Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Deja vu di Kafe Kopi

14 April 2024   08:41 Diperbarui: 14 April 2024   16:31 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua orang anak muda sedang berada di kafe kopi, diolah menggunakan Ai Bing | Dokumen Pribadi

"Seperti ombak yang kembali ke pantai yang sama. Kenangan itu meleleh dipikiranku, memberikan sensasi deja vu yang membingungkan. Seolah-olah waktu telah melipat dirinya dan aku berjalan di jalur yang telah terukir dalam ingatan."

Kafe dengan ornamen kuno, dan hidangan bahari (lama) sebagai menu andalan. Sepekan sekali, Danesh, nongkrong di kafe kopi berpapan nama "Kong Djie", dengan suguhan kopi tertua yang sudah ada sejak jaman penjajahan Jepang.

Tidak sulit mencari Kafe kopi bernama kong djie, disamping kanan jalan, dibagian depan pintu masuk pusat perdagangan. Rumor beredar, dari desas-desus pengunjung kafe kopi ini, ada satu meja yang bisa membuat pengunjung menjelajah masa lalu.

Hanya saja, pengunjung kafe kopi Kong Djie, kebanyakan tidak mengetahui caranya. Sebagian menganggap itu berlebihan, takhayul dan halu, hanya isapan jempol belaka. 

***

Bila bosan bermain game, Danesh, menjelajah masa lalu dari pusat pertokoan dan perdagangan tersebut. Bagaimana caranya?, hanya Danesh yang mengerti, dan beberapa pelaut tua yang juga suka nongki bersama mantan pelaut lainnya, di kafe kopi tersebut.

"Mas Danesh ya?." seorang wanita cantik, mengenakan jilbab menyapanya. Wanita itu mengulurkan tangannya, ingin bersalaman.

"eh, Iya?, dengan siapa ya?." 

"Perkenalkan mas, nama saya Ratu, lengkapnya Ratu Wilhelmina." jawab wanita tersebut, sambil menggenggam erat tangan Danesh, saat bersalaman. Wanita muda itu tersenyum manis, sambil duduk dikursi tepat didepan Danesh, yang dipisahkan meja bundar kecil.

Keduanya, jadi berhadapan. Danesh mendengarkan, apa yang tengah disampaikan Ratu. Lelaki muda tersebut, menyimpan handphonenya, disaku celana. Ia mendengarkan dengan serius, maksud dan tujuan ratu wilhelmina berbicara dengannya.

"Oh, jadi begitu?, hmm.." Danesh menatap dalam mata Ratu, sesaat menundukkan pandangan, sambil menarik napas dalam.

"Cuman ada syaratnya, Ratu?, dan ini mungkin agak berat?."

"Apa syaratnya mas Danesh, tolonglah saya, please mas. Saya ingin sekali bertemu dengan Ibu saya, yang meninggal saat melahirkan saya. Dan ingin bercakap-cakap dengan beliau di masa lampau. Bisakan mas?." pinta Ratu wilhelmina, penuh harap.

***

Ibu Ratu Wilhelmina, meninggal dunia saat melahirkannya. Dia tidak sempat melihat, dan merasakan kasih sayang seorang ibu kandung. Setelah beranjak anak-anak hingga remaja, yang tertinggal hanya sebuah poto tak berwarna, hitam putih. Poto kedua orang tuanya, saat melangsungkan pernikahan, dan duduk dipelaminan.

Hanya itu saja peninggalan orang tuanya. Rumah kelahirannya, terbakar hebat ditahun 2004, beberapa bulan setelah Ibunya, melahirkan. Ayahnya pun ikut meninggal saat kebakaran tersebut, karena terkunci didalam rumah, dan tidak bisa menyelamatkan diri.

Ratu Wilhelmina, dibesarkan oleh neneknya. Dan hanya poto hitam-putih yang sudah berbecak itu yang tersisa. Untungnya nenek Ratu menyimpan poto kedua orang tuanya di sebuah bingkai poto yang terletak diruang tamu.

"Ini mas Danesh, poto Ayah dan Ibuku, saat mereka menikah." Ratu menyerahkan poto tersebut pada Danesh. 

"Kata nenek saya, Ayah dan Ibu suka berjalan-jalan ke toko buku yang ada dekat dengan kafe kopi ini."

"Iya, apa toko yang ada dibelakang deretan, satu jalur blok dengan kafe kopi Kong Djie?."

"Benar mas, Ayah dan ibu sama-sama kutu buku. Mereka setiap bulan, pasti singgah ke toko itu."

***

Danesh melepas kacamatanya, dan menyeka butir keringat dikeningnya. Membersihkan lensa kacamatanya, yang memburam. 

"Baiklah Ratu, saya akan membantumu. Untuk kembali kemasa lalu, ada beberapa syarat sebagai peraturan yang harus diikuti."

"Saya siap mas, apapun itu syaratnya akan saya ikuti. Asalkan saya bisa bertemu kedua orang tua saya. Terutama bisa bertemu dengan Ibu." ujarnya kepada Danesh.

Pemuda berkacamata itu, merasakan kuatnya tekad ratu bertemu kedua orang tuanya. Tidak ada pilihan buat Danesh, selain memenuhi keinginannya.

Ujung mata Danesh mengarah ke bagian depan Kafe. Dia melambai seorang waiter, yang sedang menyuguhkan kopi di meja sepasang   pelanggan kafe. Pemuda tersebut bergegas mendatangi keduanya.

***

Ilustrasi suasana pedagang kaki lima berjualan Kaset CD Film ditahun 90-an diolah menggunakan Ai Bing | Dokumen Pribadi
Ilustrasi suasana pedagang kaki lima berjualan Kaset CD Film ditahun 90-an diolah menggunakan Ai Bing | Dokumen Pribadi

Danesh, memperkenalkan waiter kafe kopi Kong Djie, ke Ratu. Namanya, Rendi, dan biasa membantu Danesh, kalau ada pengunjung yang ingin kembali ke masa lalu.

"Ratu, selama kita berada di masa lalu, Rendi yang akan menjaga kita selama berpergian. Kita akan memesan secangkir kopi khas kafe ini. Kopi Kong Djie, diolah dari resep keluarga Ho Kong Djie. " jelas Danesh.

"Kita hanya bisa berada di masa lalu, disekitar komplek pertokoan dan perdagangan ini. Tidak boleh keluar dari batas wilayah perdagangan tertua di kota ini. Cukup lumayan luasnya, sekitar 2,1 hektar." tambah Danesh.

"Bagaimana kalau kita keluar dari wilayah ini?." tanya Ratu penasaran.

"Kita tidak bisa kembali selamanya!. Kita berdua akan terjebak di masa lalu, dan tubuh kita dimasa sekarang akan mati. Bisa terkena serangan jantung, bisa disebabkan darah tinggi." 

Ratu terdiam mendengarkan penjelasan Danesh. " Dan kita, harus kembali sampai kopi yang terhidang dimeja mulai dingin."

"Kalau sampai dingin, berarti cuman sebentar?." Ratu menyela.

"Jangan kuatir Ratu. Lama kita berada di masa lalu, dengan saat sekarang berbeda. Secangkir kopi Kong Djie, disajikan dengan suhu panas yang tinggi diolah dan dituangkan dicangkir kuno, yang bisa menahan panas lebih lama."

"Berapa lama secangkir kopi Kong Djie menjadi dingin?."

"Kurang lebih lima belas menit. Kita bisa berada disana, sekitar satu jam setengah di masa lalu. Cukuplah, kita berkeliling seputar pusat perdagangan kota ini.

***

"Bagaimana?, kamu siap?." tanya Danesh memastikan.

"Aku siap, mas Danesh."

Keduanya memperbaiki posisi duduk.. Tangan keduanya, berpegangan, sambil memejamkan mata. Sedangkan Rendi, waiter kafe kopi, duduk diantara keduanya. Menjaga tubuh keduanya, sampai kembali ke masa sekarang.

Sesaat, Danesh dan ratu membuka matanya. Keduanya berada di sebuah bangku taman terbuat dari kayu yang mulai rusak. Disekitar mereka, di sepanjang jalan banyak penjual kaset CD film, yang berjejer disepanjang jalan. Komplek pertokoan tersebut terlihat kumuh dan semerawut.

"Mas Danesh, tempat apa ini?, dimana kita saat ini?." tanya Ratu.

"Ini pusat perdagangan dan toko serta kafe, dimana kita ngopi tadi. Saat ini kita berada di tahun 90-an. Dimana-mana penjual kaset, pakaian, berada dikedua sisi jalan umum, seputar komplek perdagangan.

***

Ditengah-tengah pusat perbelanjaan, terdapat kerumunan pengunjung. Danesh dan Ratu, menuju kerumunan tersebut. Mereka berdiri dipinggiran lapangan menonton beberapa orang yang berteriak-teriak.

"Ayo bapak-ibu, yang jauh merapat, yang rapat mari tambah mendekat. Ini obat bukan sembarang obat!. Tapi ini obat manjur, bisa mengobati batu ginjal!. Anda minum, seketika batu ginjal hancur!." seseorang berbicara pakai pengeras suara, sambil mengacungkan sebungkus obat.

"Apa itu  Mas Danesh?."

"Itu penjual obat keliling, tukang sulap!, komplotan penipu juga. Ayo kita menyingkir dari sini, dan melanjutkan langkah kita berkeliling."

***

Mereka berdua, mengitari pusat perbelanjaan tersebut. Dimana-mana penjual kaset CD Film, penjual baju, dan penjual jam tangan memenuhi bahu jalan. Terpal-terpal bergelayutan, yang diikatkan kesana-sini, menambah kesan kumuh dan semerawutnya para pedagang kaki lima. 

Akhirnya, mereka menemukan yang dicari. Sepasang suami isteri yang mirip, di foto yang dibawa Ratu Wilhelmina. Keduanya, sedang berbelanja di sebuah toko baju, dengan papan nama toko baju murah.

"Mas Danesh, coba kamu lihat kedua pembeli itu, mirip dengan kedua orang tuaku di foto." 

"Benar Ratu, kita ikuti keduanya sampai keluar dari toko murah." Keduanya terus membuntuti sepasang suami isteri tersebut, beberapa langkah dibelakangnya.

Pada kesempatan yang tepat, persis dimana kafe kopi Kong Djie saat ini berdiri, mereka menegur keduanya. Mereka berempat, terlibat percakapan yang hangat. Ternyata benar kedua pasangan tersebut adalah orang tua Ratu Wilhemina.

Wanita berjilbab tersebut, menangis dipelukan ibunya. Mereka berangkulan bertiga. Danesh hanya terdiam menyaksikan ketiganya dipenuhi rasa bahagia. 

"Ratu, ayo kita segera kembali!, waktunya mau habis!. Aku merasakan udara dingin yang menyergap, pertanda kopi sudah mulai dingin." ingat Danesh. Keduanya, harus segera kembali bila secangkir kopi itu sudah mulai dingin.

Akhirnya mereka berpamitan. Sekali lagi ketiganya berpelukan. Ayah dan Ibu Ratu melambaikan tangannya, memberikan tanda perpisahan. Ratu Wilhelmina membalasnya, sambil menyeka air matanya meleleh di pipi.

Keduanya telah kembali di kafe kopi Kong Djie. Sensasi Deja vu menyelimuti Ratu. Aroma kopi menyerebak ditengah riuh rendah pengunjung kafe kopi yang mulai memenuhi meja kafe.

Danesh, melepaskan tangannya. keduanya menikmati secangkir kopi rahasia kong djie, yang disuguhkan, mulai mendingin. Rendi juga berpamitan, untuk melayani pelanggan kafe lainnya.

"Terimakasih Mas Danesh. Saya sudah bisa bertemu kedua orang tua saya di demensi waktu masa lalu." ucap Ratu Wilhelmina.

Danesh menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum. Dilain waktu, Ratu menginginkan Danesh membantunya kembali ke masa lalu, bertemu lebih banyak keluarganya yang telah tiada dan menikmati suasana pusat perdagangan kota ini dengan segala kenangannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun