Lambat laun, sejak Pak Rohmat mengantarkan bu bidan Nurhasanah, membantu warga yang isterinya melahirkan di Kampung tua, keduanya tambah dekat.Â
Ibu bidan Nurhasanah, sering mengundang Pak Rohmat kerumahnya, untuk mencicipi masakannya. Sesekali, bu bidan juga meminta penilaiannya, tentang masakan yang dibuatnya.Â
Bu Ujun, yang menemani bu bidan dirumahnya, sesekali mencuri dengar pembicaraan kedua insan berlainan jenis tersebut. Seorang bidan, dan yang satunya Pak guru, dua sejoli yang serasi, pikir bu Ujun.
Bu bidan, mempunyai watak yang keras, dan tegas. Dan biasa, apa kemauannya harus dituruti. Mafhum, anak tunggal, tidak mempunyai saudara. Mungkin juga, wataknya menurun dari sang Bapak, yang pensiunan tentara Angkatan Udara (AU), di Balikpapan.
Sedangkan Pak Rohmat, orangnya pendiam, ramah, dan sopan. Terkadang, di mata bu UJun, Pak guru baru ini, sedikit culun. Kedekatan keduanya, menjadi buah bibir warga kampung transmigrasi.Â
Kabar ini, juga sampai ke rekan, seprofesi bu bidan, yang berada di kampung lain. Kabar tersebut seperti burung yang terbang melintasi dari satu kampung ke kampung lain, kabar keduanya, seakan menjadi kabar utama di ruang-ruang puskesmas pembantu (Pusban).
***
"Bagaimana Pak guru, pengalaman mengajar pertamanya di kampung transmigrasi ini." tanya bu bidan.Â
"Hmm, seru. Cuman saya cukup prihatin, kebanyakan anak yang bersekolah, belum berseragam, bersendal jepit. Bahkan diantara mereka, tidak mempunyai buku tulis."
"Yah, begitulah Pak Guru, keadaan warga disini. Jangankan memenuhi kelengkapan sekolah, untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit. Sekolah tak lebih penitipan anak, karena orang tuanya pergi ke ladang. Di saat musim panen, anak-anak ikut orang tua mengetam. sekolah jadi sepi, tanpa murid." jelas bu bidan, sambil menyusun peralatan masak, yang telah dicuci.