Maria sudah bercerita sedikit tentang Pondok Esperanza.Â
Di sinilah para suster mendampingi para wanita yang mengandung dalam situasi sulit, seperti yang sedang Elena hadapi. Para suster juga mengasuh beberapa anak. Ya, anak-anak yang haus kasih-sayang seperti Lusi.
"Apa Maria sudah beri tahu arti nama pondok ini padamu, Lena?" tanya Suster Ana. Elena menggeleng."
Dalam bahasa Spanyol, speranza berarti harapan. Kita percaya, bahkan dalam kegelapan sekelam apapun, selalu ada harapan. Nikmatilah barang seminggu bersama kami di sini. Selanjutnya kita bicarakan lagi," ujar Suster Ana.
***
Selama beberapa waktu, Elena sibuk membantu para suster dan relawati di Pondok Esperanza. Dari pagi sampai siang, Elena memasak dan membersihkan kamar-kamar.Â
Sembari berkegiatan, Elena bercakap-cakap dengan wanita-wanita yang menghadapi persoalan serupa dengannya. Selama ini dia merasa, masalahnya paling berat.Â
Rupanya tidak. Ada beberapa yang situasinya lebih runyam. Misalnya, seorang wanita dari Semarang yang mengandung setelah dilecehkan atasannya. Sang wanita awalnya ingin menggugurkan kandungan. Namun, pelan-pelan ia sadar, anak yang dikandungnya tak bersalah sedikitpun.
Mendengar sendiri kisah itu, Elena merasa seakan ditampar. Namun, tamparan paling lembut diterimanya dari si mungil Lusi.Â
Suatu malam, Lusi berkata, "Kak Lena, aku suka bunga mawar tapi nggak bisa buat gambarnya. Ajarin ya, Kak."Â
Dengan sabar Elena mengajarinya. "Wah, benar ya kata Kak Maria. Kak Lena pintar menggambar," celetuk Lusi. Elena tersenyum.
"Kak Elena ingin Lusi bisa buat gambar yang bagus. Nah, latihan sendiri ya. Sekarang Kakak harus bantu Suster Ana. Kalau Lusi selesai menggambar, tunjukkan hasilnya ke Kakak, ya!"Â
Si kecil mengangguk mantap.
***
Elena bergegas ke kantor Suster Ana. Sang biarawati menyambutnya ramah.Â
"Suster ingin tunjukkan sesuatu padamu."Â
Sebuah foto. Seorang ibu muda dan bayi yang masih merah.Â
"Ini Lusi dan ibunya. Sayangnya, ibu si Lusi meninggal beberapa hari setelah melahirkan.Â
Mungkin karena obat peluruh kandungan yang pernah diminumnya. Ayah si Lusi tidak pernah datang ke sini. Dia hanya transfer uang untuk anaknya. Kami dengar, dia sudah dengan wanita lain."
Elena tercenung. Dia teringat apa yang waktu itu dia cari di internet saat Maria tiba-tiba menelpon. "Kak Lena, lihat! Gambarku sudah jadi," kata Lusi yang mendadak muncul.Â
Dengan berseri-seri, Lusi menunjukkan gambarnya: setangkai mawar mekar. "Ini mawar untuk Kak Lena yang cantik," cakapnya. Â
Elena tersenyum, lantas mendekap erat Lusi.Â
"Makasih banyak, Lus," kata Elena. Tak terasa, air mata Elena mengalir.Â
Tuhan telah mengirimkan malaikat kecil untuk menegurnya. Mawar yang digambar Lusi seolah menjadi gambaran dirinya. Seperti pohon mawar yang berduri, ada duri di hatinya. Duri yang muncul setelah sang kekasih mencampakkannya.Â
Namun sejatinya, dia adalah bunga mawar indah yang sedang merekah. Dalam hati, Elena bertekad: apapun yang terjadi, dia akan berusaha menjadi ibu yang baik untuk si mungil yang ditenun Tuhan dalam rahimnya.
Dia ingin agar si kuncup yang dikandungnya kelak mekar dengan indahnya.
Tamat
--pernah dimuat di blog pribadi--
Cerpen lain:
https://www.kompasiana.com/bobby18864/5ca52abecc52837d8f4d728e/suamiku-tersayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H