Laptop yang ada di depanku sudah menghasilkan 4 karya buku Serial Mesir yang berjudul "926 Cairo", "Cairo Oh Cairo", "Umroh Koboy", dan "80 Coret Mesir". Hari ini aku sedang mengedit naskah ke lima dan tiba-tiba peristiwa pecahnya layar terjadi.
Entah mengapa, walaupun aku sudah menyadari bahwa aku sudah memaafkan keduanya. Aku ibarat anak kecil yang sedang asyik-asyiknya bermain layang-layang, ia habiskan waktunya sehari semalam, lalu ditariklah layang-layang itu darinya.Â
Aku ibarat orang yang sedang hobi sekali menggayuh sepeda, ke mana-mana bawa sepeda, bahkan ikut beberapa club sepeda, lalu diambillah sepeda itu dengan cara dan waktu yang tidak tepat.
Aku fokus berfikir, "apa hikmah di balik kejadian ini?". Aku tidak memarahi istriku maupun Khilni. Aku percaya sekali dengan konsep takdir. Segala sesuatu yang terjadi, semua sudah dituliskan dalam Lauh Mahfudz, buku catatan Tuhan.Â
Hanya saja, aku tidak bisa berbohong dengan diriku sendiri, ada rasa jengkel yang aku rasakan. Ibarat anak kecil yang kehilangan layang-layang tadi, tapi aku sulit sekali mengendalikannya.
Dari pada ketika bicara, aku bisa melampiaskan kejengkelanku, akhirnya aku diam. Istri dan anakku keluar dari kamar. Istriku faham betul, ketika aku diam seperti ini, berarti menunjukkan kalau aku tidak mau diganggu oleh siapapun. Lampu kamar aku matikan, aku memilih untuk tidur, walaupun sebenarnya saat ini masih barusan selesai shalat isya dan waktunya para santri di pesantren mengaji takror.
Mata aku pejamkan, tapi hati masih bergejolak. Aku lebih banyak berdzikir membaca istighfar dan sholawat. Aku melawan diriku. Akalku sangat sadar dengan kejadian barusan, hatiku juga sudah memberikan pengertian, namun nafsuku seakan berperan sebagai provokator untuk menyalahkan istriku yang kurang memberikan pengawasan kepada anakkku, Khilni disaat aku sedang sibuk bekerja.
Istriku masuk ke dalam kamar, Khilni ia titipkan di mbak-mbak santri agar bisa diajak bermain oleh mereka. Dia menghampiriku, meminta maaf kembali.Â
Aku mengangguk sekali lagi yang menunjukkan aku memaafkannya. Hatiku sudah sadar secara jelas, bahwa kejadian pecahnya layar laptop ini adalah kejadian biasa saja. Memang sudah takdirnya, pada detik ini, hari ini, tanggal sekian, layar laptopku akan pecah. Aku sudah sadar dengan konsep ini.
"Tolong jangan membenci Khilni ya Mas, sepenuhnya aku yang salah. Aku kurang bisa menjaga Khilni. Aku yang salah", sambil mengatakan ini, dia sesenggukan menangis. Aku paling tidak tega ketika melihat istriku menangis.Â
"Tidak apa-apa. Uang bisa dicari, laptop bisa beli lagi. Khilni mungkin tadi sedang cari perhatian kepadaku, karena beberapa minggu ini, aku lebih sibuk di depan laptop dari pada mengajaknya bermain", kataku kepadanya sambil memeluk untuk menenangkannya.