Mereka pada umumnya adalah para pekerja sektor informal di Jakarta. Ada yang menjadi pekerja kontruksi, pelayan toko, pedagang asongan dan banyak pekerjaan informal lainnya.Â
Hal itu penulis ketahui dari perbincangan dengan mereka. Mereka hanya mudik beberapa hari saja melepas kangen dengan keluarga dan kembali ke Jakarta lagi.
Sebuah kisah penuh pelajaran hidup dalam perjalanan berkereta api. Kisah tentang begitu besarnya kepedulian dan keramahan dari orang-orang yang sebenarnya tak punya banyak kelebihan, namun dengan mudahnya berbagi dengan orang lain.
Namun kisah-kisah seperti itu takkan kita temui lagi sekarang. Semua tinggal kenangan. Dunia perkereta apian telah berubah total sejak estafet kepemimpinan diambil alih Pak Ignatius Jonan pada 2009 lalu. Dan salah satu poin dari perubahan itu adalah perbaikan layanan dengan meniadakan tiket tanpa tempat duduk.
Namun tak semua wajah merupakan wajah yang ramah. Ada pula yang tak ramah. Wajah mereka kusam tak bercahaya laksana bangku-bangku kereta tua yang tak terawat. Sungguh tak sedap dipandang mata.
Memandang mereka menimbulkan perasaan tak nyaman. Pingin marah dan emosi. Karena memang prilaku mereka tak bisa ditolelir.
Dalam beberapa kesempatan kadang kita harus bertemu mereka. Mereka terlihat dingin dan terkesan angkuh. Tak jarang mereka berprilaku arogan. Seolah berkuasa.
Ya, pada bangku-bangku yang dipasang memanjang di kedua sisi gerbong itu sering kita lihat tingkah orang-orang yang arogan dan tak menghormati sesama penumpang.Â
Entahlah, apakah mereka merasa sebagai seorang pemilik, padahal semua penumpang berstatus sama. Atau merasa punya previllage khusus sehingga bertindak semaunya.
Sering kita lihat penumpang yang meletakkan barang bawaan diatas bangku, padahal seharusnya ditaruh di bagasi di bagian atas kepala. Akibatnya penumpang lain tak bisa duduk. Menandai tempat duduk untuk teman. Duduk dengan cara yang tidak benar dengan berselonjor sehingga menghalangi penumpang lain untuk duduk. Sampai pada tidak mau berbagi tempat duduk bahkan untuk penumpang prioritas sekalipun. Yakni orang tua, anak kecil, ibu hamil dan penyandang disabilitas.
Ada sebagian dari pengguna KRL yang dengan santainya melakukan itu tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Padahal yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar.