Kalau saja bangku-bangku kereta api itu bisa bicara pasti dia akan sering bercerita. Tentang manusia-manusia yang silih berganti mendudukinya.
Tak seperti bangku kereta yang punya rupa dan bentuk yang sama, wajah-wajah orang yang mendudukinya tak persis sama. Secara sederhana dapat kita kelompokkan menjadi dua. Wajah penuh keramahan dan wajah dengan keangkuhan.
Memandang wajah penuh keramahan itu seperti memandang bangku kereta yang masih baru. Tampak bersih, bersinar dan warnanya tajam. Siapapun akan tertarik dan ingin segera mendudukinya.
Ya, begitulah wajah  yang penuh keramahan. Wajah yang seperti ini memancarkan aura kasih sayang, kepedulian pada sesama, salam persahabatan dan ajakan menjalin hubungan yang baik.
Berbicara tentang wajah penuh keramahan ini membangkitkan kembali ingatan penulis akan kenangan saat naik kereta api pulang pergi Jakarta-Yogyakarta. Ya, penulis sering bertemu mereka bersama bangku-bangku kereta api kelas ekonomi yang mengantarkan para penumpangnya dalam perjalanan sejauh 562 km itu.
" Duduk disini saja, Mas !" ujar mereka pada penulis pada suatu malam diatas kereta api Progo saat mereka melihat penulis masih berdiri sementara para penumpang lainnya sudah duduk di bangku mereka masing-masing.
Tiga orang pria segera beringsut merapatkan posisi duduk mereka untuk memberikan tempat bagi penulis agar juga bisa duduk. Mereka sudah paham bahwa penulis waktu itu membeli tiket tanpa tempat duduk yang resikonya ya gak dapat tempat duduk.
Biasanya penumpang-penumpang seperti penulis ini menggelar koran agar bisa duduk di selasar di tengah-tengah gerbong atau dimana saja tempat kosong yang bisa digelari koran.
Suasana seperti ini banyak dijumpai waktu itu. Bangku kereta yang seharusnya untuk tiga orang ditempati empat orang. Para penumpang yang punya tiket tempat duduk dengan senang hati berbagi bangku untuk mereka yang tak kebagian tempat duduk.
Mereka berbagi dengan senang hati, ikhlas dari lubuk hati yang paling dalam. Tak ada embel-embel atau tendensi apapun. Mereka hanya ingin berbagi kebahagiaan.Â
Mereka pada umumnya adalah para pekerja sektor informal di Jakarta. Ada yang menjadi pekerja kontruksi, pelayan toko, pedagang asongan dan banyak pekerjaan informal lainnya.Â
Hal itu penulis ketahui dari perbincangan dengan mereka. Mereka hanya mudik beberapa hari saja melepas kangen dengan keluarga dan kembali ke Jakarta lagi.
Sebuah kisah penuh pelajaran hidup dalam perjalanan berkereta api. Kisah tentang begitu besarnya kepedulian dan keramahan dari orang-orang yang sebenarnya tak punya banyak kelebihan, namun dengan mudahnya berbagi dengan orang lain.
Namun kisah-kisah seperti itu takkan kita temui lagi sekarang. Semua tinggal kenangan. Dunia perkereta apian telah berubah total sejak estafet kepemimpinan diambil alih Pak Ignatius Jonan pada 2009 lalu. Dan salah satu poin dari perubahan itu adalah perbaikan layanan dengan meniadakan tiket tanpa tempat duduk.
Namun tak semua wajah merupakan wajah yang ramah. Ada pula yang tak ramah. Wajah mereka kusam tak bercahaya laksana bangku-bangku kereta tua yang tak terawat. Sungguh tak sedap dipandang mata.
Memandang mereka menimbulkan perasaan tak nyaman. Pingin marah dan emosi. Karena memang prilaku mereka tak bisa ditolelir.
Dalam beberapa kesempatan kadang kita harus bertemu mereka. Mereka terlihat dingin dan terkesan angkuh. Tak jarang mereka berprilaku arogan. Seolah berkuasa.
Ya, pada bangku-bangku yang dipasang memanjang di kedua sisi gerbong itu sering kita lihat tingkah orang-orang yang arogan dan tak menghormati sesama penumpang.Â
Entahlah, apakah mereka merasa sebagai seorang pemilik, padahal semua penumpang berstatus sama. Atau merasa punya previllage khusus sehingga bertindak semaunya.
Sering kita lihat penumpang yang meletakkan barang bawaan diatas bangku, padahal seharusnya ditaruh di bagasi di bagian atas kepala. Akibatnya penumpang lain tak bisa duduk. Menandai tempat duduk untuk teman. Duduk dengan cara yang tidak benar dengan berselonjor sehingga menghalangi penumpang lain untuk duduk. Sampai pada tidak mau berbagi tempat duduk bahkan untuk penumpang prioritas sekalipun. Yakni orang tua, anak kecil, ibu hamil dan penyandang disabilitas.
Ada sebagian dari pengguna KRL yang dengan santainya melakukan itu tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Padahal yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar.
Beberapa hari lalu media sosial mendadak ramai sehubungan dengan cuitan seorang penumpang tentang sikap penumpang lainnya yang menandai bangku kosong di sebelahnya dengan meletakkan barang-barang dan melarang penumpang lain menduduki bangku tersebut termasuk seorang penumpang yang membawa anak kecil yang notabene termasuk penumpang prioritas.
Perbuatan ini jelas-jelas tak dibolehkan. Seperti dikutip dari kompas.com, Leza Arlan, External Relations and Corporate Image Care PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menjelaskan bahwa penumpang tidak dibolehkan menandai bangku kosong untuk orang lain. Seharusnya siapa yang datang lebih awal lebih berhak menempati bangku kosong.
Pelanggaran demi pelanggaran seperti itu terus terjadi. Beberapa penumpang yang melihatnya membiarkan saja, tak berusaha menegur karena malas ribut. Paling-paling hanya berharap di dalam hati ada petugas berpatroli dan menegur penumpang yang melakukan kesalahan.
Sebagai warga kita tentu berharap dimasa mendatang kita tak lagi menemukan wajah-wajah yang tak ramah, wajah-wajah yang arogan lagi saat berkereta api.Â
Kita menginginkan pengalaman berkereta api yang menyenangkan. Dan untuk hal itu bisa kita mulai dari diri sendiri untuk senantiasa menampilkan wajah ramah, penuh senyum dan kehangatan. Wajah yang saling menghormati sebagai sesama pengguna.
(EL)
Yogyakarta,15102022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H