Cover Novel Fatamorgana
Operasi Badai Gunung menjadi sandi operasi malam ini. Disini, seyogyanya seluruh Pelajar dan Mahasiswa Tanjab Barat dikumpulkan. Target utama operasi badai gunung adalah menyelamatkan Korps dari kevakuman. Korps akan segera bangkit!
Untuk menarik mereka datang, tim elit merumuskan sebuah acara, yaitu Bedah Buku. Panglima juga sudah menyetujui rumusan ini. Sudah menjadi porsiku untuk menyampaikannya.
Ya, Ikapemta adalah sebuah organisasi pelajar dan mahasiswa Tanjab Barat di Yogyakarta. Saya adalah salah satu warganya. Malam ini saya akan menyelenggarakan Bedah Buku Fatamorgana di Mabes Ikapemta.
Skip ... skip ... skip
Persiapan acara membuat saya seperti pembantu. Hingga teman saya bilang ; saya cocok jadi penerus penjaga Mess. Jika tak ada kerjaan nanti, mungkin saya bisa mendaftar. Saya tertawa sambil mengepel lantai. Jahat sekali doanya.
Di tambah lagi molor dan ketidakpastian adanya proyektor untuk acara bedah buku. Saya terus menunggu dan berdoa semoga semuanya lancar. Sampai jam 6 sore, anggota yang berkumpul baru sepertiga dari total yang datang nantinya.
Acara diputarbalik, kita shalat berjamaah dan lanjut dengan membaca yasin dan doa arwah. Kita di ruangan itu meniatkan semuanya untuk ayahanda alumni Ikapemta yang meninggal dunia beberapa minggu yang lalu.
Selesai kegiatan rohani, proyektor belum juga ada kepastian. Senior yang membawa belum mengonfirmasi. Mau tak mau, Panglima mengintruksikan agar acara dilanjutkan agar tidak kemalaman. Oke, saya sepakat. Tak masalah Bedah Buku tanpa proyektor. Meski dengan proyektor segalanya jadi lebih mudah dan efektif.
Saya memulai dengan cerita dibalik acara Launching Fatamorgana tanggal 18 Maret lalu. Baru mau selesai dibagian itu, Senior tercinta datang juga. Dia membawa proyektor dan banyak makanan. Bedah Buku dimulai dari nol lagi, proyektor pun di sett segera.
Skip ... Skip ... Skip
Ruangan mulai penuh dengan anggota Ikapemta. Sekitar 35 orang memenuhi ruangan yang sudah di sett dengan bangku biru. Mereka duduk semaunya.
Saya menjelaskan presentasi saya dengan semangat. Bahkan lebih semangat dibandingkan saat Launching tanggal 18 Maret itu.
Disini saya menerawang lebih jauh. Apa yang saya tidak ingat saat Launching, kini saya ingat dan saya utarakan dengan lebih baik.
Mulai dari A sampai Z saya jelaskan mengenai Fatamorgana. Banyak hal di belakang dan depannya, di samping kiri kanannya.
Sampailah pada sesi nonton video slideshow. Sepanjang pemutaran video, suara penonton hening. Mata tertuju ke layar proyektor, sambing menikmati pemandangan dan lagu yang kuanggap cocok untuk video itu.
Skip ... skip ... skip ..
Sampailah di sesi pertanyaan. Saya kira antusiasme kawan-kawan untuk bertanya bakal kecil. Saya berkaca dari Launching tanggal 18 Maret lalu dimana tidak ada pertanyaan sama sekali. Saya artikan bahwa hadirin ketika itu tidak antusias karena presentasinya tidak mengena, atau karena ada beberapa topik yang dipresentasikan hingga perhatian hadirin tidak fokus ke fatamorgana.
Tapi kali ini, saya dapat empat pertanyaan yang diutarakan dengan panjang lebar, mulai dari latar belakang pertanyaan juga.
Pertanyaan pertama, dari Royan [sayang saya lupa pertanyaannya karena tidak saya catat, nanti saya tanyakan dan ingat-ingat lagi, dan tentu nanti saya update disini]
Oke lanjut ke pertanyaan kedua dari Teddy : Poin utama pertanyaannya yaitu 1. Masalah Hak Cipta untuk karya Indie dan permasalahan hukumnya 2. Dampak Pendakian Massal 3. Persiapan jika ingin mendaki gunung bagi pemula.
Secara tertulis, ini jawabannya :
1. Menurut UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terutama di BAB I ; Ketentuan Umum Pasal 1, 2 dan 3. Lalu BAB II ; Lingkup Hak Cipta pasal 2 ayat 1.
Disini disebutkan secara jelas bahwa hak cipta secara otomatis akan muncul setelah suatu karya cipta dilahirkan.
Apabila terjadi permasalahan hukum, maka keaslian karya cipta lah yang menjadi kunci utama. Jadi Penulis Indie ataupun pemusik Indie tidak perlu khawatir karyanya di Bajak. Hal terpenting, dia memiliki karya yang asli. Dengan begitu kekuatannya dimata hukum akan lebih tinggi dibanding pembajak.
2. Dampak Pendakian Massal :
"Kita ibaratkan serumpun rumput diinjak satu orang, apakah dia akan mati? Tidak! Rumput tersebut masih bisa hidup. Tapi, bayangkan jika dia diinjak 1000 orang berkali-kali? Apakah dia akan mati? Sangat mungkin!
Begitulah analogi pengaruhnya terhadap alam. Yang pasti, pendakian massal akan merusak jalur pendakian, karena begitu banyaknya kaki yang melintasi jalur pada waktu yang relatif singkat. Bukankah alam butuh normalisasi untuk mengembalikan fisiknya?
Ini belum termasuk areal yang perlu di sterilisasi untuk mendirikan tenda bagi 1.000 orang tersebut. Belum lagi kayu bakar yang akan mereka gunakan. Syukur sekali jika mereka membawa kayu bakar dari basecamp, jika tidak? Tentu saja mereka mencari kayu bakar di areal terdekat.
Bandingkan 1 orang yang membuat api unggun, dengan 1.000 orang?
"Alam punya daya tampung terbatas, semetara keinginan manusia tidak terbatas" Begitu kata Pak Toni dari BB TNBTS
Masalah selanjutnya adalah Pembuangan kotoran dan sampah. Satu kilo kotoran manusia mungkin bisa didekomposisi dalam waktu satu minggu, dan tentu tidak memakan banyak tempat untuk membuangnya. Lalu bagaimana dengan kotoran 1000 orang yang dibuang hampir bersamaan? Anda pikir saja sendiri!
Sebenarnya pada pendakian massal, sampah non kotoran bisa saja tidak ditinggalkan di gunung. Jika saja pendaki bersangkutan punya kesadaran akan kelestarian gunung. Sayangnya, mengurus kepala 1.000 orang yang belum tentu semuanya tidak bebal sangatlah susah. Ketika sudah sangat capai, orang cenderung akan mengurangi bebannya.
Jika itu terjadi saat pendakian massal, sudah bisa dibayangkan berapa banyak sampah yang akan ditinggalkan.
Masalah selanjutnya adalah kebisingan (dari suara dan kegiatan pendaki) yang bisa mengusik satwa liar di gunung, masalah limbah B3 (misalnya deterjen, baterai, gas, dsb) dan banyak masalah lain.
3. Persiapan Mendaki bagi Pemula
-Siap perlengkapan
-Siap fisik
-Siap Mental
-Siap obat-obatan
-Siap pada keadaan darurat
-Siap menghadapi faktor X
Perlengkapan standar : Mulai dari yang sangat penting (Carier/ransel, Sepatu + Sendal Gunung, Jaket Tebal yang sesuai, Celana yang sesuai, sleeping bag, tenda, pakaian dalam secukupnya, kupluk/xebo, raincoat, logistik, medis, alat masak, perlengkapan tambahan seperti pisau dll)
Perlengkapan sangat tergantung pada : Tempat yang dituju (Ketinggian, suhu, ketersediaan alami), cuaca, ancaman yang perlu diwaspadai, dsb.
Silahkan baca materi tentang manajemen perjalanan!
Pertanyaan ketiga dari Tiffany : Poin intinya ; Bagaimana mulai menulis? Biasanya memulai sangat susah?Apakah menulis mesti dari pengalaman real, apakah mesti dari pengalaman atau bagaimana? Apakah menulis itu Bakat atau kita bisa menulis meski tidak berbakat?
1. Memulai sebuah tulisan memang sulit. Terutama menentukan kalimat pembuka. Namun, apabila menulis telah menjadi kebiasaan, apalagi menulis telah menjadi suatu yang menyenangkan, maka kata apa saja bisa jadi kalimat pembuka.
Biasanya setelah mendapatkan kalimat pembuka yang tepat, fase selanjutnya akan mengalir.
2. Kata Andrea Hirata, barangkali karena basic-nya Andrea adalah scientist ; lakukanlah penelitian sebelum menulis. Data-data yang kita dapatkan akan sangat menentukan bobot tulisan kita. Dari data-data itu kita akan mudah mengarahkan tulisan.
Dari data-data juga imajinasi kita akan berkembang, baik itu menjadi sesuatu yang liar atau yang terkontrol. Menulis tidak mesti dari pengalaman real pribadi. Kita bisa bertanya pada orang, mendengarkan masalah orang lalu kita tuliskan.
Pengalaman memang sangat berpengaruh pada isi dan ragam tulisan. Tapi untuk menjadi berpengalaman, semua orang pasti beranjak dari NOL pengalaman. Jadi mulailah mencari-membuat pengalaman menulis sebanyak-banyaknya dari sekarang.
Pengalaman akan menentukan presisi tulisan kita.
Apakah menulis itu bakat? Tidak! Menulis sama sekali bukan bakat alamiah! Menulis, memimpin, berpolitik, itu termasuk bidang seni. Seni artinya dapat diasah dengan latihan. Semakin sering berlatih, semakin sering belajar dari kesalahan, semakin sedikit kesalahan yang diulangi, semakin baik lah tulisan itu.
Semua orang bisa menjadi penulis asal mau melatih diri membuat tulisan yang bagus :)
Pertanyaan keempat dari Luthfi : Redaksionalnya sangat panjang, tapi kugarisbawahi beberapa poin saja yang utama ; Sisi Teologis dari mendaki gunung, sisi nasionalisme, Pesan kultural dari novel fatamorgana, dan kepuasan batin yang di dapat dari menulis, mendaki, bertualang.
Yap, sisi teologisnya memang sangat banyak. Banyak hal yang akan mendekatkan manusia pada Tuhannya bisa terjadi di gunung. Hal ini logikanya karena kebutuhan manusia akan keselamatan pribadi, ketakjuban akan indahnya alam, dll.
Sisi nasionalisme-nya seperti yang sudah disinggung di video slideshow, yang mengutip kata-kata Hok Gie bahwa Nasionalisme tidak diajarkan di sekolah, tapi bisa didapatkan dengan menjelajahi negeri, melihatnya langsung, berinteraksi lebih dekat, dll.
Ya, kutipan itu bukan isapan jempol. Gie tidak mengada-ada mengatakan hal tersebut. Dia telah membuktikannya. Saya juga telah membuktikan betapa terharunya melihat gundukan bukit-bukit gersang yang sangat eksotis di Sumbawa. Penglihatan itu bisa mempertebal rasa cinta pada negeri ini.
Sekolah tidak mengajarkan hal-hal diluar pelajaran standar untuk mempertebal Nasionalisme. Seandainya pemerintah memang berniat, maka pelajaran sejarah akan menjadi pelajaran wajib. Karena dengan mengetahui sejarah kita di masa lampau, kita akan mengerti apa yang akan dilakukan untuk masa depan.
Dengan mengetahui betapa jayanya Indonesia dimasa dahulu, kita akan semakin mencintai untuk menjaga negeri. Di negara maju, sejarah telah menjadi mata pelajaran pokok. Mengapa? karena dengan mengetahui siapa diri kita, kita tidak akan bingung akan berbuat apa pada orang lain.
Begitulah, dengan mengetahui sejarah Ikapemta dimasa lalu, anggota Ikapemta masa kini akan mendapatkan arah bagi Ikapemta di masa depan.
Pesan Kultural di Novel Fatamorgana salah satunya dapat dilihat di halaman-halaman akhir di BAB EPILOG. Saya kutip disini :
Suatu hari di bulan Februari 2013, aku berkesempatan menginjakkan kaki kembali di Ranupani, kaki gunung Semeru.
Kali ini aku datang dengan partner, tujuan, cara dan sudut pandang berbeda. Aku tidak mendaki gunung karena pendakian sedang di tutup. Kawasan Gunung Semeru dilanda hujan badai selama pertengahan Januari sampai Februari ini. Pendakian ditutup sampai 25 Maret, begitu yang kubaca dari spanduk.
Banyak kenyataan yang sama sekali tak kulihat saat pendakian akhir Desember itu, terlihat pada kunjungan kedua.
Betapa apatisnya aku? Terperosok pada kepongahan dan ketidakpedulian pribadi, hingga tak memperhatikan detail di sekitarku.
Aku dan temanku datang dengan sepeda motor bebek. Langsung dari Jogja nonstop seharian. Dari Tumpang jam 7 malam tiba di Ranupani jam 9 lebih. Pulangnya lagi-lagi malam hari. Jam 8 dari Ranupani, sampai Tumpang jam 10 malam. Sampai kembali ke Jogja, totalnya 3 hari.
Bukan lelah yang kuprihatinkan. Ternyata banyak masalah tak terpedulikan. Banyak cerita kemudian terlontar, ketika sedikit saja ada kepedulian untuk berempati.
Bagaimana susahnya evakuasi di Bleng 75 beberapa tahun lalu, hingga kini banyak pendaki muda yang tak tahu. Sejarah begitu mudah dilupakan. Cerita pilu hanya tinggal kenangan. Sampai Ranu Regulo menelan korban, orang kembali diingatkan. Alam tidak mau dipermainkan.
Bagaimana danau Ranupani semakin mendangkal, siapa yang mau mengeruknya? Mau dialihkan kemana tanahnya? bagaimana hutan asli terinvasi, bagaimana lahan pertanian tererosi
Bagaimana buruknya jalur transportasi, bagaimana uniknya kondisi pendidikan di Ranupani, bagaimana Edelwis semakin tersingkir, bagaimana susahnya telekomunikasi, bagaimana masalah sampah? Bagaimana sanitasi air?
Bagaimana Semeru bisa memutar ekonomi masyarakat? Bagaimana aturan-aturan saling bertabrakan?
Sampai-sampai, bagaimana mungkin banjir terjadi di tempat yang begitu tinggi?
Aku terdiam, termangu di tengah gerimis, memandangi danau Ranupani yang berasap kedinginan.
Bagaimana mungkin kemarin aku tidak melihat semua ini?
Siapakah aku?
Mengapa aku tak melihat, padahal mataku terbuka
Mengapa aku tak mendengar, padahal telinga menganga
Mengapa aku tak tersentuh, padahal aku mampu merasakan dingin?
Yah, aku memang telah bertemu kembali
Tapi kali ini Semeru yang bertanya padaku, mengapa kamu kesini?
Mengenai kepuasan batin dari menulis. Bagi saya pribadi hal itu memang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Seperti semua rasa bercampur, semua memori perjuangan terbayangkan dan menimbulkan rasa haru, seperti sebuah batu besar yang membebani pundak seketika terlepas. Wah Puas sangat!
Begitu juga halnya dengan mendaki gunung, ketika mencapai puncak. Seketika semua rasa lelah terbayarkan dengan menginjak puncak. Apalagi jika disuguhi pemandangan yang indah dan sulit didapatkan di tempat lain. Wah sangat puas!
Bertualang apalagi. Sulit sekali mengungkapkan mengapa aku harus jauh-jauh ke Sumbawa mengayuh sepeda. Apa yang dicari? Dalam proses perjalanan itulah muncul perenungan, muncul perdamaian dengan masa lalu, diri sendiri, banyak hal yang menekan dan membebani. Proses perjalanan yang berat itu, jika diterima dengan hati lapang, dengan ketabahan, akan melahirkan suatu yang lebih lapang di dada kita. Dan aku tak tahu apa namanya.
Skip ... Skip ... Skip ...
Itulah sekelumit tentang Bedah Buku Fatamorgana di MABES IKAPEMTA Yogyakarta. Thanks buat teman-teman semua yang udah datang, yang udah menyimak, yang udah membantu terselenggaranya Bedah Buku khusus untuk warga Tanjab Barat di Yogyakarta.
Mengenai Pre-Launching Novel Catatan perjalanan Jogja Sumbawa berjudul "ONTHELKU-Chapter 1 Jogja-Jombang" nanti aja ya. Mending pas Launching nanti sekalian :D
Salam Nurul Amin-Freelance Writer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H