Roda perputaran uang rupiah dan dollar amerika (US Dollar dipakai oleh masyarakat Timor Leste) nampak jelas disini. Pasar Haumeni Ana, menjadi nadi kehidupan masyarakat perbatasan. Anda akan melihat banyak sekali 'ojek', kendaraan roda dua yang mengangkut penumpang pulang pergi, memarkir kendaraanya di sepanjang bibir jalan. Sembari berteriak memekikan suaranya, 'Om, Tanta... ojek ko?' berharap ada penumpang yang mau ngojek, sesua asa dan harapan dari dalam diri si tukang 'ojek', bagaimana mendapatkan uang saku untuk kebutuhan hidup dan keluarganya sehari-hari atau sekedar uang pengganti bensin dikala pulang pergi mengantar penumpang. Itulah nasib dan perjuangan hidup yang sudah digariskan Tuhan.
Tak lupa 'bemo', si mungil mikrolet kecil dari beberapa desa tetangga ikut meraimakan suasana pasar. Yang uniknya, di dalam 'bemo' yang seharusnya hanya bisa memuat 8 orang saja, bisa menampung lebih hingga 12 orang. Sedangkan 'si konjak' dan 2 orang lainya bergelantungan di pintu masuk mikrolet. Suasana mampat, dan kurangnya sirkulasi udara di dalam 'bemo' ini menjadi momen yang paling amat menjengkelkan.
Bagaimana tidak, Anda akan dihadiahi pemandangan 'makan sirih pinang' di dalam 'bemo' yang penuh sesak dengan penumpang dan barang yang disusun tak karuan, plus kurangnya oksigen, membuatmu 'sesak napas' bagi yang belum terbiasa. Belum lagi kalau ada yang 'buang angin' maka hancurlah sudah hidup ini... umpatan dan makian akan keluar dari mulut tiap penumpang..hahahha. 'Tasese di dalam bemo' orang Timor bilang. Walaupun begitu, siapa yang tak mau naik? 'bemo' relatif murah dibanding 'ojek'. Alternatif angkutan desa yang 'nyaman'.
Perjalanan 'naik gunung', di setiap tanjakan yang dianggap 'terlalu curam', para penumpang akan turun, membuat 'bemo' menjadi kosong agar bisa mendaki tanjakan tersebut. Parahnya lagi, jika rute 'bemo' ke arah Nilulat, Tubu dan Manusasi harus melintasi jalan desa yang penuh dengan tanjakan.
Setiap kali ada tanjakan, semua penumpang diharuskan turun dari 'bemo' sambil 'lari pelan-pelan' mendaki tanjakan tersebut, menunggu 'bemo' tiba di puncak tanjakan.
Jika sudah di puncak, barulah mereka naik kembali. Hal tersebut berlaku untuk setiap tanjakan. Bayangkan, kalau ke Nilulat, Tubu, Manusasi terdapat 5/6 tanjakan, berarti 'katong rame-rame turun'. Teringat lagu bergenre hiphop asal Papua yang liriknya "ko tinggal turun naik, Ko tinggal turun naik. Oles dia tanta"..hehe. Namun apa mau dikata, itulah jalur ke kampungku, lahir dan besar disini, semua hal yang dianggap 'unik' bagi orang baru, sudah menjadi 'biasa' bagi kami 'orang gunung'. Bae sonde bae, bepung kampung lebih bae toh! plesetan dari lagu Jagung Bose.
Ada sebuah cerita, ah cerita saja kaka.... Tahun 2017 yang lalu, kebetulan ada proses 'hela keta' di kampung Nilulat. Dimana pihak perempuan dari Nilulat, sedangkan pihak laki-laki berasal dari Kiupukan, Insana. Rombongan pria bersama keluarga, bergerak dari daerah Insana yang notabene merupakan wilayah dataran menggunakan sebuah mobil pick up, menuju desa Nilulat.
Perjalan panjang pun dimulai, saat mereka mulai mendekati kampung, mereka harus berhadapan dengan tanjakan-tanjakan tersebut, sebelum memasuki kampung Nilulat. Jadi, butuh sopir yang 'punya nyali' dengan jalan di pegunungan.
Tanjakan pertama, tanjakan Balu-Batnes (depan rumah ibu Lena Ola) yang berhadapan langsung dengan cabang ke desa Sunkaen, ibukota kecamatan Bikomi Nilulat. Jalanya yang sudah rusak parah, ditambah dengan kontur menanjak, membuat para rombongan harus turun.
Ah, baru tanjakan pertama, 'dada masi kuat' kata mereka.
Tanjakan berikutnya, Â depan pasar Haumeni Ana dan Pos TNI, jalanya berbatu dan belum pernah di aspal, dari zaman baheula. Mungkin jikalau Presiden Jokowi berhasil menjabat untuk yang kedua kalinya, barulah dibangun. Mereka pun turun lagi.
'Dada masih kuat', karena terjadi apa-apa, atau sesuatu yang tak diinginkan, langsung berdekatan dengan Pos TNI, pasti pertolongan cepat pun datang. Perjalanan pun di lanjutkan. Sembari menguatkan diri.