Pulang dari rumah Dami aku sangat bahagia tetapi ada sesuatu yang mencubit hati ku. Melihat kebersamaan dan betapa hangat nya keluarga nya aku tidak bisa berbohong aku sedikit iri kepada Dalmi mempunyai keluarga yang bisa di sebut rumah. Sedangkan aku di kamar ku seorang diri menangisi kesendirian ku. Seandainya mami dan papi tau betapa aku merindukan mereka, kebersamaan kita sebagai seorang keluarga. Aku tidak tahu apa kita masih bisa di sebut keluarga, karena kita bertingkah seperti orang asing. Bukankah sebuah keluarga akan makan bersama-sama dalam satu meja? Menyapa satu sama lain di pagi hari? Bercanda tawa dan menonton televisi bersama? Jika seperti itu yang di sebut keluarga sudah dapat di pastikan aku tidak mempunyai sebuah keluarga dalam rumah ini. Sempat beberapa kali aku terpikir melakukan hal-hal bodoh sebagai bentuk pemberontakan ku selama ini akan sikap mereka, tetapi sekuat mungkin aku menahan nya walaupun sudah tak terhitung seberapa banyak aku menangisi kemalangan ku setiap malam. Aku bukan hanya seorang remaja yang membutuhkan uang jajan melimpah, telepon genggam terbaru, baju-baju mahal aku juga hanya seorang anak yang haus akan perhatian dan kasih sayang dari ke dua orang tua nya.
Oh tidak mata ku sedikit mengerikan pagi ini tampak sedikt bengkak bekas tangis semalam. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu hari ini, karena jadwal ku sangat sibuk oke pertama-tama aku harus bergegas mandi, lalu sarapan dan berangkat sekolah. Di perjalanan menuju sekolah aku mengingatkan kembali Pak Bandrul " Pak jangan lupa hari ini kita bagi-bagi ke jalanan seperti biasa." "Siap, non. Bapak sudah pesan kan nasi kotak nya non nanti siang sudah dapat di ambil." "Oh kalau begitu waktu Bapak jemput saya sekalian langsung ambil saja biar tidak bulak-balik pak." "Baik,non." Aku sudah tidak sabar, setiap hari selasa di akhir bulan aku selalu melakukan kegiatan seperti ini nanti sehabis nya pun aku akan ke rumah singgah pasien kanker anak. Menurut ku membantu sesama merupakan healing tersendiri bagi ku, melihat orang lain tersenyum sudah dapat membuat ku bahagia.
Ring! Ring! Ring! Bel pulang berbunyi aku dan Dami keluar kelas bersama berbeda dari ku yang sangat bersemangat, Dami terlihat muram dan tidak fokus sudah dari pagi sikap Dami berbeda dari biasanya. "Oii Dami fokus dong lihat-lihat kalau jalan." Hampir saja Dami menabrak tiang di depan nya karena jalan sambil melamu. "Kamu kenapa sih dari tadi pagi aku perhatikan seperti tidak bersemangat begitu." Tanya ku sungguh Dami saat ini bukan seperti Dami yang ku kenal yang selalu ceria. "Sebenarnya tadi pagi asma mbah kambuh aku sangat kuatir. Tadi ibu telepon ekarang sedang berobat." Aku ikut sedih mendengar penuturan Dami, AHA! Aku punya ide "Jadi sekarang di rumah kamu kosong ga ada orang?" "Ya, iyalah" ucapnya kesal. "Ya sudah kamu ikut saja aku mau ngga?" "Kemana?" "Nanti kamu juga tahu." Dami pun akhirnya ikut bersama ku menunggu Pak Bandrul datang. "Itu dia Pak Bandrul" seru ku melihat mobil mendekati kami. Dami bingung melihat kantong plastik besar memenuhi bagian belakang mobil "itu apa?" "Lihat aja nanti. Eh, pak berhenti di depan." Aku pun segera turun dari mobil di tengah kebingungan nya Dami ikut turut dari mobil, aku mengambil lima bungkus kotak nasi dan membagikan nya kepada adik-adik yang duduk di pinggir jalan menunggu lampu merah datang dan sigap menjajalkan dagangan mereka. Dami yang melihat apa yang ku lakukan pun tahu apa sebenarnya tujuan ku mengajak nya. " Gila kamu keren banget Tea, ga nyangka loh seorang Tea yang cuek habis ngelakuin hal kaya gini." Ucap Dami senang "Tuh kan aku sudah dapat menebak apa reaksi mu, sebenarnya aku tidak mau mengajak mu tapi melihat mu muram aku berpikir dapat mengalihkan perhatian mu sejenak dari mbah mu." Ucap ku sebal "Wah makasih sahabat ku yang paling manis sedunia" teriak Dami sambil memeluk ku, nah begini dong Dami sudah ceria kembali aku senang tenyata cara ku berhasil juga. Sedudah membagikan nasi kotak samapai habis aku mengajak Dami ke rumah mengambil beberapa pakaian dan buku sebelum melanjutkan kegiatan ke rumah singgah pasien kanker anak.
"Tea kok ga pernah bilang punya rumah sebagus ini!" Dami berkata heboh "Aku lebih suka rumah mu" balas ku dengan jujur. "Aku sih rumah mu, hanya orang bodoh yang tidak menyukai rumah se indah ini wleee." Sesampai di rumah singgah pasien kanker anak-anak di sana menyambut kami dengan hangat mereka sangat senag dengan buku-buku yanng ku bawa kami pun bermaun bersama di taman, dapat ku lihat Dami sangat menikmati kegiatan kami kali ini terlihat dari wajah nya tidak berhenti-henti tersenyum. Aku dan Dami sangat senang hari ini, anak-anak pun sangat senang tidak terlihat mereka sedang sakit berjuang melawan penyakit yang dapat merebut nyawa mereka kapan saja. "Sekali terimakasih ya Tea sudah mengajak ku, aku sangat senang saat ini" saat ini kami berdua senag berada dia atas ayunan melihat anak-anak bermain dengan riang nya "Kamu senang aku pun ikut senang. Membantu sesama seperti ini memamg merupakam healing tersendiri." Balas ku. "Benar aku sangat terobati mengalihkan pikiran ku dari mbah. Jika punya rejeki lebih aku ingin sekali menjadi seperti mu, membantu sesama merupakan pekerjaan yang sangat mullia." "Rejeki iu bukan selalu tentang materi kok. Kamu lihat kakak yang pakai jas putih itu? Nama nya ka Rona dia merupakan dokter muda yang menjadi sukarelawan di sini. Dia mengajak dokter-dokter senior yang dia kenal untuk mengobati anak-anak di sini. Selama ada kemauan pasti bisa kok, semua bukan tentang uang." "Wow sungguh anak muda yang menginspiratif." "Kamu nanti kuliah ambil jurusan kedokteran saja ku lihat kamu sangat menyukali mata pelajaran biologi, dengan menjadi dokter kamu dapat membantu banyak orang yang membutuhkan." "Aku pun ingin sekali menjadi dokter, tapi kamu tahu biaya sekolah nya sangat mahal aku tidak mau membebani orang tua ku mbah berobat saja ibu harus mencari pinjaman. Kamu sangat beruntung lahir di keluarga berada Tea aku sangat iri pada mu." "Hidup ku tidak se enak itu. Kamu bersyukur mempunyai ibu ayah yang sangat menyayangi mu, di tambah kamu mempunyai seorang nenek dan adik di sini seharus nya aku yang iri kepada mu!." Ucapku sedikit emosi. "Kok kamu jadi marah sama aku? Kamu juga seharusnya bersyukur di luar sana masih banyak yang tidak seberuntung kamu tau! Segala kebutuhan mu tercukupi kamu tidak perlu kuatir tenyang biaya sekolah dan masa depan mu kelak." Dami membalas dengan tidak kalah emosi. Aku dan Dami saling membuang muka, ku putuskan untuk mengajaknya segera pulang tidak etis juga jika kami bertengkar di sini. Aku mau mengantar nya pulang meskipun awalnya dia keras kepala ingin pulang sendiri, perdebatan kami pun semakin menjadi di karenakan emosi di taman tadi belum sirna. Akhirnya, aku menang dan mengantarkannya samapi ke depan rumah nya.
Sekarang aku sudah berada di kelas di sini tidak ada Dami. Kalian pasti bingung? Saat ini berada di tingkat dua SMA dan entah harus bersyukur atau sedih aku dan Dami tidak menjadi teman sekelas kembali. Hari itu kami bertengkar hebat, esok nya saat di kelas kami saling mendiami satu sama lain sejak itu hubungan kami menjadi renggang dan hanya bicara seperlunya saja. Namun saat kenaikan kelas aku ingin meinta maaf kepada nya, sejujur nya aku tidak tahan jika harus seperti ini terus. Ya walaupun aku tidak salah kan, begitu dengan Dami aku mengerti kita hanya kemakan emosi semata. Namun pada hari itu Dami tidak sekolah, hal ini sangat jarang terjadi mengingat Dami yang rajin walaupun memang sudah tidak ada kelas belajar mengajar pasti dia tidak akan melewati festival sekolah. Jadi hingga hari ini pun kami belum berbicara satu sama lain.
Hari ini berjalan seperti biasanya tidak seceria saat bersama Dami. Jam menunjukkan pukul tujuh malam perut ku sudah meronta-ronta aku pun turun ke bawah untuk makan malam. Dan betapa terkejutnya aku, tubuh ku seperti terbang ke langit ke tujuh melihat mami papi sudah duduk menanti ku untuk makan malam bersama. Kami makan dengan tenang walaupun sesekali mami dan papi menanyakan tentang ku, bibir ku tidak bisa berhenti tersenyum seperti ada seseorang yang sengaja menariknya ke atas untuk ku tetap tersenyum. Saat makanan ku hampir habis mama berkata " Ada yang ingin kami berdua bicarakan kepada mu. Ini serius, tolong kamu dengarkan baik-baik" aku yang sedang menikmati makanan ku pun kebingungan tidak tau arah pembicaraan ini. "Kami berdua mumutuskan untuk berpisah. Kami merasa sudah tidak ada kecocokan di antara kami, sidang penceraian kami sudah di jadwalkan hari senin minggu depan. Kami harap kamu mengerti dengan keputusan ini." Aku tidak bisa mendengar lagi kata per kata yang keluar dari mulut mami, telinga ku mendadak tuli apa yang di bicarakan mami sungguh memukul sampai ke hulu hati terdalam ku. Saat mami dan papi menyempatkan waktu untuk makan bersama ku kira semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang tapi apa yang ku dengar sekarang memecahkan semua harapan yang telah ku bnagun itu. "Kami tahu ini pasti berat bagi mu, kami tidak memaksa mu kamu bebas untuk memilih akan tinggal bersama siapa semua keputusan ada di tangan mu." Kini papi yang bicara, aku menguatkan diri ku dan mencoba menggerak kan kaki ku yang tiba-tiba tidak dapat bergerak seperti ada sebuah batu yang menimpa nya. Aku berdiri sambil menahan butiran kristal bening yang sebentar lagi akan jatuh " Tea ke kamar dulu. Terimaksih atas makan malam nya." Ucapku sebelum lari menuju kamar, aku masih dapat mendengar papi memanggil aku tidak menyahuti nya karena jika aku berbalik mereka daoat melihat air mata ku yang jatuh tidak dapat aku tahan. "Biarkan saja, dia butuh waktu sendiri." Ucap mami lirih, itu kaliamat terakhir yang dapat aku dengar sebelum aku menulikan indera pendengaran ku dan menagis dalam diam di kamar ku seorang diri. Lagi.
Pagi pun datang, saat terbangun dari tidur yang ada di pikiran ku hanya satu "hidup ku sudah hanncur" itu ku ucap berulang-ulang entah berapa kali sampai ku dengar ketokan dari luar kamar ku. "Non Tea, sudah bangun? Sudah hampir terlambat ke sekolah bibi sudah menyiapkan sarapan di bawah." Aku ingin menangis kembali sempat ku pikir yang mengetuk mami ataupun papi, betapa bodohnya aku mengharapkan sesuatu yang sudah aku tahu tahu tidak akan terjadi. "Iya, bi bentar lagi Tea ke bawah." Sekuat tenaga aku menormalkan suara ku tapi tetap saja suara serak sehabis semalaman nangis yang keluar. Di saat seperti ini aku tidak mempunyai siapa untuk berbagi cerita. Andai aku dan Dami tidak bertengkar, memikirkan nya saja menambah kesedihan ku.
Saat keluar dari mobil aku melihat Dami di gerbang sekolah dia pun melihat aku mata kami saling bertatapan. Sinar yang biasanya muncul di sana sekarang menghilang, apa yang terjadi pada mu Dami? Beberapa detik kami saling diam menatap satu sama lain tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Aku" "Aku" ucap kami berbarengan, kami berhenti dan sedetik kemudian tawa kami pecah. Sesudah adegan yang sangat drama tadi, memutuskan akan bertemu seusai pulang sekolah dikarenakan bel masuk sudah berbunyi mengharuskan kami bergegas masuk ke kelas masing-masing.
 Kami memutuskan untuk bicara di salah satu kafe dekat sekolah, Dami sempat menolak dengan alasan harga menu di sini tidak masuk akal masa the manis saja Rp.20.000,00 sampai aku mengatakan jika aku yang akan mentraktikir nya jadi dia tidak perlu kuatir. "Aku" "Aku" kami tertawa menyadari kebodohan ini terulang untuk kedua kali nya. "Ya, sudah kamu duluan deh." Aku mengalah. "Aku sangat menyesal tentang apa yang aku kata kan waktu itu kepada mu tidak sungguh-sungguh anggap angin lalu saja. Aku memikirkan perkataan mu, aku ingat kamu bilang aku pintar jadi bisa saja aku menjadi dokter. Terimakasih berkat mu aku memantap kan niat ku untuk menjadi dokter, tapi bukan karena kamu bilang aku pintar. Aku bercita-cita menjadi dokter karena kamu mengispirasi ku. Aku ingin menjadi seperti mu membantu sesama tanpa pamrih. Dan soal biaya jika ku pikirkan lagi aku bisa saja mencoba peluang mendapatkan beasiswa, seperti kata mu selama ada kemauan pasti bisa kok. Ya aku juga tidak boleh menyia-nyia kan otak encer ku yang sudah di berikan Tuhan kan hehehe." Dami menuangkan semua isi hati nya di akhiri kalimat sombong nya, sungguh menyebalkan tapi aku rindu Dami yang menyebalkan seperti ini. "Terimakasih Dami aku sangat tau kok aku memang mengispirasi." Balas ku dengan tak kalah menyebalkan nya, dia memutarkan mata nya ke samping mendengarkan penuturan ku. "Aku juga ingin meminta maaf bila kata-kata menyakiti hati mu. Tapi sungguh aku sangat menyukai keluarga mu yang hangat sehingga aku ingin memilikinya juga." Aku mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, kemarin malam aku sangat senang akhirnya aku dan mami papi makan bersama. Etapi itu hanyalah topeng semata mereka ingin menyampaikan penceraiannya kepaada ku hik.. hiks.. hiks," aku tidak sanggup untuk melanjutkan perkataan ku. Dami yang melihatnya pun langsung memeluk ku berusaha menenangkan ku. Saat aku mulai tenang dan melepaskan pelukan Dami, aku kembali berbicara sambil sesekali segukan karena tangis ku belum semua reda. "Terus hiks.. waktu kenaikkan kelas hiks.. kamu kemana aku hiks... mecari mu hiks..." aku lihat Dami menjawab sambil menahan tangis "Hari itu mbah aku di panggil Tuhan untuk selama-lamanya hikss..." Aku pun yang mendengar itu menyesal karena tidak ada di samping Dami yang saat itu sangat membutuhkan sandaran. Aku bodoh sekali Tea maki ku dalam hati. Akhirnya kami pun menangis bersama ntah karena bahagia semua kesalapahaman terselesaikan atau menangisi kebohan kami satu sama lain selama ini yang bukan saja menyakiti satu sama lain tapi juga diri kami masing-masing. Kami tidak peduli menjadi tontonan seluruh penghumi kami dan menangis mengeluarkan isi hati kami masing-masing.
Aku sudah kelas tiga SMA saat ini. Dan hal mengejutkan adalah aku dan Dami menjadi teman kelas kembali sungguh merupakan kabar yang sangat menggembirakan. Tapi tetap saja meskipun hari-hari ku di isi oleh canda tawa bersama Dami. Jauh di dalam lubuk hati aku merasakan kekosongan itu, sangat terasa jika aku pulang dan mendapati ruamah kosong hanya ada aku dan bibi. Aku memutuskan untuk tinggal bersama papi, bukan karena aku lebih sayang papi rasa sayang itu telah hilang baik terhadap papi maupun mami. Hati ku sudah mati rasa. Hanya saja mami harus menetap di Surabaya karena alasan pekerjaan nya. Jadi hanya tinggal papi dan mau tidak mau aku akhirnya tinggal di rumah ini bersama papi, walaupun serumah aku jarang sekali melihat batang hidung papi di rumah ini. Aku sudah terbiasa.
Dami sedang bercerita mengenai tes beasiswa yang dia ikuti. Saat ini kami sedang jam istirahat. Dia ternyata benar-benar serius dengan apa yang dia katakan setahun lalu ingin mewujudkan cita-citanya menjadi dokter, selama berada di kelas ini dia belajar mati-matian dan sangat rajin mencari informasi mengenai beasiswa. "Memang sesusah itu soalnya?" tanya ku " Super duper susah. Aku takut banget ga keterima." Balasnya dengan pesimis "Yang penting kamu sudah melakukannya yang terbaik, Tuhan ga tidur kok dengan usaha mu aku doa kan semoga Tuhan menyediakan satu bangku kosong untuk mu aminnn." "Aminnnn" sahutnya dengan semangat. "Eh ngomong-ngomong bagaima dengan mu? Kamu kepingin lanjut kemana? Aku belum pernah memberitahukan kepada ku deh." Aku yang mendengar nya tersenyum "Aku tindak akan lanjut kuliah" ucapku tenang berbeda dengan orang yang ada di depan ku menampilkan muka terkejut dengan mulut terbuka lebar membuat lalat bisa saja masuk kedalam nya. "Yang benar saja. Aku serius Tea jangan bercanda tidak lucu." "Aku serius lohh." "Kamu serius?! Oke pertama-tama aku mau tahu dulu alasan mu." "ya kamu tau aku tidak punya ke tertarikan apa pun. Jadi mungkin aku akan berdiam diri di rumah sampai tahu apa yang aku mau lakukan di masa depan." Tidak sepenuhnya bohong memang itulah alasan ku sebenarnya tapi ada udang dibalik batu aku tidak memberitahu Dami aku melakukan ini juga agar mami dan papi menaruh sedikit perhatian mereka pada ku. Ya benar! Ini bentuk pemberontakan ku. Dami yang mendengar alasan ku walaupun ada satu yang aku sembunyikan dari dia pun terdiam seperti memikirkan sesuatu. "Hmmm, oke aku terima. Nanti pulang sekolah aku butuh bantuan mu jangan pulang terlebih dahulu," aku cukup kaget dengan balsannya aku pikir dia akan mendesak ku ternyata tidak, hmmm aku mencium sesuatu yang mencurigakan disini.