Setelah melaksanakan shalat ashar, ada panggilan agar kami semua naik ke dalam perahu cepat. Saya berjalan beriringan dengan semua calon penumpang yang ada dan mayoritas tentu warga negara Mesir. "Enak sekali kamu bro, cuma bawa tas ransel doang", kata Mas Faiq mengomentari bawaan saya.
Setiap bepergian, saya paling malas ribet, sehingga termasuk umroh koboy kali ini, saya hanya membawa barang satu ras ransel saja, bahkan saya tidak membawa bekal makanan sama sekali. Sekarang kondisi puasa ramadlan, makan bisa beli di kapal cepat nanti. "Biar gesit mas geraknya", jawab saya ke Mas Faiq sambil tersenyum.
Benar saja kapal di depan saya disebut kapal cepat. Tidak seperti kapal feri yang ada di Pelabuhan Merak, Banten, atau Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Kapal feri cepat yang ada di Pelabuhan Nuaeba ini besar dan panjang, desainnya seperti kapal skocy. Tidak ada area terbukanya.
Barang yang berisi makanan dilarang dibawa masuk di kabin atas, sehingga teman-teman yang membawa bekal makanan harus rela meninggalkan barangnya di kabin bawah, dekat dengan parkiran mobil. Kami naik ke atas, kabin juga tertutup semua. Desain bangkunya seperti di pesawat, begitu juga jendelanya.
Satu-satunya hiburan yang bisa kami nikmati adalah layar besar yang ada di tengah, layaknya tv yang biasanya ada di kapal fery. Namun, saya lebih memilih untuk ngobrol bersama teman-teman yang lain.
Jam di hp saya lihat. Rupanya sudah hampir jam 7. Di dek depan, ternyata ada ruangan terbuka, walaupun terbilang sempit. Terlihat ada beberapa pemuda Mesir yang sedang melaksanakan shalat maghrib, "Jama'ah ikut orang Mesir yuk", saya mengajak Mas Kiram untuk sholat.
Kami menyusul sholat berjama'ah bersama. Baru saja selesai salam, seorang awak kapal menghampiri kami. Menyuruh kami semua untuk masuk ke dalam kembali. Angin mulai terasa kencang. "Dul Wilayati Israil. Inta tattagih hunak", "Itu adalah wilayah negara Israel. Kamu barusan sholat menghadap Israel", dia berkata demikian. Tetapi dia menutupnya dengan, "Robbuna yataqobbal insya Allah", "Tuhan kita menerima kok, insya Allah".
Ketika awak kapak itu masuk ke dalam, saya bersama beberapa orang Mesir melanjutkan terlebih dahulu shalat isya' dengan qosor. Orang-orang yang lain ada yang langsung masuk ke dalam tanpa melaksanakan shalat isya' secara qosor. Usai shalat, saya memesan indomie yang dijual di kantin kapal, "Bikam dih?", "Ini harganya berapa?", "10 Pound", kata dia.
Indomie memang luar biasa, tidak di Mesir, tidak di negara-negara arab, produknya bisa ditemukan di mana-mana, termasuk di kapal cepat yang menghubungkan antara Mesir dan Yordania. Baru saja selesai kami berbuka, rupanya kapal sudah bersandar di Pelabuhan Teluk Aqabah, negara Yordania.
Kami turun dari kapal, Mas Faiq dan timnya langsung mencari ruangan imigrasi negara Jordan. Masing-masing passport teman-teman dikumpulkan. Saya bersama Mas Kiram dan yang lain, melanjutkan buka puasa dari bekal yang mereka bawa. Makanan khas Indonesia yang mereka masak di Cairo, karena di kapal cepat tadi hanya makan indomie dan bekal ada di dek bawah.
Sekitar satu jam kami menunggu Mas Faiq yang sedang negosiasi dengan pihak imigrasi wilayah Aqabah, negara Yordania. Di Pelabuhan Aqabah ini banyak sekali terpampang di dindingnya foto-foto anggota kerajaan. Jordan memang negara monarki, dengan pemimpinnya adalah seorang raja. Sejak dulu seperti itu, belum pernah menjadi negara republic. Untungnya, negara ini adalah negara yang kaya raya akan minyak dan rakyatnya lebih terkenal Makmur dari pada negara tetangganya, yakni Mesir.