Nilulat, Rinduku Meliuk liuk di antara Lembah Bikomi
Sejauh mata memandang, Jika di pandang dari dataran Kefamenanu, berada tepat di barisan gunung Meomaffo. Kampung Nilulat dengan topografi pegunungan dan perbukitan berbaris rapi menghapit kampung tersebut.
Lembah Bikomi  yang dihiasi hijaunya hutan tropis terlihat berpagarkan pegunungan dan tebing-tebing batu, di tengah lembahnya mengalir pula Sungai Noe Noni yang muaranya dari limpahan mata air Gunung Mutis, meliuk-liuk indah membelah lembah Bikomi sampai ke Noetoko. Indahnya mampu menghilangkan rasa kecewa di hati.
Nilulat secara de facto berada di Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Nilulat, terdapat 'Sonaf Usi Lake' raja sekaligus penguasa disini. Nilulat masuk dalam Kefetoran Nilulat, yang namanya juga tercatat dalam sejarah terbentuknya ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Nilulat tercatut dalam napak tilas dari Noetoko hingga ke Nunpene dalam ekspedisi pasukan Belanda mencari letak ibu kota Kab TTU tercinta.
Untuk Andayang mau tahu lebih lengkap mengenai Desa Nilulat, sudah saya muat di laman wikipedia. Silahkan baca disini, Desa Nilulat, Kecamatan Bikomi Nilulat, Timor Tengah Utara.
Nilulat, Berada di ketinggian, di apit pegunungan Meomaffo, dibawah naungan Faku dan Folain, dua gunung yang menjadi sumber kehidupan untuk beberapa mata air di kampung ini. Sebut saja, Oelhautes, Oelamnesat yang letaknya berada di dalam kampung, hingga Oelbubuk di Hautunis.
Berada di ketinggian, membuat Nilulat terasa dingin suhunya. Anda akan merasakan 'sensasi' tersendiri jika berkunjung disini.
Kata orang, 'Soe lebih dingin' tapi cobalah bertandang ke Nilulat, dan rasakan hawa dinginya akan menusuk sampai sum-sum tulang belakangmu hingga gertakan gigi akan terasa. Hawa dingin akan terasa saat waktu menunjukan pukul 4 sore(16.00 WITA). Jadi jangan heran, menjelang sore hingga malam hari, Anda akan melihat penduduk kampung yang sudah terbalut kain tebal 'beti nok tais' di badan plus jeket tebal nan kusut khas perkampungan dingin.
Nilulat kini, berbeda dengan yang dahulu. Dimana kampung ini sudah terpasang meteran listrik di setiap rumah. Hal ini membuat suasana malam yang dingin tidak menjadi sepi karena masyarkatnya sudah menikmati listrik. Entah itu berkumpul dengan sanak saudara, maupun tetangga yang sengaja 'nobar' di rumah warga yang sudah memasang parabola. Berlaku bagi mereka yang belum memiliki 'teve' di rumahnya, sehingga mereka mencari 'hiburan' di rumah tetangga yang memiliki 'teve' sekedar menghilangkan penat bekerja di kebun sepanjang hari. Sinetron menjadi tontonan favorit mereka, sedangakan siaran berita mereka nomor duakan..hehhe
Sebut saja 'Anak Langit' yang ditanyangkan salah satu stasiun televisi swasta. Coba anda menyebut kata 'Boy' dengan sendirinya reflek mereka akan menuju ke sinetron tersebut..hehhe. Â Jadi tak heran lagi, malam-malam mereka akan berbondong-bondong , entah tua maupun yang masih balita, mencari telivisi untuk menghibur diri. Satu episode sinetron tak akan mereka lewati. Jangan coba-coba menanyakan serial sinetron tadi malam, mereka akan menceritakanya dari awal hingga akhir tanpa melewati satu jelan cerita di sinetron tersebut.
Sebelaha selatan, barisan pegunungan Meomaffo bak pagar betis membentengi sisi kampung,  salah satu kawasan hutan yang dilindungi pemerintah. Ekosistem hutan  dimana banyak dijumpai kera, burung nuri, Likusaen, pohon pinus, cendana, dll khas hutan tropis.
Namun sayang, akibat pembalakan liar dan sistem tebang pohon untuk bercocok tanam oleh beberapa desa yang berdekatan langsung dengan pegunungan tersebut, membuatnya kini meradang. Tak seindah dulu.
Dibawah kaki gunung Meomaffo, mengalir Sungai Noe Noni, meliuk-liuk indah di kaki pegunungan. Debitnya yang cukup untuk menyumbangkan banjir sampai ke daerah Benenain. Bermuara dari sumber mata air Gunung Mutis, membuat Sungai Noe Noni tetap stabil aliranya, walupun musim panas berkepanjangan. Â Sumber mata air untuk hewan ternak (sapi) yang dilepas liarkan oleh pemiliknya.
Arah mata memandang ke bagian utara kampung, tampak punggung bukit berbaris indah membentuk pagar alam, berbaris sepanjang garis perbatasan dari puncak Nu'Ael di Haumeni Ana sampai di punggung  Desa Tubu - Bipilu. Barisan punggung bukit yang indah, dipenuhi hutan pinus ini, diselingi perkebunan masyarakat desa, sekaligus menjadi batas negara antara Republik Indonesia dengan si tetangga Timor Leste.
Kembali ke arah barat, khas pegunugan tinggi memanjakan mata. Tepat di sebelah gunung Faku dan Folain, Desa Tubu merapat persis di kaki gunung Faku. Salah satu perkampungan kecil yang terkenal akan suasanya yang terkesan tenang mendayung beriringan dengan alam desanya indah. Tua Lite(Tnopo), Tua Tolo(Palbeno), Tua Nino(Mnaka), Tua Fallo senantiasa menjaga adat dan budaya desa ini.
Pandangan pun melayang jauh ke atas, tepatnya berada di lereng pegunungan Mutis-Babnain dan punggung Bijaesunan, desa Manusasi. Terlihat rumah-rumah warga bersusun rapi sepanjang lereng, sampai ke bukit Saenam, yang terkenal akan sumber mata airnya yang berlimpah. Dari Manusasi (Maonsas), Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Eban, pusat Kecamatan Miomaffo Barat.
Saat matahari terbit di bumi Lorosae, keindahan sang surya pun akan nampak jelas, jika di pandang dari desa Nilulat. Mata memandang jauh ke timur, Anda akan dimanjakan dengan topografi Tanah Timor yang indah mempesona dimulai dari dataran Noemuti, Pegunungan Laka'an, Kota Kefamenanu, Nunpene  pusat kecamatan Meomaffo Timur, Desa Jak, Desa Buk, sampai ke Desa Inbate desa terakhir di Kecamatan Bikomi Nilulat.Â
Bergeser sedikit ke tengah, mata Anda pun akan disuguhkan dengan bentangan alam kecamatan Musi, dimulai dari Kampun Raja Noetoko, Oetulu, Oelolo, hinggan ke puncak Nu'nua di Oelneke sana sampai ke Kota Kefa.
Bagian timur desa Nilulat berbatasan dengan desa Haumeni Ana. Saat mata Anda memandang ke desa ini, rumah-rumah berbaris rapi sepanjang punggung bukit hingga ke Nunpo. Rumah warga tepat berada di pinggir jalan yang langsung berbatasan dengan negara Timor Leste.
Pasar Haumeni Ana, letaknya berada di bibir perbatasan, dekat dengan Pos TNI. Geliat ekonomi masyarakat perbatasan bisa Anda lihat disini. Para pedagang 'paman dan bibi' yang menjajakan berbagai macam jenis kebutuhan rumah tangga. Para 'mama-mama Timor' yang ikut menjajakan daganganya di sepanjang bibir pagar luar pasar, entah itu sayur-sayuran, umbi-umbian, dan kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Mereka datang jauh-jauh dari Inbate, Nainaban, Sunkaen, Oelami, Oelneke, Oeolo, Oetulu, Batnes, Tubu, hingga Manusasi.
Ada juga 'Om deng Tanta' dari daerah TTS yang menjual sirih pinang plus tembako di pasar ini. Selain penduduk lokal, di pasar Haumeni Ana ini, Anda akan berjumpa dengan saudara kita dari Timor Leste yang masuk melintasi batas negara hanya untuk sekedar berbelanja. Tentunya sudah ada ijin dari 'Sipol' (Sebutan untuk Polisi di Timor Leste) serta Danki Pos TNI Haumeni Ana.
Roda perputaran uang rupiah dan dollar amerika (US Dollar dipakai oleh masyarakat Timor Leste) nampak jelas disini. Pasar Haumeni Ana, menjadi nadi kehidupan masyarakat perbatasan. Anda akan melihat banyak sekali 'ojek', kendaraan roda dua yang mengangkut penumpang pulang pergi, memarkir kendaraanya di sepanjang bibir jalan. Sembari berteriak memekikan suaranya, 'Om, Tanta... ojek ko?' berharap ada penumpang yang mau ngojek, sesua asa dan harapan dari dalam diri si tukang 'ojek', bagaimana mendapatkan uang saku untuk kebutuhan hidup dan keluarganya sehari-hari atau sekedar uang pengganti bensin dikala pulang pergi mengantar penumpang. Itulah nasib dan perjuangan hidup yang sudah digariskan Tuhan.
Tak lupa 'bemo', si mungil mikrolet kecil dari beberapa desa tetangga ikut meraimakan suasana pasar. Yang uniknya, di dalam 'bemo' yang seharusnya hanya bisa memuat 8 orang saja, bisa menampung lebih hingga 12 orang. Sedangkan 'si konjak' dan 2 orang lainya bergelantungan di pintu masuk mikrolet. Suasana mampat, dan kurangnya sirkulasi udara di dalam 'bemo' ini menjadi momen yang paling amat menjengkelkan.
Bagaimana tidak, Anda akan dihadiahi pemandangan 'makan sirih pinang' di dalam 'bemo' yang penuh sesak dengan penumpang dan barang yang disusun tak karuan, plus kurangnya oksigen, membuatmu 'sesak napas' bagi yang belum terbiasa. Belum lagi kalau ada yang 'buang angin' maka hancurlah sudah hidup ini... umpatan dan makian akan keluar dari mulut tiap penumpang..hahahha. 'Tasese di dalam bemo' orang Timor bilang. Walaupun begitu, siapa yang tak mau naik? 'bemo' relatif murah dibanding 'ojek'. Alternatif angkutan desa yang 'nyaman'.
Perjalanan 'naik gunung', di setiap tanjakan yang dianggap 'terlalu curam', para penumpang akan turun, membuat 'bemo' menjadi kosong agar bisa mendaki tanjakan tersebut. Parahnya lagi, jika rute 'bemo' ke arah Nilulat, Tubu dan Manusasi harus melintasi jalan desa yang penuh dengan tanjakan.
Setiap kali ada tanjakan, semua penumpang diharuskan turun dari 'bemo' sambil 'lari pelan-pelan' mendaki tanjakan tersebut, menunggu 'bemo' tiba di puncak tanjakan.
Jika sudah di puncak, barulah mereka naik kembali. Hal tersebut berlaku untuk setiap tanjakan. Bayangkan, kalau ke Nilulat, Tubu, Manusasi terdapat 5/6 tanjakan, berarti 'katong rame-rame turun'. Teringat lagu bergenre hiphop asal Papua yang liriknya "ko tinggal turun naik, Ko tinggal turun naik. Oles dia tanta"..hehe. Namun apa mau dikata, itulah jalur ke kampungku, lahir dan besar disini, semua hal yang dianggap 'unik' bagi orang baru, sudah menjadi 'biasa' bagi kami 'orang gunung'. Bae sonde bae, bepung kampung lebih bae toh! plesetan dari lagu Jagung Bose.
Ada sebuah cerita, ah cerita saja kaka.... Tahun 2017 yang lalu, kebetulan ada proses 'hela keta' di kampung Nilulat. Dimana pihak perempuan dari Nilulat, sedangkan pihak laki-laki berasal dari Kiupukan, Insana. Rombongan pria bersama keluarga, bergerak dari daerah Insana yang notabene merupakan wilayah dataran menggunakan sebuah mobil pick up, menuju desa Nilulat.
Perjalan panjang pun dimulai, saat mereka mulai mendekati kampung, mereka harus berhadapan dengan tanjakan-tanjakan tersebut, sebelum memasuki kampung Nilulat. Jadi, butuh sopir yang 'punya nyali' dengan jalan di pegunungan.
Tanjakan pertama, tanjakan Balu-Batnes (depan rumah ibu Lena Ola) yang berhadapan langsung dengan cabang ke desa Sunkaen, ibukota kecamatan Bikomi Nilulat. Jalanya yang sudah rusak parah, ditambah dengan kontur menanjak, membuat para rombongan harus turun.
Ah, baru tanjakan pertama, 'dada masi kuat' kata mereka.
Tanjakan berikutnya, Â depan pasar Haumeni Ana dan Pos TNI, jalanya berbatu dan belum pernah di aspal, dari zaman baheula. Mungkin jikalau Presiden Jokowi berhasil menjabat untuk yang kedua kalinya, barulah dibangun. Mereka pun turun lagi.
'Dada masih kuat', karena terjadi apa-apa, atau sesuatu yang tak diinginkan, langsung berdekatan dengan Pos TNI, pasti pertolongan cepat pun datang. Perjalanan pun di lanjutkan. Sembari menguatkan diri.
Masuk tanjakan ketiga, tanjakan Nono Leolkase. Lumayan panjang rutenya. Hampir 10 kilo dari bibir kali. Mereka tidak turun. Sudah tobat, kata mereka (karena turun terus). Hanya iman dan pengharapan, sembari bibir mengucapkan doa Salam Maria dan Bapak Kami sepanjang tanjakan Nono Leolkase hingga tiba di puncaknya, tepat di Panaf Tetmanu.
Setibanya di puncak Panaf Tetmanu, mereka semua beramai-ramai turun dari mobil. Ada yang bersungut-sungut, sampai menghela napas panjang. Puji Tuhan, tidak terjadi apa-apa. "Ini pi cari perempuan ko cari mati ini?" kata ibu-ibu yang ikut dalam rombongan.
"Dada sonde kuat, jangan coba-coba tanta..heheh"
Bersambung........... (Nantikan posting saya selanjutnya)
https://www.bloggerntt.com/2019/04/nilulat-rinduku-meliuk-liuk-di-antara-lembah-bikomi.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H