Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bidan Nurhasanah (4)

23 April 2024   09:05 Diperbarui: 23 April 2024   09:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bidan Nurhasanah, berdiri disebuah jalan setapak menuju pemukiman transmigrasi diolah menggunakan Ai Bing (Dokpri)

Lambat laun, sejak Pak Rohmat mengantarkan bu bidan Nurhasanah, membantu warga yang isterinya melahirkan di Kampung tua, keduanya tambah dekat. 

Ibu bidan Nurhasanah, sering mengundang Pak Rohmat kerumahnya, untuk mencicipi masakannya. Sesekali, bu bidan juga meminta penilaiannya, tentang masakan yang dibuatnya. 

Bu Ujun, yang menemani bu bidan dirumahnya, sesekali mencuri dengar pembicaraan kedua insan berlainan jenis tersebut. Seorang bidan, dan yang satunya Pak guru, dua sejoli yang serasi, pikir bu Ujun.

Bu bidan, mempunyai watak yang keras, dan tegas. Dan biasa, apa kemauannya harus dituruti. Mafhum, anak tunggal, tidak mempunyai saudara. Mungkin juga, wataknya menurun dari sang Bapak, yang pensiunan tentara Angkatan Udara (AU), di Balikpapan.

Sedangkan Pak Rohmat, orangnya pendiam, ramah, dan sopan. Terkadang, di mata bu UJun, Pak guru baru ini, sedikit culun. Kedekatan keduanya, menjadi buah bibir warga kampung transmigrasi. 

Kabar ini, juga sampai ke rekan, seprofesi bu bidan, yang berada di kampung lain. Kabar tersebut seperti burung yang terbang melintasi dari satu kampung ke kampung lain, kabar keduanya, seakan menjadi kabar utama di ruang-ruang puskesmas pembantu (Pusban).

***

"Bagaimana Pak guru, pengalaman mengajar pertamanya di kampung transmigrasi ini." tanya bu bidan. 

"Hmm, seru. Cuman saya cukup prihatin, kebanyakan anak yang bersekolah, belum berseragam, bersendal jepit. Bahkan diantara mereka, tidak mempunyai buku tulis."

"Yah, begitulah Pak Guru, keadaan warga disini. Jangankan memenuhi kelengkapan sekolah, untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit. Sekolah tak lebih penitipan anak, karena orang tuanya pergi ke ladang. Di saat musim panen, anak-anak ikut orang tua mengetam. sekolah jadi sepi, tanpa murid." jelas bu bidan, sambil menyusun peralatan masak, yang telah dicuci.

"Kalau saya gak tahan jadi guru!, anak disini nakal-nakal, bisa meledak kepala saya Pak guru." tambah bu bidan.

"Kok bisa begitu bu bidan?."

"Ah, sudahlah Pak guru, ngomongin masa depan kita aja ini, bagaimana?." goda bu Bidan menahan tertawanya. Dia hanya ingin mengetahui reaksi Pak Rohmat.

"Lha, kok lari kesitu bu bidan?." jawab Pak Rohmat, gugup.

"Hahaha, bercanda aja Pak guru, Pak guru sudah punya pacar belum?, atau sudah punya calon isteri di Kampung?."

"Kalau bu bidan, sudah punya belum?." tanya balik Pak Rohmat.

Belum selesai percakapan mereka, dari arah luar terdengar suara mobil yang mendaki di bukit kecil yang ada rumah kopel Kepala pemukiman transmigrasi. 

Bu bidan bergegas keluar dari rumah, diikuti oleh Pak Guru Rohmat.

"Pak Rohmat, Saya ingin melihat keluar untuk memastikan ada mobil. Saya ingin memesan taksi untuk pergi ke kota besok."

Ternyata, memang benar, sebuah mobil berhenti di depan kantor pemukiman transmigrasi. Dari dalam mobil, keluar seorang pemuda berambut gondrong yang di kuncir, dan badannya kurus.

"Om Botok!, om botok, datang buk!." teriak bocah kecil, sepulang mandi dari sumur bersama Ibunya. Bocah kecil itu, senang sekali, kedatangan lelaki muda, yang dipanggil Om botok. 

Nama sebenarnya, Warnoto, tapi biasa dipanggil Botok, oleh Ibu Bidan Nurhasanah. Sehingga nama tersebut melekat, dan lebih mudah diucapkan di lidah. Botok, tenaga pendamping kampung transmigrasi, sebagai sarjana masuk desa.

Sehari-hari, Botok bertugas di Kampung transmigrasi, selain mendampingi kepala transmigrasi, juga bertugas sebagai Ketua Kelompok Usaha Desa (KUD), yang di sediakan bagi warga kampung.

***

"Wuiss!, bu bidan, piye kabare!."

" Apik mas Botok, mana oleh-olehnya!." 

Keduanya bersalaman komando. Botok, dari segi tampilan urakan, dan tak suka menggunakan pakaian yang rapi, dan formal. Biasa menggunakan baju kumal, dan celana levis yang sudah kusam. 

"Cuapek Mbak, oleh-olehnya. Hanya sedikit oleh-oleh saja!."

"Enggak apa-apa mas Botok,  panjenengan, berangkat dan kembali lagi, dengan selamat, sudah syukur!." 

Bu Bidan Nurhasanah, sempat berencana mau ke Tanjung redeb, namun tertunda karena tidak ada mobil yang bisa diikuti. Memang, untuk berpergian di kampung transmigrasi sangat sulit. 

Tidak setiap hari ada kendaraan yang berangkat ke kota. Kalaupun ada, biasanya kursi mobil sudah penuh, terisi. Karena mas Botok, baru pulang dari kota, maka bu Bidan Nurhasanah bisa pesan, untuk berangkat di keesokan hari.

Kalau tidak pesan terlebih dulu, memang agak sulit. Apalagi menunggu di pinggir jalan, di depan gerbang pintu masuk kampung transmigrasi. 

Warga kampung bisa dengan mudah ikut numpang dan pesan taksi, kalau kebetulan ada taksi yang mengantarkan penumpang , masuk ke kampung transmigrasi. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun