Derasnya serbuan media mainstream, dan pengaruh globalisasi, interaksi dan toleransi masyarakat mulai dirasakan terkikis. Tenggang rasa, "Tepo seliro," yang merupakan kearifan lokal yang menjadi nilai-nilai luhur Pancasila, di Buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang menggunakan Kurikulum 1975, diajarkan di Sekolah Dasar.
Dulu, sangat terasa kehangatan pergaulan dan interaksi masyarakat yang langsung terlihat dan dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Disekolah pun penanaman nilai luhur sikap tenggang rasa,"Tepo Seliro," benar-benar ditanamkan oleh guru kepada siswa.Â
Pengalaman saya sendiri, ketika di Sekolah Dasar waktu itu, bagaimana seorang guru langsung mengajak teman-teman sekelas, untuk menjenguk teman yang sakit. Tanpa memandang status, agama, dan suku. Keakraban yang dibentuk oleh guru dengan penanaman Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bukan hanya slogan.
Waktu itu, sangat terasa, suasana dan keakraban sebagai warga negara yang berbeda. Kegiatan gotong-royong, membuat rumah ibadah, membangun jembatan, memperbaiki jalan yang rusak, dikerjakan secara bersama oleh masyarakat bahu membahu.
Disekolah pun, saya ingat betul ketika hari besar keagamaan, saling kunjung mengunjungi teman yang berbeda agama dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Saya sangat kagum dengan guru saya, yang waktu SD beliau adalah guru mata pelajaran PMP, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, namun semua membumikan nilai luhur Pancasila, kedalam hati muridnya, kalau kita harus bisa bertenggang rasa, menghargai, dan menghormati, dengan siapapun yang berbeda keyakinan, warna kulit, suku dan budaya.
Tenggang rasa (tepo seliro), merupakan kearipan lokal dalam masyarakat jawa, yang kemudian menjadi nilai luhur pancasila. Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun menjadikan setiap diri juga mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya.
Bagaimana dengan Sekarang sikap tenggang rasa,"tepo seliro," tersebut?
Diakui atau tidak, perlahan terjadi degradasi sikap tenggang rasa ditengah masyarakat. Sikap individualistis, dan menurunnya sikap toleransi mulai terkikis perlahan. Â Pertentangan tajam sering terjadi di media sosial. Memberi label satu sama lain, dengan kata-kata yang tidak memanusiakan harkat dan martabat, sebagai makhluk Tuhan yang mulia.
Jurang dan skat, perbedaan semakin meluas diberbagai sendi kehidupan di masyarakat. Adanya oknum yang menghakimi dan memperkusi satu individu, atau golongan yang lain, merupakan bagian salah satu indikasi bahwa sikap tenggang rasa," tepo seliro," bangsa kita mulai meluntur?.
Dimedia Sosial, sering kita temui status, opini, twett, yang bisa menjadi produsen perpecahan, dan perbedaan pandangan, yang berujung pada saling menghina, menghujat, mencela, dan mencaci maki, bahkan pembunuhan karakter seseorang sering kita temukan. Apakah ini budaya luhur, dan nilai kearipan lokal bangsa Indonesia?
Terkadang, percakapan, opini, yang kontraversial lebih disenangi dan menjadi viral di masyarakat media sosial, yang membuat suasana memanas, dan menimbulkan perpecahan, ketimbang percakapan, opini yang menyejukkan, dan membuat damai.
Adanya penghujatan, penghinaan, dan perkusi terhadap nilai kebhinekaan, ditengah-tengah serbuan globalisasi dengan dalih kebebasan berpendapat, atas nama HAM dan demokrasi, membuat pergeseran nilai sikap tenggang rasa,"tepo seliro," yang menjunjung tinggi saling menghargai, menghormati, dan menjaga perasaan satu sama lain.
Yang sering dilupakan, adalah Kebebasan kita berpendapat,dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jangan sampai kebebasan menjadi kebablasan. Definisi kebebasan, menurut pendapat masing-masing. Dan diukur dengan berdasarkan pemahaman diri sendiri, tanpa memikirkan, apakah pendapat kita bertentangan dengan Pancasila.
Bangsa Indonesia hari ini bisa berdiri tegak, sejajar dengan bangsa-bangsa lain, karena di persatukan oleh ideologi Pancasila. Semua perbedaan dibuang jauh-jauh oleh bapak pendiri bangsa Indonesia. Karena hanya dengan persatuan, bangsa ini bisa menjadi bangsa yang besar.
Jurang perbedaan, dikubur dalam-dalam. Disimpan rapat-rapat dalam lemari sejarah. Bagaimana bangsa kita terpecah belah, dijajah bangsa lain berabad-abad, karena bisa di adu domba satu sama lain.Â
Pesan pendiri bangsa ini, Presiden Ir. Soekarno pada saat Hari Pahlawan 10 Nopember 1961 :
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri
Apa yang dikatakan bung Karno, 61 tahun yang lalu, sekarang ini terbukti. Bagaimana masifnya berita "HOAX," yang sengaja disebarluaskan untuk memicu perpecahan anak bangsa. Saling memberi label satu sama lain, dengan nama-nama hewan, yang sangat membuat miris saat ini.Â
Bagaimana bangsa kita akan menjadi besar, dan berdiri sejajar dengan bangsa lain, bahkan bisa menjadi pemimpin dunia. Kalau di dalam diri kita sendiri, terjebak dengan bergesekan suku, agama, dan perbedaan lainnya.Â
Memang bangsa ini, di jadikan Tuhan sebagai bangsa majemuk, yang kaya dengan perbedaan. Bukankah bangsa kita, dulu pernah dijadikan oleh bangsa lain sebagai miniatur dunia, yang bisa menjaga berbagai perbedaan, toleransi satu sama lain. Bahkan bangsa ini, pernah di jadikan pemimpin negara-negara Asia, yang benar-benar dihargai dan berwibawa di mata negara lain.
Sudah saatnya, kita berbenah kembali, merajut berbagai perbedaan yang retak akibat perbedaan dan pandangan di berbagai bidang.Â
Pesan dari ucapan Presiden Soekarno, waktu itu adalah mengingatkan ancaman yang di hadapi bangsa Indonesia setelah merdeka. Setelah penjajah pergi, maka bangsa Indonesia akan dihadapkan pada berbagai masalah. Terutama soal persatuan.
Cobaan masalah akan muncul, dari masalah ekonomi, sosial, politik, akan menguji persatuan bangsa.Â
Stop, memperbesar perbedaan dengan memberi label satu sama lain golongan dan kelompok, yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Hanya ingin mendapatkan Cuan yang banyak dari youtube, facebook, instagram, twitter, atau media lainnya, kemudian menjadi produsen hoax.
Menjadi bagian dari produsen  pemecah belah bangsa, hanya akan merugikan bangsa kita sendiri. Serta berusaha menghilangkan dan mengikis habis pemahaman ideologi di luar Pancasila serta  Radikalisme, terorisme, yang juga merupakan pemecah belah bangsa.
Hal yang terbaik adalah merefleksi diri kita masing-masing.Â
Apakah diri kita, Â bagian dari produsen Hoax, yang menyebarkan berita dan informasi yang dapat memecah belah bangsa sendiri?.Â
Apakah diri kita, bagian dari produsen penyebar kebencian, dan penghujatan, dan pembuat label perpecahan?
Apakah diri kita, bagian dari ideologi penghancur bangsa sendiri?
Apakah diri kita, bagian dari paham radikalisme?
Apakah diri kita, bermental pejuang, atau bermental penghianat bangsa?
Semua pertanyaan tersebut hanya diri kita sendiri yang bisa menjawabnya, dan adakah upaya untuk memperbaiki dan merevisi segala perbuatan yang salah untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa indonesia. Dengan menghidupkan kembali sikap tenggang rasa,"tepo seliro," yang merupakan nilai luhur Pancasila.
SELAMAT HARI PANCASILA, 1 JUNI 2022
SEMOGA INDONESIA SELALU BERJAYA, JAYA DIDARAT, JAYA DILAUT, JAYA DIUDARA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H