Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ndegan Menilai Mesir

20 November 2020   12:02 Diperbarui: 20 November 2020   12:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sambil Ndegan, kami menilai Mesir (foto: Gus Naim)

"Sewaktu abah KH. Mudlofar Sulton dari Blokagung ke Mesir. Beliau terlihat bersemangat sekali saat diajak berziarah ke makam-makam para ahlul bait, seperti ke makamnya Sayyidina Husein, makamnya Imam Syafi'i, Syeikh Ibnu 'Athoillah As-Sakandari. Namun, ketika diajak ke tempat wisata, beliau hanya diam saja, tidak berfoto-foto layaknya turis. Diam di pojok. Aku bertanya ke beliau, tidak foto-foto bah?, beliau hanya menjawab dengan singkat, tidak. Setiap orang datang ke Mesir memiliki penilaian yang berbeda-beda", seperti yang diungkapkan Gus Abil kemarin saat aku ndegan bersamanya.

Ndegan adalah bahasa jawa. Ketika N diawal dihilangkan, maka menjadi degan yang berarti kelapa muda, kalau dalam bahasa arab disebut isim, kata benda. Namun, ketika ditambahkan N di depan, maka menjadi fiil, kata kerja. Ketika aku menyebut ndegan, maka artinya minum degan atau minum kelapa muda. Setiap kamis pagi, aku bersama teman-teman MATAN Banyuwangi ikut mengaji di pondok pesantren Robithotul Islamiyyah dibawah asuhan KH. Abdillah Mukhtar, yang kami akrab memanggilnya dengan Gus Dillah.

Kitab yang dikaji adalah Khoshoish Ummah Al-Muhammadiyah. Menjelaskan tentang keistimewaan umat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pengajian dimulai dari jam 09.00 pagi dan selesai pukul 11.00 pagi. Pesertanya dari berbagai macam kalangan, mulai dari pengurus PCNU Banyuwangi, hingga jam'aah tabligh. Siapa saja boleh ikut mengaji. Tidak pilih-pilih, termasuk dalam kondisi sekarang yang sedang ramai pilihan kepala daerah (Bupati) di Banyuwangi, peserta pengajian kamis pagi ini juga ada pendukung 1 dan 2.

"Ndegan ayo gus", tiba-tiba ada pesan WA masuk ke hpku. Gus Abil mengirimkan pesan itu. Biasanya Gus Abil ikut hadir dalam pengajian kamis pagi ini, tapi pagi ini tidak tampak. Kamis-kamis sebelumnya dengan mobil ford fiesta yang dia miliki, dia berangkat ikut mengaji, terkadang bersama dengan temannya, tapi lebih sering sendirian. Sebelum aku menjawab ajakan dari Gus Abil, aku menelpon Gus Arif. Gus Arif adalah Gus (putra kyai) menantu dari Pondok Pesantren Roudlatuth Tholabah Setail, Genteng, sedang Gus Abil, putra kyai dari Blokagung.

"Gus Abil ngajak ndegan Gus, bisa tidak?", tanyaku ke Gus Arif. "Kapan Gus?", dia malah bertanya balik. "Sekarang". "Aku masih di sawah Gus, bersama kang-kang santri pondok. Bisa kamu jemput sekarang?", pintanya. "Share lokasinya Gus, aku ke sana sekarang. Kita berangkat bareng ke rumahmu", langsung saja, aku memohon pamit ke Gus Naim yang duduk di sampingku untuk menjemput ke Gus Arif yang sedang berada di sawah bersama santrinya.

"Hadir ikut ndegan ya Gus?!", ajakku kepada Gus Naim ketika berpamitan. Pertanyaan yang sebenarnya lebih berarti ajakan dan agak cenderung memaksa. Haha. "Siap". Aku memacu motor keluar dari pesantrennya Gus Dillah. Melewati lampu merah lapangan Maron, Genteng. "Nanti lampu merah lurus ke barat ke arah Jalen Gus", Gus Arif memberikan arahan, tadi sebelum aku berangkat.

Aku mengantri bersama mobil-mobil truk. Jalan raya depan pesantren Gus Dillah memang jalur alternatif dari kendaraan-kendaraan besar, karena mereka tidak bisa lewat jalur utama kota Genteng yang jalurnya sempit dan ramai, bisa mengakibatkan kemacetan, sehingga semuanya lewat jalur ini. Saat aku melewati jembatan Jalen, ada seseorang yang mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepadaku. Itu dia, rupanya dia adalah Gus Arif.

Dengan pakaian santai, memakai kaos bergambarkan Pak Yusuf dan Gus Riza yang minggu lalu dikasih oleh Gus Abil. Dengan celana pendek, sarung dia taruh di pundaknya, layaknya orang yang sedang ronda malam. Tidak kelihatan kalau dia adalah putra seorang Kyai Pesantren yang santrinya banyak. "Sehat Gus?", tanyaku kepadanya ketika dia berpindah dari boncengan motor santrinya ke boncengan motorku. "Maaf Gus, aku lupa hari, ternyata hari ini hari kamis ya, waktunya ngaji kamis pagi", katanya menjawab pertanyaanku yang tidak nyambung. Aku bertanya kabar, dia menjawab dengan permintaan maaf tidak mengaji.

"Sedang menanam apa Gus di sawah?", tanyaku lagi. "Baru nanam cabe Gus di sela-sela tanaman jagung yang masih kecil pohonnya. Tadi ada 6 santri yang ikut membantu. Mereka aku suruh pulang duluan". Ketika sampai di pasar Sempu, "berhenti sebentar Gus, beli es batu", Gus Arif mengarahkan kepadaku untuk berhenti di sebuah toko. Sebelum dia masuk toko, terlihat ada seorang bapak yang menyapa Gus Arif.

"Itu tadi anaknya di pondok Setail, seorang cewek. Aku sebenarnya malu terlihat memakai pakaian seperti ini", Gus Arif sambil menenteng kresek berisi es batu, menjelaskan kepadaku siapa bapak yang menyapa dia tadi. Baru saja kami berjalan, Gus Arif bilang lagi, "Lha itu mobilnya Gus Abil di depan kita". "Ya udah, tidak usah kita salip Gus, kita ikuti dari belakang saja", jawabku.

Tiba-tiba mobil Gus Abil berbelok ke kiri di pertigaan sebelum pertigaan yang seharusnya. Jalanan sedang ramai, di kanan kiriku banyak motor, aku hanya bisa memberikan kode dengan memencet klakson, tujuannya menunjukkan kalau Gus Abil salah belok. "Coba kamu telpon Gus Abil Gus", pintaku ke Gus Arif. "Kamu salah belok Gus, bukan pertigaan yang itu, masih di depannya lagi", kata Gus Arif yang sedang menelpon Gus Abil.

Sampai di rumah Gus Arif. Aku menunggu di depan masjid. Gus Arif ke belakang rumahnya, memanjat sendiri degan yang hendak kami minum. Tempat ini adalah rumah orang tuanya, dulu pondok pesantren besar dan banyak santrinya, namun saat ini sepi, hanya sisa asrama yang tidak ada santrinya. Alhamdulillah, Gus Arif diambil menantu oleh KH. Aziz Ikhwan, pengasuh pondok pesantren Setail, Genteng, harapannya nanti bisa menghidupkan kembali pondok yang dulu pernah besar dibawah asuhan alhmarhum ayahnya ini.

Syisha dikeluarkan oleh Gus Abil dari bagasi mobilnya. Aku yang meraciknya. Gus Abil disamping anak dari Kyaiku di Blokagung, juga kami sama-sama belajar di Universitas Al-Azhar Mesir. Aku lebih dulu pulang ke Indonesia, dia sampai saat ini masih di sana. Kebetulan, karena covid 19 ini, dia pulang ke Indonesia. Karena sama-sama dari Mesir, setiap obrolanku dengan Gus Abil, tidak bisa terlepas untuk tidak membicarakan Mesir. Menilai Mesir dari sisi apa saja.

"Silakan degannya Gus", Gus Arif sudah menyelesaikan semuanya. Menyuguhkan degan siap minum kepadaku dan Gus Abil. "Terimakasih Gus, kamu memang luar biasa. Semua dikerjakan sendiri, bahkan masak-masak sendiri. Minggu depan, kalau nongkrong lagi seperti ini, aku akan bawa ayam Gus", kata Gus Abil. Gus Arif menjawabnya dengan senyuman.

Tidak lama kemudian, Mbah Karyo, santri Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu datang. Saat bersalaman, terlihat matanya masih agak merah, rupanya ketika aku tanyakan, karena memang baru bangun tidur. Padahal sekarang sudah masuk waktu dhuhur. Ya, seperti itulah kebiasaan oknum santri. Kalau malam tidak tidur, tidurnya dari pagi sampai siang seperti ini.

Sambil ndegan bersama Gus Arif, Mbah Karyo dan Gus Abil, aku bercerita banyak hal. Gus Abil juga mengimbangi ceritaku, tentang Mesir. "Sewaktu Krisna Mukti, yang waktu itu anggota DPR main ke Mesir, ditemani oleh Mbak Nihayatul Wafiroh dan keluarganya, termasuk abah KH. Mudlofar Sulton, ada yang menarik dari penilaianku. Masing-masing dari mereka menilai Mesir dari sudut pandang yang berbeda", kata Gus Abil.

Gus Arif  penasaran, "Maksudnya menilai Mesir dari sudut pandang berbeda bagaimana Gus?", tanyanya. Mbah Karyo juga tampak antusias mendengarkan. Aku mendengarkan cerita Gus Abil sambil menghisap syisha rasa two apple yang mantap. "Mbak Nik dan Krisna Mukti kesukaannya adalah sejarah. Jadi kalau jalan-jalan di Mesir yang berkaitan dengan sejarah, mereka sangat bersemangat sekali. Berbeda dengan Abah KH. Mudhofar, beliau sukanya jalan-jalan di makam para Ulama' di Mesir. Wisata sejarah tidak begitu menarik bagi beliau".

Aku menanggapi kisah dari Gus Abil. Dulu ketika aku baru pulang dari Mesir Gus, ada 3 orang yang memiliki penilaian berbeda kepadaku. Satu orang yang aku temui, bilang, "jangan-jangan kamu pulang dari Mesir, sekarang menjadi HTI lagi, karena tokoh-tokohnya kan ada di sana", katanya seperti itu, dia bilang seperti itu karena dulu, sebelum berangkat ke Mesir, aku pernah ikut ngajinya orang-orang HTI. Aku hanya tersenyum saja waktu itu. Orang kedua bilang, "Jangan-jangan kamu jadi orang liberal sekarang, setelah pulang dari Mesir". Dia bilang seperti ini, karena tokoh-tokoh liberal dunia memang berada di Mesir.

Lalu, orang ketiga menilaiku dengan cara berbeda. "NU-mu setelah pulang dari Mesir seharusnya tambah kental, karena Imam Syafi'i ada di Mesir, Syeikh Ibnu Athoillah, sufi terkenal itu juga ada di Mesir. Al-Azhar juga mengajarkan islam yang moderat". Tiga orang yang berbeda, dengan penilaian yang berbeda pula. Gus Arif dan Mbah Karyo terlihat antusias dengan ceritaku ini. Gus Abil membenarkannya, karena Mesir memang lengkap. Setiap orang bisa melihat Mesir dengan sisi kaca mata yang berbeda-beda.

Sedang asyik kami ngobrol, ada pesan WA di hpku, rupanya jam 13.00 sedang ada jadwal tetap, yakni aku harus kuliyah online memakai Zoom bersama teman-teman S3 Doktoral UIN Malang. Aku sedang ndegan bersama teman-teman, namun aku juga dituntut untuk ikut kuliyah. Akhirnya, Zoom aku hidupkan, aku mengisi absen yang dikirim oleh Mbak Luluk sebagai kordinator kelas di S3. Aku menyimak pemaparan dari Ust. Ali dan Ust. Amin yang hari ini jadwalnya presentasi, tentunya sambil menghisap syisha dan juga mendengarkan obrolan Mbak Karyo, Gus Abil dan Gus Arif.

Gus Naim datang, "Kok sudah ke sini Gus, katanya mengajar sekolah diniyyah di Pondok?!", Gus Arif langsung menyerbu Gus Naim dengan pertanyaan. "Demi sahabat", jawabanya singkat. Gus Naim merupakan putra menantu dari Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu, Gus-nya Mbah Karyo.

Kami melanjutkan obrolan. Belum berselang lama, Bang Syem yang santrinya Gus Naim juga datang, membawa banyak sekali sayuran yang ditaruh di motornya, dia juga mengajak dua santri yang masing-masing membawa sepeda motor dan penuh dengan sayur-sayuran. "Mau dibuat apa sayur-sayuran sebanyak itu?", tanyaku kepada Bang Syem ketika kami bersalaman. "Acara Haul Gus di pondok Tugung malam minggu besok", jawabnya.

"Acara haul setelah shalat isya' apa setelah shalat maghrib Gus?", tanyaku ke Gus Naim. "Setelah shalat Isya' Gus". Wah, malam minggu besok, aku bersama teman-teman MATAN Banyuwangi juga memiliki jadwal untuk acara ngofi, ngobrol sufi ke 22 di rumahnya Gus Fathan Himami Hasan di Kalibaru. Sementara pada saat yang sama Gus Naim bersama para santrinya juga ada acara haul di pesantrennya.

"Di Setail juga acara haul Gus, setelah isya' juga", Gus Arif menyambung ucapan dari jawaban Gus Naim dan memiliki agenda yang sama. Bahkan, Gus Ulil di group Muharrik MATAN Banyuwangi juga memberikan informasi tidak bisa berangkat, karena di Pesantrennya sedang kedatangan gurunya dari Malang. Masing-masing dari anggota MATAN Banyuwangi punya agenda yang berbeda di pesantrennya.

"Menurutku, semalam-malamnya, kalau bisa tetap hadir di acara ngofi ya Gus", pintaku ke Gus Naim dan Gus Arif. Mereka mengusahakannya. Sudah 3 tahun kami konsisten mengadakan acara ngofi yang lokasinya berpindah-pindah di seluruh wilayah Banyuwangi. MATAN Banyuwangi memiliki Visi "Pemuda Banyuwangi Bertasawwuf; Cinta Para Auliya, Cinta Dzikir, Cinta Sholawat, Cinta NKRI". Kami terus mengobrol hingga sore, obrolan apa saja, tentang menilai Mesir dan MATAN Banyuwangi. Aku pamit pulang ketika masuk waktu ashar tiba. Hari ini kami ndegan sambil menilai Mesir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun