Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengakui bahwa target 23% EBT pada 2025 sangat sulit di capai yang di sampaikan pada peresmian French Renewable Energy Group di KESDM pada tanggal 1 Maret 2017. Â
Data yang baru di rilis oleh KESDM, tercatat per 2015 kapasitas terpasang EBT baru mencapai 6% dan dengan laju pertumbuhan hanya 0,36% per tahun, maka pada tahun 2025 hanya akan tercapai kurang dari 10%.Â
Rendahnya laju pertumbuhan EBT tersebut menjadi lebih sulit dengan terbitnya PERMEN ESDM no 12 tahun 2017 yang menyebabkan rendahnya minat investor masuk dalam sektor EBT maka dapat dipastikan tanpa keraguan bahwa bauran EBT pada tahun 2025 tidak akan lebih dari 8% dari target 23%. Â -- Hal ini akan menyebabkan target penurunan emisi sesuai dengan komitmen pada COP21 juga dapat di pastikan tidak akan tercapai.Â
Sony Keraf, anggota Dewan Energi Nasional mengatakan bahwa rendahnya EBT terpasang karena kurang seriusnya serta telatnya pengembangan EBT oleh Pemerintah dan PLN . -- Apa yang di sampaikan oleh Keraf sama sekali tidak benar  -- Keseriusan Pemerintah dalam kembangkan EBT dapat di lihat dari banyaknya PERMEN ESDM dalam bentuk Fee-in-tarif yang keluarkan oleh menteri ESDM yang lalu, Sudirman Said, begitu juga berbagai seminar dan pendanaan yang di siapkan oleh pemerintah maupun lembaga multilateral, bahkan  EBT atau renewable adalah kata yang paling sexy dalam sektor energi nasional maupun global tetapi tetap target EBT tidak dapat tercapai.Â
Tidak tercapainya EBT 23% sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena BPPT sejak 2 tahun yang lalu sudah mengatakan bahwa maksimum EBT pada 2025 hanya akan tercapai 12,5% yang di tulis dalam BPPT Energi Outlook 2015 dan 2016 -- BBPT sudah sangat tegas bahwa target EBT tidak mungkin tercapai tanpa masuknya Nuklir, karena faktanya Nuklir adalah Kontributor energi nir-karbon terbesar di dunia, kecuali memang tujuannya bukan menekan emisi tapi anti-nuklir.
Berdasarkan PP 79/2014 bila EBT tidak tercapai maka untuk menutup gap 23% tersebut Nuklir perlu masuk dalam buaran energi. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Anggota DEN, Tumiran.
"Bagaimana nanti, ditunggu energi terbarukan prediksi di 2025 untuk mencapai target sebesar 23 persen. Kalau tidak bisa untuk menjamin pasokan listrik, kemudian masalah emisi dan keekonomian, ya nuklir opsi yang harus dipilih"
Mengapa Nuklir selama lebih dari 20 tahun maju mundur dan berpolemik sesungguhnya bukanlah masalah teknologi atau aspek keselamatan tetapi banyak pihak yang tidak paham dan mempolitisasi nuklir. Â
Anggota DEN, Â Dr. Andang Bachtiar
"selama ini disputenya selalu disitu, nuklir ini jadi apa ngak sih? tadi sudah jelas bahwa nuklir adalah keputusan politik bukan hanya keputusan teknologi, makanya kita harus membuat road map yang jelas pilihan terakhir itu seperti apa, jadi itu yang kita putuskan nanti kita berikan kepada Presiden dalam sidang paripurna dengan catatan tinggal Presiden yang memutusi, iya atau tidak, itu hal krusial"Â
Dari penjelasan Dr Andang Bachtiar sangat jelas bahwa Nuklir adalah keputusan politik, permasalahannya selama ini semua Presiden Republik Indonesia selalu mendapatkan masukan yang tidak tepat bahkan dapat di katakan menyesatkan tentang Nuklir yang berakhir dengan keraguan Presiden dalam mengambil keputusan tentang PLTN.
Jadi yang di butuhkan adalah: Konsideran, Peta Jalan dan Time Frame. -- Dari komentar anggota DEN tersebut tersirat bahwa masalah keselamatan yang dari dulu menjadi pertimbangan sudah tidak lagi di permasalahkan.
Apakah Indonesia Perlu Tenaga Nuklir, Sekarang ?
Pada akhirnya adalah perihal konsideran apa yang harus di jadikan pertimbangkan untuk mengambil keputusan untuk Indonesia memanfatkan Tenaga Nuklir. -- Apakah Indonesia Perlu Tenaga Nuklir Sekarang ? itulah pertanyaan yang harus di jawab. -- Untuk menjawab hal tersebut ada beberapa konsideran yang menurut saya harus menjadi pertimbangan.
Pertama : Â Regulasi
Kebijakan Energi Nasional (KEN)
Sampai saat ini konsideran yang selalu di pakai oleh Pemeritah dalam konsideran PLTN adalah masalah target pencapaian 23% EBT yang di tuangkan di PP 79/2014 yang kemudian di turunkan menjadi PERPRES no 22/ 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). -- Yang di awal tulisan sudah di bahas bahwa target EBT tidak akan tercapai tanpa keraguan - Maka Nuklir harus masuk bauran sebelum 2025.
Sebenarnya dalam Kebijakan Enegi Nasional (KEN) Jilid I yang di buat oleh DEN kepengurusan periode sebelumnya, yaitu PERPRES No 5 tahun 2006 tidak ada istilah Opsi Terakhir bagi Nuklir, bahkan energi baru termasuk Nuklir masuk 5% dari total bauran energi.
Jelas sekali politisasi yang di lakukan oleh DEN dalam KEN jilid II, PP no 79 tahun 2014 yang menjadikan Nuklir sebagai opsi terakhir adalah diskriminatif dan melanggar UU N0 30 tahun 2007 tentang Energi yang mengatakan bahwa semua jenis energi adalah setara.Â
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Pemanfaatan tenaga nuklir sudah di rencanakan dalam blueprint perencanaan pembangunan jangka panjang nasional yang kemudian menjadi UU No 17 tahun 2007 yang kemudian di turunkan menjadi Rencana Pembangun Jangka Menengah Nasional tahap III (2015 -- 2019) yang menjadi PERPRES No 2 tahun 2015. Yang mana kedua regulasi tersebut memerintahkan bahwa PLTN perlu di bangun sebelum 2019 dan sudah beroperasi 2024.
Artinya UU memerintahkan untuk Pemerintahan periode (2015 - 2019) untuk mulai membangun PLTN sebelum tahun 2019.
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN)
Ternyata Industri Nuklir di tempatkan sebagai industri andalan nasional dalam PP No 14 tahun 2015 (RIPIN) yang perlu di bangun secara terpadu dengan industri logam tanah jarang (LTJ). Dalam time frame yang di masukan dalam RIPIN bahwa rancang bangun PLTN sudah di mulai pada tahun 2019 dan beroperasi pada tahun 2024 -- Jelas hal ini selaras dengan RMJPN dan RPJMN.
Bahkan RIPIN secara spesifik memberikan kriteria PLTN yang harus di bangun yaitu dengan tingkat keselamatan tinggi dan tingkat keekomisan yang tinggi, yang dapat di artikan bahwa biaya produksi listrik PLTN harus bersaing dengan PLTU batubara.
Kedua : pemenuhan energi primer.
Target kapasitas terpasang yang di targetkan dalam RUEN adalah 136,000 MW sementara di pada 2019 di targetkan sudah akan terpasang 70,000 MW maka Pemerintahan berikutnya (2019 -- 2025) harus membangun sekitar 66,000 MW untuk mencapai target RUEN tersebut. -- Jelas target tersebut dengan business-as-usual mustahil dapat tercapat mengingat target 35 GW saja pada periode ini tidak dapat tercapai.
Kemudian yang lebih berat lagi adalah target RUEN pada 2050 adalah 430,000 MW artinya setiap tahun sesudah 2025 harus terpasang 12,000 MW atau dengan kata lain setiap Pemerintahan harus membangun 60,000 MW.
saat ini Indonesia hanya mampu membangun rata-rata 4 GW per tahun sementara untuk  untuk mengejar target RUEN tersebut di butuhkan membangun  10 GW per tahun  yang hanya dapat di berikan oleh Nuklir yang dapat memberikan kontribusi 2- 3 GW per tahun dengan mudah -- kecuali memang mengejar target RUEN tersebut di anggap tidak penting.
Ketiga : Â Ancaman Middle Income Trap
Pertanyaan sederhana apakah target 136 GW dan 430 GW perlu di capai dengan segala daya dan upaya atau kita santai-santai aja.. ya kalau kecapai syukur kalo tidak ya orapopo,
Untuk menjawab hal tersebut kita perlu menganalisa keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini sedang melemah yang berada pada posisi 5,1% yang seharusnya berada di kisaran 6% dengan PDB per kapita US$3500 merosot dari beberapa tahun sebelumnya $3700.
Indonesia saat ini dalam keadaan de-industrialisasi, yang artinya kontribusi industri terhadap PDB merosot tajam dari 29% pada 2001 menjadi 18% pada tahun 2016 dimana siklus yang sehat adalah negara  yang PDB per kapita di bawah $7000 maka kontribusi industri harus pada di kisaran 30% - 40%.Â
Walaupun banyak hal yang menyebabkan terjadinya de-industrialisasi terjadi tetapi bila di ambil pendapat banyak pakar salah satu alasan utama adalah tidak adanya listrik dan biaya energi yang mahal. Bila tren de-industrilisasi ini terus berlangsung maka Indonesia akan masuk dalam perangkap middle income trap yang pernah saya bahas dalam tulisan saya terdahulu, "De-Industrialisasi Ancam Indonesia Jadi Negara Gagal"
Bahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani memiliki kekuatiran yang sama
"Sementara Indonesia, lanjut dia, saat ini pendapatan per kapitanya baru mencapai 3.600 dolar AS. Dengan kondisi tersebut, Sri Mulyani ingin indonesia tidak terjebak. [dalam middle income trap]...Saya ingin negara RI tidak terjebak. Karena kalau terjebak dalam pendapatan menengah akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terhambat"
Untuk dapat menghindari perangkap tersebut maka PDB per kapita Indonesia pada 2025 harus tembus $6000 pada 2025 atau dari sisi energi konsumsi listrik harus di atas 2000 Kwh per capita dari saat ini sekitar 900 kwh.
RUEN mengasumsikan pada tahun 2025 terpasang 138 GW maka konsumsi listrik mencapai 2500 Kwh per Kapita, tetapi angka konsumsi tersebut mengasumsikan bahwa rata-rata kapasitas faktor pembangkit dan daya mampu meningkat yang menurut saya sangat di ragukan. Bila memakai keadaan saat bahwa kapasitas terpasang 55 GW dengan konsumsi 217 TWh atau 900 Kwh/capita maka dengan aritmatika sederhana kita dapat kan untuk 138 GW akan menghasilkan konsumsi per capita 1,900 KWh.
Berdasarkan data empiris di dunia setiap 1 kwh konsumsi listrik akan memberikan kontribusi PDB sekitar $4 - $5. Dalam hal Indonesia selama 10 tahun terakhir berdasarkan data ESDM dan PLN Â rata-rata kontribusi PDB untuk setiap 1 kwh sekitar $3.9 -- Maka dengan konsumsi 1900 Kwh pada 2025 akan menghasilkan PDB per kapita $7410.
Artinya sederhana bahwa pada tahun 2025 bila tidak ingin terjebak masuk dalam perangkap middle income trap maka target 138 GW atau minimum 115 GW harus dapat di capai sehingga PDB per capita dapat tembus $6000 dan lolos dari perangkap middle income trap.
Dan target 138 GW tidak mungkin tercapai tanpa masukanya PLTN dalam skala besar kedalam bauran energi.
Keempat : Inovasi Sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi
Presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia sedang bersaing dengan bangsa lain untuk itu harus terbuka dan berani berinovasi untuk menjadi bangsa pemenang.
Kata kuncinya adalah "Berani Berinovasi", Presiden menyadari sekali bahwa hanya melalui tantangan inovasi sebuah bangsa menjadi bangsa besar atau bangsa Pemenang. Hal sama juga di sampaikan oleh Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno pada tahun 1958 ketika bangsa ini baru 13 tahun merdeka bahwa Untuk menjadi bangsa besar Indonesia harus menguasai Nuklir dan Antariksa.
Mengapa Nuklir dan Antariksa ? Karena Nuklir dan Antariksa adalah teknologi termaju pada tahun 50'an dan Soekarno sadar bahwa Bangsa yang baru lahir ini harus di berikan tantangan inovasi teknologi.
Pada kenyataan nya memang Inovasi memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam sebuah studi di Inggris, Inovasi memberikan kontribusi 63% terhadap pertumbuhan PDB sementara di Amerika Inovasi berkontribusi 50% terhadap PDB. Artinya bertambah tinggi indeks inovasi sebuah negara bertambah tinggi pula PDB per kapita negara tersebut.Â
Berdasarkan Global Innovation Index, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand  dan Philipine dan kenyataannya bahwa PDB per capita Indonesia memang jauh di bawah negara-negara tersebut.
Padahal pada era tahun 80 -- 90an Indonesia sempat menjadi negara dengan inovasi termaju di ASEAN. Bahkan Indonesia saat itu adalah Innovation center of excellence di ASEAN. Saat itu Indonesia terlah berhasil memproduksi pesawat terbang dengan teknologi tercanggih, N250 yang merupakan pesawat pertama dengan fly-by-wire, memilki satelit pertama di ASEAN, yang pertama membangun jalan tol bahkan dapat membangun jalan tol di atas rawa-rawa dengan desain pondasi yang di sebut cakar ayam dan masih banyak lagi inovasi skala dunia.
Tetapi sejak krisis moneter dengan masuknya IMF seolah Indonesia di tekan untuk tidak berinovasi sejak itu Indonesia dari negara produsen menjadi konsumtif, lebih senang membeli daripada menciptakan dan sejak itu pula Index inovasi Indonesia dan proses de-industrilisasi terjadi. -- Mungkin salah satu prestasi adalah index korupsi yang terus meningkat dan jumlah mal yang bertambah banyak.
Banyak regulasi yang sebenarnya menghambat lahirnya innovasi seperti kata "sudah teruji", "sudah beroperasi secara komersial di negara lain" adalah kata-kata anti inovasi -- Bila memang Presiden mendorong inovasi maka kata-kata seperti itu tidak dapat masuk dalam regulasi.
Harus kita ingat semua inovasi yang pernah menjadi kabanggan Indonesia di masa lalu yang pernah menjadikan Indonesia sebagai negara termaju di ASEAN semuanya adalah teknologi yang saat itu belum teruji dan belum ada yang beroperasi secara komersial dimana pun di dunia.
Membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah salah satu bentuk inovasi dengan pengusaaan teknologi tertinggi dan termaju yang bukan saja berdampak kepada Industri maupun pertumbuhan ekonomi tetapi menjadikan Bangsa Indonesi di segani oleh Bangsa-bangsa lainya di ASEAN sebagai negara sengan status "Nuclear Power Country" yang merupakan visi dari Bapak bangsa Indonesia, Soekarno.
Peta Jalan Pembangunan PLTN
Sesungguhnya ESDM sudah membuat Peta Jalan Pembangunan PLTN yang di sebut "Buku Putih PLTN 5000 MW" pada tahun 2015  tapi sayang Buku tersebut tidak pernah di terbitkan secara resmi karena politisasi nuklir oleh sekelompok orang anti-nuklir yang menekan ESDM maka Buku Putih tersebut tidak pernah di rilis  walaupun sudah di tanda-tangan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said dan sudah  di launching oleh KESDM.
Asumsi yang melandasi terbitnya Buku Putih tersebut sebenarnya dapat di jadikan konsideran yaitu bahwa : a) Target EBT 23% tidak dapat tercapai tanpa masuknya PLTN 5000 MW pada 2025 b) bahwa target ketahanan energi tidak akan tercapai tanpa PLTN b) Indonesia sudah siap dan mampu mengoperasikan PLTN berdasarkan Analisa IAEA.
Artinya walaupun ESDM tetap memakai PP 79/2014 sebagai konsideran dalam menyusun Buku Putih dimana Nuklir sebagi Opsi terakhir tetapi karena adanya Kepentingan Nasional yang mendesak dan untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan kondisi yang di tetapkan oleh KEN sehingga PLTN perlu di bangun sebelum 2025.Â
Pertanyaannya sederhana? apakah keadaan mendesak tersebut sudah berubah saat ini di 2017, sehingga PLTN tidak lagi di bahas untuk masuk bauran sebelum 2025?
Tidak perlu menjadi ahli nuklir untuk menjawab itu. Jawabannya: tidak ada kondisi kelistrikan yang berubah sejak 2015 sampai saat ini. Artinya bila pada tahun 2015 ESDM sudah menganalisa bahwa keadaan sudah mendesak sehingga membutuhkan PLTN apalagi sekarang.
Berikut adalah kutipan dari berita resmi yang di posting website EBTKE ESDM
"Berdasarkan simulasi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan tahun 2014 maka ditemukan guna mencapai target 23 persen pada tahun 2025 maka membutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tahun 2024-2025 dengan total kapasitas 5000 MW -- Berangkat dari kenyataan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyusun Buku Putih PLTN 5000 MW " Â
Politisasi terhadap Nuklir pun masih dapat di lihat dalam RUEN dalam pasal yang membahas Nuklir masih terus memakai kata-kata "pengembangan" dan "Penguasaan" yang semuanya berbau litbang, padahal Indonesia sudah melakukan pegembangan Nuklir lebih dari 50 tahun. Tidak ada sama sekali kata "pembangunan" , "rancang bangun" dan "beroperasi" sebagaiman terdapat dalam PP No 14/2015 tentang RIPIN yang dengan tegas mengamanatkan untuk PLTN di bangun.
Maka bila pemerintah serius mempetimbangkan Nuklir untuk masuk bauran energi maka Peta Jalan yanhg di buat harus berbunyi "PETA JALAN PEMBANGUNAN PLTN" bukan Pengembangan atau bukan energi nuklir dengan time frame yang jelas kapan mulai di bangun dan kapan beroperasi.
Sebagai gambaran PLTN pertama UEA, sebuah negara yang yang tidak punya pengalaman nuklir sama sekali akan beroperasi tahun 2017 ini, dimana lama pembangunan hanya 5 tahun. UEA menargetkan sebelum 2030, sekitar 20% bauran energinya adalah Nuklir.
PLTN seperti apa yang perlu di bangun.
PP no 14 tahun 2015 sudah mengatakan dengan jelas bahwa PLTN yang perlu di bangun adalah yang memiliki tingkat keselamatan tinggi  dan keekonomisan yang tinggi
Pertama, keselamatan tinggi yang dapat di artikan sebagai PLTN yang memiliki sistim keselamatan pasif sehingga kejadian seperti fukushima tidak terjadi. -- Perlu di ketahui faktanya bahwa PLTN adalah pembangkit listrik yang TERAMAN di banding pembangkit listrik lainya. Cukup anda google dengan kata kunci "Death per TWH" Â maka dapat di lihat dari kematian per TerraWatt hour, Nuklir adalah yang terkecil.
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang keselamatan Nuklir dapat membaca tulisan saya terdahulu "Keselamatan PLTN : Antara Isu dan Fakta"
Kedua, tingkat keekonomian tinggi dapat di artikan harus dapat bersaing dengan biaya produksi PLTU batubara. Karena bila tidak dapat bersaing dengan batubara maka Indonesia akan terus memakai batubara sehingga tidak bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain harus setara atau di bawah rata-rata BPP Nasional yaitu $0.07 per Kwh.
Ketiga, dapat bangun dan scale-up dengan cepat; di bangun dengan cepat tidak lebih lama dari lama dari membangun sebuah PLTU sekitar  3 - 5 tahun dan dapat di scale-up dengan cepat.
Keempat, tidak membebani APBN; Â Artinya PLTN tersebut harus murni dalam bentuk investasi swasta melalui skema Independent Power Producer (IPP).
Dari kriteria keekonomian tersebut sangat sulit untuk PLTN konvensional yang berpendingin air dan berbahan bakar padat dapat bersaing dengan batubara. Salah satu yang memiliki peluang adalah PLTN generasi IV yang saat ini sedang banyak di kembangkan di dunia, dimana hampir semua kriteria desainnya adalah bersaing dengan batubara.
Penutup : Apakah Indonesia perlu membangun PLTN ?
Dengan fakta dan konsideran di atas rasanya sudah menjadi keniscayaan bahwa PLTN harus di bangun bila Indonesia ingin menjadi Bangsa Pemenang dan keluar dari perangkap middle income trap atau mencapai pertumbuhan di atas 6%. -- Â Artinya menentang PLTN sama saja anti kemajuan Bangsa.
Indonesia harus mempunyai cita-cita besar, melalui sebuah tantangan inovasi dengan keluar dari zona nyaman sebagaimana selalu di sampaikan oleh Presiden Joko Widowo.
Dimulai dengan BERHENTI MEMPOLITISASI NUKLIR dan mulai melakukan langkah-langkah kongrit menuju pembangunan PLTN dimulai dengan membuat Peta Jalan Pembangunan PLTN.
Jakarta 15 juni 2017
Bob S. Effendi
Pendiri APRONUKI
(Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia)
[1] Target 23% EBT sulit tercapai.
[2] Â Tak serius kebangkan EBT, RI bakal defisit Enerrgi pada 2025
[3] Nuklir pilihan jika EBT tak tercapai Â
[4] RUEN: EBT Tidak Tercapai, Indonesia Akan Pakai NuklirÂ
[5] Â Sri Mulyani Ingin Indonesia Tak Terjebak Middle Income Trap
[5] DI sampaikan pada Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan, Yogya, 24 Mei 2016
[6] Innovation drives economic growth Â
[7] https://www.uschamberfoundation.org/enterprisingstates/assets/files/Executive-Summary-OL.pdf
[9] Kementerian ESDM rampungkan Buku Putih PLTN
[10] 5000 MW PLTN Untuk Capai Target 23 Persen EBT Di 2025Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H