Betapa sulit lidah Emak. Sudah kaku. Mengucap potret selalu menjadi bersuara potrek. Kami suka menirukan orang tua ini. Begitulah cara aku dan adikku bergurau di rumah. “Ayo potrek…. Potrek……… Potrek!”
Tapi Emak tidak marah. Paling sekedar berucap,”Hus, jangan sembrono sama orang tua.”
Melihat foto itu kembali, aku menyadari, adikku, lelaki satu-satunya di rumah kami telah memasuki masa kematangannya. Ia bukan anak kecil lagi. Ia hendak melangkah menuju kemandiriannya. Sepertinya, berumah tangga sudah menjadi pilihan untuk menunjukkan kematangannya.
Aku tak mengira. Kami sudah terlampau jauh memasuki waktu, meninggalkan saat kami berfoto pada masa lalu. Sebuah foto hitam putih yang mampu memberi cerita. Ya, beribu cerita yang bisa kami tulis dalam lembaran-lembaran kertas untuk mengenang masa itu.
**
Kami duduk mengitari meja persegi panjang dengan kursi memanjang tanpa sekat di kedua sisi meja, kami menyebutnya resbang. Benda ini terbuat dari kayu jati pilihan, sangat tua. Dari serat dan warnanya yang kecoklatan, mencerminkan usianya. Itulah harta peninggalan almarhum Bapak yang masih bertahan. Dan kami sekeluarga merawatnya, sebagaimana Bapak kami melakukannya sewaktu masih bersama.
Satu resbang mampu memuat lima orang dewasa duduk berjajar. Dan genaplah sudah, ada sepuluh orang yang duduk berkumpul malam itu. Emak, aku , adikku, Pakde, Bude, Paklik, Bulik dan anak dari Bude dan Bulik : Ani, Andi dan Edo.
Kami berembuk membahas acara yang akan menjadi tonggak sejarah dalam hidup adiku yang kini berusia 25 tahun. Kami membentuk semacam panitia kecil untuk mengurus segala tetek bengek persiapan pernikahan: dari mulai lamaran, resepsi sampai ngunduh mantu.
Dan acara ngunduh mantu ini mendapat perhatian lebih, karena diadakan di Depok di rumah mempelai lelaki, rumah kami. Semua dibahas, dari hal yang besar hingga urusan yang dianggap kecil. Semua maklum, agar acara berjalan sesuai harapan.
Kacang rebus, ubi rebus dan rengginang berjajar di atas meja panjang. Kopi hitam dalam cangkir-cangkir putih berias kembang mawar pada sisi luarnya, mengepulkan asap menebar aroma khasnya. Semua itu menemani obrolan hangat kami.
Bude yang sudah pernah punya pengalaman menikahkan putrinya: Ani, lebih banyak memberi saran dan masukan.
"Pranatacaranya yang dulu saja. Gimana Pakne?"
"Jangan Pak Eddy Sunarto. Kasihan beliau, sudah sepuh. Terlalu jauh kalau diminta ke Depok Bu ne. Belum lagi kalau ketemu macet. Bikin Beliau uring-uringan sepanjang jalan," Jawab Pakde.