Keakraban saya dengan mereka dikarenakan kami sering berkumpul untuk mengurus administrasi bersama. Harus bolak balik di gedung Mujamma' yang ada di Ramses, hingga memperpanjang visa izin tinggal Mesir di Madinat Buus Islamiyah karena masa berlaku hampir habis.
Tigahari sebelum berangkat umroh, pada waktu itu menjelang awal bulan romadlon, kami berkumpul rapat di markaznya teman-teman Madura dengan organisasinya bernama FOSGAMA. Di sana diinformasikan perihal teknis keberangkatan umroh yang kami lakukan.
"Kita semua akan Umroh Koboy", kata Mas Faiq sebagai pemimpin rombongan. Dia yang bertanggung jawab untuk komunikasi dengan travel Afwaj yang menjadi mandub, penanggung jawab visa umroh yang dikeluarkan oleh negara Saudi Arabia. "Umroh Koboy karena kita melewati jalur darat", lanjutnya.
Semua sepakat, kami akan umroh lewat jalur darat, namun belum ada kesepakatan jalur mana yang akan kami lalui. Masih ada waktu tiga hari untuk mencari info jalur mana yang terbaik. Nantinya Mas Faiq dan timnya yang akan gerilya mencarikan informasi dari beberapa travel Mesir yang selama ini memberangkatkan jama'ah umroh dari jalur darat.
Ternyata tidak menunggu sampai tiga hari, malam itu juga beberapa teman yang ikut rapat, mulai menghubungi jaringannya masing-masing. Teman-teman di Mesir memang banyak, yang disamping kuliyah di Al-Azhar, nyambi bekerja, termasuk diantaranya menjadi guide travel dari turis-turis dari Indonesia dan negara Asia Tenggara.
Masing-masing informasi yang kami dapat dipadukan, akhirnya Mas Faiq memutuskan untuk melewati jalur darat dari Cairo menuju ke Nuaeba. Nuaeba merupakan jalur menuju ke Sinai, wilayah ini akhir-akhir ini menjadi daerah yang cukup rawan. Beberapa waktu lalu, ada kasus turis dari Jerman ditembak oleh orang-orang badui Mesir. Sehingg jalur Sinai menjadi penjagaan ketat oleh militer.
Malam dua romadlon kami berangkat dari Cairo dengan menggunakan bus merC yang disewa oleh Mas Faiq dan timnya. Dari rumah di Toubromly, saya diantar oleh Erick dan Mahmudi. Kami berangkat dari Bawwabah Tiga, Nasr City. Jama'ah yang berangkat umroh bukan hanya laki-laki saja, tapi ada beberapa cewek mahasiswi Al-Azhar juga.
Perjalanan dari Cairo menuju ke Nuaeba sekitar 6 jam. Di sana ada Pelabuhan dengan nama yang sama dengan daerahnya. Laut yang hendak kami seberangi adalah laut merah, yang dulu pernah diseberangi oleh Nabi Musa saat dikejar oleh Fir'aun Ramses II.
Sampai di Pelabuhan Nuaeba, rupanya banyak juga para jama'ah umroh dari Mesir yang juga hendak ke Saudi. Entah dari travel mana, saya tidak mencari tau. Yang jelas, teman-teman sempat bertanya ke salah satu dari mereka, jawabannya adalah mereka juga mau umroh lewat jalur darat.
Saya bersama teman-teman lumayan lama menunggu setelah mendapatkan tiket penyeberangan. Bus yang kami tumpangi hanya bisa mengantarkan sampai di Pelabuhan Nuaeba saja, karna di balik laut merah sana, sudah bukan negara Mesir lagi. Kami sebenarnya bisa memakai bus tadi, tetapi urusannya akan tambah ribet, karena harus berurusan dengan pihak imigrasi kendaraan juga.
Satu catatan penting ketika saya di Pelabuhan Nuaeba adalah semua toilet yang ada sangatlah jorok sekali. Di Mesir, toilet umum memang banyak yang seperti itu, jorok dan bau. Belum ada tradisi membayar toilet di negeri ini, sehingga toilet tidak ada yang jaga dan tentu karena gratis, maka jarang dibersihkan.