Dia tersenyum ke istrinya yang butuh uang buat beli minyak dan beli susu anaknya.Â
Senyum adalah memberikan kebahagiaan. Pikir Roni.Â
Istri meminta uangnya. Uang gaji istri Roni di dompet itu. Uang Roni pun di situ.Â
Nahas. Sial. Sial. Roni hanya tersenyum dan bilang kalau dompetnya tersenyum.
Roni berpikir tenang. Prinsipnya sama. Kalau Roni senyum dunia akan bahagia.Â
Namun ternyata dunia tak sebodoh dan sekaku yang Roni pikir. Susu anaknya tak bisa dibeli dengan senyum. Istrinya pun tidak bisa marah. Tak tega memang memarahi orang tersenyum. Roni dalam hal ini prinsipnya benar.Â
Namun, sang istri langsung keluar. Membawa bayi itu keluar rumah. Ke rumah orang tua istri. Meninggalkan rumah penuh dengan manisnya prinsip Roni.Â
Roni melepas istri dan anaknya. Pastinya dengan lengkungan bibir yang lama-lama menjengkelkan.Â
Besoknya. Surat cerai hadir di rumahnya. Waktu itu siang. Siang panas. Seharusnya Roni sangat kepanasan saat siang itu melihat pengajuan perceraian. Namun dia hsnya tersenyum.Â
Tinggalah Roni sendirian. Istrinya tidak marah. Istri hanya bingung. Apakah dia sudah gila atau tidak.Â
Roni tinggal sendirian. Bertahun-tahun berlalu. Kesendirian merundungnya habis-habisan.Â