Jelek-jelek begini, saya pernah mencicipi lomba debat sewaktu SMA. Pelatih debat kami adalah seorang guru dari sebuah SMA ternama. Kami dibimbing untuk mempersiapkan diri mengikuti aneka lomba dengan model Australian Parliamentary.Â
Dalam model debat ini, tim afirmatif (pemerintah) bertugas mendukung suatu pernyataan, misalnya "Untuk membangun ekonomi, diperlukan utang". Sementara itu, tim lawan (oposisi) bertugas menentang pernyataan tersebut.
Setiap tim terdiri dari tiga orang: pembicara pertama, kedua, dan ketiga. Salah satu dari pembicara pertama atau kedua pada akhir debat menyampaikan pidato penutup.
Argumen yang harus dihindari
Salah satu kepiawaian pendebat yang hebat adalah kemampuan untuk memenangkan debat tanpa merendahkan lawan. Untuk itu, seorang pendebat hebat perlu menguasai keterampilan membangun argumen secara sahih dan ilmiah, tanpa jatuh ke dalam perangkap argumentum ad hominem dan ad baculum.
Apa itu argumentum ad hominem? Â Bila diterjemahkan dari bahasa latin, argumentum ad hominem berarti "argumen kepada orang".Â
Argumen jenis ini menyerang lawan debat dengan menyerang pribadi sang lawan, bukan argumen sang lawan. Misalnya, seorang mendebat seorang profesor wanita yang sedang menjelaskan tentang pola pikir pria secara psikologis dengan mengatakan,"Anda seorang wanita, apa yang Anda tahu tentang pola pikir pria?".Â
Apa itu argumentum ad baculum? Baculus dalam bahasa Latin berarti tongkat. Argumentum ad baculum terjadi saat orang menyerang lawan debat dengan ancaman kekerasan, baik psikis, verbal, dan atau fisik.
Mencermati unggahan di medsos seputar pilpres dan pileg
Jelang Pemilu tahun ini, ramai sekali perdebatan di medsos dan di dunia nyata. Acara-acara televisi yang berformat debat pun digemari pemirsa. Sayangnya, sebagian (besar) pihak yang terlibat dalam perdebatan jatuh ke dalam perangkap argumentum ad hominem dan ad baculum tadi.
Contohnya banyak sekali:
- Dia tidak cocok jadi presiden karena belum pernah jadi presiden (Apakah untuk jadi presiden harus pernah jadi presiden?)
- Dia cuma jago membangun dari utang (Menyerang pribadi pembuat keputusan untuk menghutang, tapi tidak membahas apakah secara ilmu ekonomi berhutang demi bangun infrastruktur dapat dipertanggungjawabkan?)
- Dia tak becus urus keluarga, apa bisa urus kementerian sebesar ini? (Serangan memanfaatkan isu pribadi/keluarga, tidak berpikir dengan cermat bahwa seseorang yang pernah gagal dalam perkawinan belum tentu selalu gagal memimpin lembaga resmi)
- Dia gonta-ganti partai, orangnya tak bisa dipercaya (Gagal memahami mengapa seseorang ganti partai demi idealisme tertentu yang ia perjuangkan tanpa tergantung pada partai tertentu)
- Dia orang etnis Z, pasti membela etnisnya saja kalau terpilih nanti (Serangan terhadap identitas etnis, gagal menilai pribadi dari kualitasnya)
- Awas ya kalau sampai dia terpilih, akan ada kerusuhan seperti dulu! (Ancaman verbal dan menebar ketakutan)
Dari contoh-contoh di atas, kiranya tampak bahwa kegagalan menghindari jebakan argumentum ad hominem dan ad baculum sama-sama dialami pendukung kedua capres-cawapres peserta Pemilu 2019.Â
Seharusnya debat yang hebat itu debat yang berfokus pada pendapat dan data, bukan kehidupan pribadi seseorang (riwayat perkawinan, sejarah keluarga, penyakit, disabilitas, agama, suku, ras, pekerjaan, jenis kelamin, ciri-ciri fisik, dan sebagainya).
Dalam menulis artikel pun, prinsip yang sama berlaku. Kritik sewajarnya ditujukan pada argumen "lawan ". Apa kelemahan argumentasi lawan? Apa keunggulannya? Jangan pernah mencaci orang secara membabi-buta dengan argumentum ad hominem dan ad baculum.
Kalau Anda masih mengandalkan kedua argumen tadi, Anda bukan seorang pendebat hebat, tapi seorang yang suka menyakiti orang lain.
Ingat, seseorang bisa berubah. Orang bisa "bertobat" dari kesesatan berpikirnya. Tak selamanya orang yang berpendapat A akan selalu berpendapat A.Â
Kalau Anda mahir menyampaikan argumen tandingan secara elegan, orang itu sangat mungkin mengubah pendapatnya dari A jadi B.
"Menang tanpo ngasorake"
Dalam falsafah Jawa, ada ungkapan "Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake". Artinya datang tanpa membawa massa, menang tanpa merendahkan. Beberapa sumber mengatakan bahwa falsafah ini diajarkan Sunan Kalijaga.
Seorang pendebat hebat menang tanpa merendahkan lawannya. Sang lawan dengan hati lapang menerima argumen sang pendebat hebat.
Ada triknya:
- Puji dulu keunggulan pendapat lawan Anda, misalnya dengan mengatakan,"Pendapat Anda bagus karena bla bla bla..."
- Paparkan argumen tandingan dengan data dan pola pikir yang terstruktur dan logis. Misalnya dengan berkata, "...tetapi, menurut penelitian bla bla bla, ada solusi yang lebih baik yaitu bla bla bla."
- Simpulkan argumen lawan yang sudah Anda taklukkan dengan argumen Anda tadi, misalnya,"Jadi, meskipun pendapat saudara baik, ada pendapat lain (yaitu pendapat si pembicara) yang jauh lebih baik lagi."
atau..."Pengamatan saudara baik, tetapi baru menjangkau separuh realita. Pengamatan yang lebih menyeluruh (pengamatan si pembicara) ialah demikian...bla bla bla..)
Wasana kata
Nah, mari berdebat hebat di medsos, di kantor, di kampus, di Kompasiana, di mana pun dengan menjunjung falsafah "menang tanpa merendahkan". Semoga Presiden Jokowi dan Calon Presiden Prabowo dalam debat pemilihan presiden 2019 tahap kedua yang bakal digelar akhir pekan ini di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/02/2019) menyajikan debat hebat.
Kita nantikan saja apakah debat bertema energi dan pangan, Sumber Daya Alam, lingkungan hidup, serta infrastruktur ini akan jadi contoh debat bermutu, di mana masing-masing pendebat menjunjung falsafah "menang tanpa merendahkan". Salam Pemilu damai, menang tanpa ngasorake.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H