Mohon tunggu...
Nurul Amin
Nurul Amin Mohon Tunggu... Penulis - founder travelnatic dan peatland coffee

Penikmat kopi garis miring. Menyukai kegiatan riset, perkebunan, pertukangan, sains, sejarah, literasi, perjalanan, organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bedah Buku Fatamorgana di Mabes IKAPEMTA Yogyakarta

12 April 2013   02:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:20 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13632173001999228565

Yap, sisi teologisnya memang sangat banyak. Banyak hal yang akan mendekatkan manusia pada Tuhannya bisa terjadi di gunung. Hal ini logikanya karena kebutuhan manusia akan keselamatan pribadi, ketakjuban akan indahnya alam, dll.

Sisi nasionalisme-nya seperti yang sudah disinggung di video slideshow, yang mengutip kata-kata Hok Gie bahwa Nasionalisme tidak diajarkan di sekolah, tapi bisa didapatkan dengan menjelajahi negeri, melihatnya langsung, berinteraksi lebih dekat, dll.

Ya, kutipan itu bukan isapan jempol. Gie tidak mengada-ada mengatakan hal tersebut. Dia telah membuktikannya. Saya juga telah membuktikan betapa terharunya melihat gundukan bukit-bukit gersang yang sangat eksotis di Sumbawa. Penglihatan itu bisa mempertebal rasa cinta pada negeri ini.

Sekolah tidak mengajarkan hal-hal diluar pelajaran standar untuk mempertebal Nasionalisme. Seandainya pemerintah memang berniat, maka pelajaran sejarah akan menjadi pelajaran wajib. Karena dengan mengetahui sejarah kita di masa lampau, kita akan mengerti apa yang akan dilakukan untuk masa depan.

Dengan mengetahui betapa jayanya Indonesia dimasa dahulu, kita akan semakin mencintai untuk menjaga negeri. Di negara maju, sejarah telah menjadi mata pelajaran pokok. Mengapa? karena dengan mengetahui siapa diri kita, kita tidak akan bingung akan berbuat apa pada orang lain.

Begitulah, dengan mengetahui sejarah Ikapemta dimasa lalu, anggota Ikapemta masa kini akan mendapatkan arah bagi Ikapemta di masa depan.

Pesan Kultural di Novel Fatamorgana salah satunya dapat dilihat di halaman-halaman akhir di BAB EPILOG. Saya kutip disini :

Suatu hari di bulan Februari 2013, aku berkesempatan menginjakkan kaki kembali di Ranupani, kaki gunung Semeru.

Kali ini aku datang dengan partner, tujuan, cara dan sudut pandang berbeda. Aku tidak mendaki gunung karena pendakian sedang di tutup. Kawasan Gunung Semeru dilanda hujan badai selama pertengahan Januari sampai Februari ini. Pendakian ditutup sampai 25 Maret, begitu yang kubaca dari spanduk.

Banyak kenyataan yang sama sekali tak kulihat saat pendakian akhir Desember itu, terlihat pada kunjungan kedua.

Betapa apatisnya aku? Terperosok pada kepongahan dan ketidakpedulian pribadi, hingga tak memperhatikan detail di sekitarku.

Aku dan temanku datang dengan sepeda motor bebek. Langsung dari Jogja nonstop seharian. Dari Tumpang jam 7 malam tiba di Ranupani jam 9 lebih. Pulangnya lagi-lagi malam hari. Jam 8 dari Ranupani, sampai Tumpang jam 10 malam. Sampai kembali ke Jogja, totalnya 3 hari.

Bukan lelah yang kuprihatinkan. Ternyata banyak masalah tak terpedulikan. Banyak cerita kemudian terlontar, ketika sedikit saja ada kepedulian untuk berempati.

Bagaimana susahnya evakuasi di Bleng 75 beberapa tahun lalu, hingga kini banyak pendaki muda yang tak tahu. Sejarah begitu mudah dilupakan. Cerita pilu hanya tinggal kenangan. Sampai Ranu Regulo menelan korban, orang kembali diingatkan. Alam tidak mau dipermainkan.

Bagaimana danau Ranupani semakin mendangkal, siapa yang mau mengeruknya? Mau dialihkan kemana tanahnya? bagaimana hutan asli terinvasi, bagaimana lahan pertanian tererosi

Bagaimana buruknya jalur transportasi, bagaimana uniknya kondisi pendidikan di Ranupani, bagaimana Edelwis semakin tersingkir, bagaimana susahnya telekomunikasi, bagaimana masalah sampah? Bagaimana sanitasi air?

Bagaimana Semeru bisa memutar ekonomi masyarakat? Bagaimana aturan-aturan saling bertabrakan?

Sampai-sampai, bagaimana mungkin banjir terjadi di tempat yang begitu tinggi?

Aku terdiam, termangu di tengah gerimis, memandangi danau Ranupani yang berasap kedinginan.

Bagaimana mungkin kemarin aku tidak melihat semua ini?

Siapakah aku?

Mengapa aku tak melihat, padahal mataku terbuka

Mengapa aku tak mendengar, padahal telinga menganga

Mengapa aku tak tersentuh, padahal aku mampu merasakan dingin?

Yah, aku memang telah bertemu kembali

Tapi kali ini Semeru yang bertanya padaku, mengapa kamu kesini?

Mengenai kepuasan batin dari menulis. Bagi saya pribadi hal itu memang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Seperti semua rasa bercampur, semua memori perjuangan terbayangkan dan menimbulkan rasa haru, seperti sebuah batu besar yang membebani pundak seketika terlepas. Wah Puas sangat!

Begitu juga halnya dengan mendaki gunung, ketika mencapai puncak. Seketika semua rasa lelah terbayarkan dengan menginjak puncak. Apalagi jika disuguhi pemandangan yang indah dan sulit didapatkan di tempat lain. Wah sangat puas!

Bertualang apalagi. Sulit sekali mengungkapkan mengapa aku harus jauh-jauh ke Sumbawa mengayuh sepeda. Apa yang dicari? Dalam proses perjalanan itulah muncul perenungan, muncul perdamaian dengan masa lalu, diri sendiri, banyak hal yang menekan dan membebani. Proses perjalanan yang berat itu, jika diterima dengan hati lapang, dengan ketabahan, akan melahirkan suatu yang lebih lapang di dada kita. Dan aku tak tahu apa namanya.

Skip ... Skip ... Skip ...

Itulah sekelumit tentang Bedah Buku Fatamorgana di MABES IKAPEMTA Yogyakarta. Thanks buat teman-teman semua yang udah datang, yang udah menyimak, yang udah membantu terselenggaranya Bedah Buku khusus untuk warga Tanjab Barat di Yogyakarta.

Mengenai Pre-Launching Novel Catatan perjalanan Jogja Sumbawa berjudul "ONTHELKU-Chapter 1 Jogja-Jombang" nanti aja ya. Mending pas Launching nanti sekalian :D

Salam Nurul Amin-Freelance Writer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun