Mohon tunggu...
el lazuardi daim
el lazuardi daim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Transformasi Randang Menjadi Rendang dan Rendang Babiambo

16 Juni 2022   08:36 Diperbarui: 16 Juni 2022   09:21 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rendang di Rumah Makan Masakan Padang. Foto: dokpri

Rendang, masakan khas Sumatera Barat ini disukai banyak orang. Rendang sudah merambah keluar dari Sumatera Barat. Sudah banyak dijual di banyak tempat di seantero negri. Dan kini rendang tak hanya bermigrasi tapi juga mengalami transformasi.

Hari itu aku baru saja sampai di kota Yogyakarta. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Rasa lapar yang menggerogoti perutku memaksaku segera mencari rumah makan terdekat.

Di depan sebuah rumah makan bertuliskan "Masakan Padang" aku berhenti dan segera masuk. Seorang pelayan menyambutku dan aku minta dibungkuskan seporsi nasi rames.

"Lauknya apa Mas? Rendang, ayam, apa lele?" tanya pelayan itu.

"Rendang aja," jawabku. Dan setelah membayar aku segera kembali ke kontrakan dan menikmati makan siangku dengan sepotong daging rendang.

Sebagai orang Minang, rumah makan Masakan Padang memang sering menjadi rujukan bagi kami dalam membeli makanan. Harga yang tak mahal, kehalalannya dan juga soal lidah biar tak kaget menjadi pertimbangan. Apalagi ada tersedia rendang, makanan yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak didunia itu.

Rendang, ya rendang. Makanan berbahan dasar daging sapi ini menjadi menu favorit rumah makan Masakan Padang. Disetiap rumah makan berlabel masakan padang pasti menyediakan menu yang satu ini.

Dalam percakapan kami orang Minang  kami lebih familiar menyebutnya dengan kata " randang" bukan rendang. Atau dalam versi lain ada juga yang menyebutnya Gulai Randang. Entah mengapa kemudian kata randang berubah menjadi rendang ketika berada diluar negeri asalnya.

Ternyata perubahan pengucapan ini membawa perubahan pula pada masakan itu sendiri. Rendang ternyata tak persis sama dengan randang dalam pemahaman kami orang Minang. Ada beberapa perbedaan mendasar yang ditemui.

Ya, rendang di perantauan tak sama persis dengan rendang yang biasa dimasakkan ibu-ibu kami di rumah. Pun juga tak seperti rendang yang biasa disuguhkan di acara pesta di kampung kami. Dan juga tak sama dengan yang biasa dijual di rumah-rumah makan di daerah Sumatra Barat.

Rendang yang kami jumpai di perantauan beda tampilannya. Warnanya masih coklat muda dan masih ada sisa kuahnya. Sepertinya belum dimasak sampai kering.

Sedangkan yang dinamakan rendang itu warnanya coklat tua dan kuah santannya sudah mengering. Bila masih ada sisa kuahnya biasa disebut " kalio" atau " randang saparo masak " (rendang setengah matang).

Perbedaan lainnya juga ditemui dalam komposisi bahan yang digunakan. Ada bahan yang dikurangi penggunaannya. Yang membuat rasanya jadi berbeda..

Seperti dalam hal pemakaian kelapa. Pernah dalam sebuah perbincangan, seorang wanita mengatakan bahwa dirinya hanya memakai setengah butir kelapa saja untuk memasak setengah kilo daging sapi. Padahal biasanya menggunakan dua butir kelapa untuk diambil santan kentalnya ketika memasak setengah kilo daging.

Ya, rendang butuh banyak santan kental untuk memperkuat rasa gurih yang berpadu dengan rasa pedas cabe dan aneka rempahnya. Dari sinilah sensasi kelezatan rasa rendang itu akan terasa ketika sudah kering. Nah ketika ada bahan yang dikurangi seperti ini, tentu sensasi kelezatannya jadi kurang menggigit.

Sepertinya saat ini terjadi perubahan dalam memaknai rendang. Rendang dipahami hanya sebagai daging yang dimasak dengan bumbu rendang dan sedikit santan. Sedang tata cara memasak yang semestinya sering tak dipatuhi. Tak heran kalau rendang yang dihasilkan berbeda jauh dengan versi originalnya.

Hari ini rendang tak hanya bertransformasi tapi juga berinovasi. Inovasi terletak pada bahan dasar yang digunakan.

Selama ini kita mengenal rendang terbuat dari daging sapi. Dalam versi lain ada juga yang memakai daging ayam, ataupun kerang. Yang pasti rendang terbuat dari bahan-bahan yang halal secara hukum Islam. Artinya rendang dicitrakan sebagai makanan halal.

Tapi kini juga hadir rendang versi non halal. Menggunakan daging babi sebagai bahan dasarnya. Sehingga kini muncullah istilah rendang babi. Seperti yang dijual oleh restoran Babiambo, restoran yang namanya viral beberapa waktu belakangan ini.

Ya, ketenaran masakan padang, khususnya rendang telah dijadikan bahan untuk berkreasi. Namun inovasi yang satu ini terbilang cukup ekstrim.

Kenapa tidak. Pemakaian daging babi tak hanya merubah wajah dari rendang itu sendiri tapi juga citranya. 

Penggunaan daging babi otomatis merubah citra eksklusif rendang yang seratus persen makanan halal. Artinya kini rendang menjadi seperti makanan seperti pada umumnya, bisa halal bisa tidak. Tergantung bahan yang dimasak.

Kreasi rendang babi Babiambo ini sempat menjadi perdebatan. Apalagi restoran itu memakai unsur-unsur budaya Minang. Padahal orang Minang yang mayoritas beragama Islam tidak mengenal masakan berbahan dasar daging babi. Tak pelak muncul protes dan kecaman.

Polemik ini kini telah selesai. Restoran Babiambo telah tutup dan pemiliknya meminta maaf.

Rendang adalah sebuah produk kebudayaan orang Minang. Kini bermigrasi melampaui banyak batas negeri. Maka percampuran budaya  di berbagai negeri menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Baik bahan maupun cita rasanya.

(EL)

Yogyakarta,16062022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun