2. Polarisasi kelompok masyarakat
Tak bisa dipungkiri bahwa persaingan di tingkat elit membawa imbas pada hubungan antar personal di masyarakat. Yakni terciptanya polarisasi dan pengelompokan individu berdasarkan calon pilihan mereka.
Ya, masyarakat menjadi terpecah ke dalam dua kubu. Kubu lovers dan haters. Mereka sibuk mengklaim, sibuk berdebat, memuji jagoan mereka setinggi langit dan mencari-cari kesalahan calon yang bukan pilihan mereka.
Yang lebih parahnya lagi, polarisasi ini menyebabkan rusaknya sendi-sendi hubungan bermasyarakat. Tak jarang, diantara sesama teman, tetangga, bahkan saudara yang beda pilihan politik menjadikan mereka saling membenci dan bermusuhan. Miris memang.
3. Gangguan mental
Situasi politik yang makin memanas menjelang pemilu bisa berimbas pada gangguan mental. Rasa cemas, gelisah, emosi berlebihan adalah beberapa gangguan diantaranya. Intinya berupa hal yang berujung pada terganggunya ketenangan pikiran.
Rasa kepo yang berlebihan, over informasi yang sebagian diantaranya adalah hoax serta provokasi di media sosial menjadi penyebab dari munculnya gangguan-gangguan ini.
Sayangnya, banyak orang yang tak sadar atau menganggap sepele hal-hal seperti ini. Padahal gejala-gejala seperti diatas telah merusak ketenangan mereka sendiri dan juga mengganggu aktivitas keseharian mereka.
4. Depresi bila hasil pemilu tak sesuai ekspektasi.
Pada kasus lain, pemilu juga berpotensi memicu depresi. Yakni ketika hasilnya tak sesuai ekspektasi. Alias tokoh yang dijagokan gagal jadi pemenang.
Depresi biasanya terjadi karena seorang pemilih lebih fokus pada label negatif seorang tokoh. Dalam hal ini pada tokoh yang bukan pilihan mereka tentunya. Sehingga ketika pihak yang menang bukan figur yang mereka jagokan, mereka merasa over thinking dan khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka.