- Dia tidak cocok jadi presiden karena belum pernah jadi presiden (Apakah untuk jadi presiden harus pernah jadi presiden?)
- Dia cuma jago membangun dari utang (Menyerang pribadi pembuat keputusan untuk menghutang, tapi tidak membahas apakah secara ilmu ekonomi berhutang demi bangun infrastruktur dapat dipertanggungjawabkan?)
- Dia tak becus urus keluarga, apa bisa urus kementerian sebesar ini? (Serangan memanfaatkan isu pribadi/keluarga, tidak berpikir dengan cermat bahwa seseorang yang pernah gagal dalam perkawinan belum tentu selalu gagal memimpin lembaga resmi)
- Dia gonta-ganti partai, orangnya tak bisa dipercaya (Gagal memahami mengapa seseorang ganti partai demi idealisme tertentu yang ia perjuangkan tanpa tergantung pada partai tertentu)
- Dia orang etnis Z, pasti membela etnisnya saja kalau terpilih nanti (Serangan terhadap identitas etnis, gagal menilai pribadi dari kualitasnya)
- Awas ya kalau sampai dia terpilih, akan ada kerusuhan seperti dulu! (Ancaman verbal dan menebar ketakutan)
Dari contoh-contoh di atas, kiranya tampak bahwa kegagalan menghindari jebakan argumentum ad hominem dan ad baculum sama-sama dialami pendukung kedua capres-cawapres peserta Pemilu 2019.Â
Seharusnya debat yang hebat itu debat yang berfokus pada pendapat dan data, bukan kehidupan pribadi seseorang (riwayat perkawinan, sejarah keluarga, penyakit, disabilitas, agama, suku, ras, pekerjaan, jenis kelamin, ciri-ciri fisik, dan sebagainya).
Dalam menulis artikel pun, prinsip yang sama berlaku. Kritik sewajarnya ditujukan pada argumen "lawan ". Apa kelemahan argumentasi lawan? Apa keunggulannya? Jangan pernah mencaci orang secara membabi-buta dengan argumentum ad hominem dan ad baculum.
Kalau Anda masih mengandalkan kedua argumen tadi, Anda bukan seorang pendebat hebat, tapi seorang yang suka menyakiti orang lain.
Ingat, seseorang bisa berubah. Orang bisa "bertobat" dari kesesatan berpikirnya. Tak selamanya orang yang berpendapat A akan selalu berpendapat A.Â