"Lah, terus siapa yang bagus, yang dekat sini?"
"Bagaimana kalau Pak Ahmad Jayakardi saja?"
"Ya sudah, nanti Pakne yang urus itu. Sesegera mungkin!"
"Penghulunya Pak Katedra Rejawen saja. Beliau kalau ngasih petuah penuh filosofi,"usul Edo.
"Halah emang Mas Diffa tahu artinya," Adi meledek.
Klhuthik! Aku melempar Adi dengan sebutir kacang rebus.
"Kamu ini, orang lagi serius malah bercanda!"Ujarku pura pura sewot.
Diffa lebih banyak diam menyimak. Sepertinya tegang, aku merangkul bahunya.
"Sudah… lanjutkan lagi. Malam ini semua harus jelas. Harus tuntas. Monggo Bude, teruskan". Aku mempersilahkan, setelah jeda sejenak, nyeruput kopi.
"Baiklah. Semua sudah saya catet rapi di sini, nanti tinggal berbagi tugas untuk menghubungi pihak- pihak terkait ya. Yang pasti, Diffa harus sudah siap dananya ya?" Bude memandang Diffa yang duduk di ujung resbang sambil menopang pipi di atas meja dengan satu tanganya.
Diffa yang merasa di ragukan cuma mengangkat tangan lainya dengan jempol teracung ke atas. "Beres, Bude"!