Tiba-tiba mobil Gus Abil berbelok ke kiri di pertigaan sebelum pertigaan yang seharusnya. Jalanan sedang ramai, di kanan kiriku banyak motor, aku hanya bisa memberikan kode dengan memencet klakson, tujuannya menunjukkan kalau Gus Abil salah belok. "Coba kamu telpon Gus Abil Gus", pintaku ke Gus Arif. "Kamu salah belok Gus, bukan pertigaan yang itu, masih di depannya lagi", kata Gus Arif yang sedang menelpon Gus Abil.
Sampai di rumah Gus Arif. Aku menunggu di depan masjid. Gus Arif ke belakang rumahnya, memanjat sendiri degan yang hendak kami minum. Tempat ini adalah rumah orang tuanya, dulu pondok pesantren besar dan banyak santrinya, namun saat ini sepi, hanya sisa asrama yang tidak ada santrinya. Alhamdulillah, Gus Arif diambil menantu oleh KH. Aziz Ikhwan, pengasuh pondok pesantren Setail, Genteng, harapannya nanti bisa menghidupkan kembali pondok yang dulu pernah besar dibawah asuhan alhmarhum ayahnya ini.
Syisha dikeluarkan oleh Gus Abil dari bagasi mobilnya. Aku yang meraciknya. Gus Abil disamping anak dari Kyaiku di Blokagung, juga kami sama-sama belajar di Universitas Al-Azhar Mesir. Aku lebih dulu pulang ke Indonesia, dia sampai saat ini masih di sana. Kebetulan, karena covid 19 ini, dia pulang ke Indonesia. Karena sama-sama dari Mesir, setiap obrolanku dengan Gus Abil, tidak bisa terlepas untuk tidak membicarakan Mesir. Menilai Mesir dari sisi apa saja.
"Silakan degannya Gus", Gus Arif sudah menyelesaikan semuanya. Menyuguhkan degan siap minum kepadaku dan Gus Abil. "Terimakasih Gus, kamu memang luar biasa. Semua dikerjakan sendiri, bahkan masak-masak sendiri. Minggu depan, kalau nongkrong lagi seperti ini, aku akan bawa ayam Gus", kata Gus Abil. Gus Arif menjawabnya dengan senyuman.
Tidak lama kemudian, Mbah Karyo, santri Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu datang. Saat bersalaman, terlihat matanya masih agak merah, rupanya ketika aku tanyakan, karena memang baru bangun tidur. Padahal sekarang sudah masuk waktu dhuhur. Ya, seperti itulah kebiasaan oknum santri. Kalau malam tidak tidur, tidurnya dari pagi sampai siang seperti ini.
Sambil ndegan bersama Gus Arif, Mbah Karyo dan Gus Abil, aku bercerita banyak hal. Gus Abil juga mengimbangi ceritaku, tentang Mesir. "Sewaktu Krisna Mukti, yang waktu itu anggota DPR main ke Mesir, ditemani oleh Mbak Nihayatul Wafiroh dan keluarganya, termasuk abah KH. Mudlofar Sulton, ada yang menarik dari penilaianku. Masing-masing dari mereka menilai Mesir dari sudut pandang yang berbeda", kata Gus Abil.
Gus Arif  penasaran, "Maksudnya menilai Mesir dari sudut pandang berbeda bagaimana Gus?", tanyanya. Mbah Karyo juga tampak antusias mendengarkan. Aku mendengarkan cerita Gus Abil sambil menghisap syisha rasa two apple yang mantap. "Mbak Nik dan Krisna Mukti kesukaannya adalah sejarah. Jadi kalau jalan-jalan di Mesir yang berkaitan dengan sejarah, mereka sangat bersemangat sekali. Berbeda dengan Abah KH. Mudhofar, beliau sukanya jalan-jalan di makam para Ulama' di Mesir. Wisata sejarah tidak begitu menarik bagi beliau".
Aku menanggapi kisah dari Gus Abil. Dulu ketika aku baru pulang dari Mesir Gus, ada 3 orang yang memiliki penilaian berbeda kepadaku. Satu orang yang aku temui, bilang, "jangan-jangan kamu pulang dari Mesir, sekarang menjadi HTI lagi, karena tokoh-tokohnya kan ada di sana", katanya seperti itu, dia bilang seperti itu karena dulu, sebelum berangkat ke Mesir, aku pernah ikut ngajinya orang-orang HTI. Aku hanya tersenyum saja waktu itu. Orang kedua bilang, "Jangan-jangan kamu jadi orang liberal sekarang, setelah pulang dari Mesir". Dia bilang seperti ini, karena tokoh-tokoh liberal dunia memang berada di Mesir.
Lalu, orang ketiga menilaiku dengan cara berbeda. "NU-mu setelah pulang dari Mesir seharusnya tambah kental, karena Imam Syafi'i ada di Mesir, Syeikh Ibnu Athoillah, sufi terkenal itu juga ada di Mesir. Al-Azhar juga mengajarkan islam yang moderat". Tiga orang yang berbeda, dengan penilaian yang berbeda pula. Gus Arif dan Mbah Karyo terlihat antusias dengan ceritaku ini. Gus Abil membenarkannya, karena Mesir memang lengkap. Setiap orang bisa melihat Mesir dengan sisi kaca mata yang berbeda-beda.
Sedang asyik kami ngobrol, ada pesan WA di hpku, rupanya jam 13.00 sedang ada jadwal tetap, yakni aku harus kuliyah online memakai Zoom bersama teman-teman S3 Doktoral UIN Malang. Aku sedang ndegan bersama teman-teman, namun aku juga dituntut untuk ikut kuliyah. Akhirnya, Zoom aku hidupkan, aku mengisi absen yang dikirim oleh Mbak Luluk sebagai kordinator kelas di S3. Aku menyimak pemaparan dari Ust. Ali dan Ust. Amin yang hari ini jadwalnya presentasi, tentunya sambil menghisap syisha dan juga mendengarkan obrolan Mbak Karyo, Gus Abil dan Gus Arif.
Gus Naim datang, "Kok sudah ke sini Gus, katanya mengajar sekolah diniyyah di Pondok?!", Gus Arif langsung menyerbu Gus Naim dengan pertanyaan. "Demi sahabat", jawabanya singkat. Gus Naim merupakan putra menantu dari Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu, Gus-nya Mbah Karyo.