Mohon tunggu...
Bob Bimantara Leander
Bob Bimantara Leander Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalau gak di radar ya di sini

Suka menulis yang aku suka

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Seperti Kanebo, Kaku

10 Maret 2022   06:02 Diperbarui: 10 Maret 2022   06:16 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kehidupan itu misterius. Kamu bisa saja mempercayai beberapa hal. Banyak hal. Tapi kamu tidak bisa mempercayai banyak hal dalam waktu yang lama. Kadang kamu harus menyisihkan kepercayaanmu. Demi kebaikan. 

Banyak yang menceritakan orang akan percaya jalan hidupnya. Atau, kamu bisa sebut orang dengan prinsip.

Ada orang percaya bahwa senyum kepada orang lain adalah keharusan atau prinsipnya. Setiap saat dia akan senyum. Entah sedih atau senang, senyum terus. Sampai bibirnya hampir mirip bulan sabit. 

Beberapa menganggap aneh. Dia dikira gila. Dia dikira sosok yang cari muka. Namun, dia tetap percaya 'senyum'. Alasannya cukup simple. Dia senyum setiap saat agar orang tidak sedih. 

Kepercayaan itu dianutnya hingga waktu yang lama. Keanehan pun terjadi pastinya. Dia atau sebut saja Roni baru kehilangan dompetnya.

Dicarilah dompetnya. Roni ingat-ingat betul kemana saja dia seharian. Titik-titik dia berhenti diingatnya. Satu per satu titik dia hampiri. Setiap orang ditanya. Hasilnya nihil. Dompetnya tetap hilang. 

Dia pun pasrah dengan senyumnya lagi. Di sisi lain, ada pelaku. Bukan pelaku pencurian. Tapi pelaku prank. 

Di saat Roni mempertahankan senyumnya, si pelaku menganggap Roni baik-baik saja kehilangan dompetnya. Isinya cukup penting. Uang buat biaya segalanya di hidupnya dan keluarganya. 

Tapi tetap saja Roni tersenyum. Dunia pun melihat itu baik-baik saja. Begitu pula pelaku prank.

Niat untuk mengembalikan dompet dan berkata semua adalah prank. 

Roni pun pulang dengan dompet yang hilang. Uangnya hilang. Semuanya tanpa ada sisa. 

Dia tersenyum ke istrinya yang butuh uang buat beli minyak dan beli susu anaknya. 

Senyum adalah memberikan kebahagiaan. Pikir Roni. 

Istri meminta uangnya. Uang gaji istri Roni di dompet itu. Uang Roni pun di situ. 

Nahas. Sial. Sial. Roni hanya tersenyum dan bilang kalau dompetnya tersenyum.

Roni berpikir tenang. Prinsipnya sama. Kalau Roni senyum dunia akan bahagia. 

Namun ternyata dunia tak sebodoh dan sekaku yang Roni pikir. Susu anaknya tak bisa dibeli dengan senyum. Istrinya pun tidak bisa marah. Tak tega memang memarahi orang tersenyum. Roni dalam hal ini prinsipnya benar. 

Namun, sang istri langsung keluar. Membawa bayi itu keluar rumah. Ke rumah orang tua istri. Meninggalkan rumah penuh dengan manisnya prinsip Roni. 

Roni melepas istri dan anaknya. Pastinya dengan lengkungan bibir yang lama-lama menjengkelkan. 

Besoknya. Surat cerai hadir di rumahnya. Waktu itu siang. Siang panas. Seharusnya Roni sangat kepanasan saat siang itu melihat pengajuan perceraian. Namun dia hsnya tersenyum. 

Tinggalah Roni sendirian. Istrinya tidak marah. Istri hanya bingung. Apakah dia sudah gila atau tidak. 

Roni tinggal sendirian. Bertahun-tahun berlalu. Kesendirian merundungnya habis-habisan. 

Kehilangan pekerjaan. Menjual rumah. Dan kini dia hanya bisa tersenyum di pinggir jalan. Dengan baju lusuhnya, dan secangkir gelas di depannya, Roni berharap ada koin masuk. 

Namun berhari-hari tak ada uang. Lapar pun melanda. Dua hari dia tidak makan. Badannya yang kurus meronta. Namun tak ada uang yang dipakai buat makan. Namun sekali lagi. Roni itu tetap bisa-bisanya mempertahankan prinsipnya senyum terus. 

Hingga akhirnya dia pingsan. Pelaku prank tak sengaja lewat. Pelaku mendekat. Melihatlah dia dengan seksama. 

Wow. Ternyata pengemis dengan badan berbobot 30 kilogram ini adalah teman yang dulu diprank. 

Dompet pun dikembalikan beserta uang Rp 30 juta di dompetnya. 

Dengan berbisik, si pelaku mengaku kalau dia tidak mengembalikan dompetnya waktu itu karena dikiranya Roni baik-baik saja. Namun telat, Roni sudah menjadi benar-benar seperti bubur. 

Roni pun untuk pertama kalinya geram. Dendamnya membucah. Tiba-tiba gelas itu dibelahnya. Sangat kuat. Hingga terbelah menjadi dua. Dan sisi yang tajam ditancapkannya ke muka pelaku berkali-kali. Hingga pelaku tidak ada nyawa. Hanya darah saja di muka pelaku. 

Untuk pertama kali, di antara darah di muka Roni, senyum itu tidak nampak lagi. H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun