Mohon tunggu...
B. Prasetya
B. Prasetya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lagu Indonesia Raya "Sebelum" Dan "Sesudah" Kemerdekaan

6 Juni 2017   05:01 Diperbarui: 7 Juni 2017   01:02 2748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

2. TINJAUAN DARI SISI SUASANA BATHIN

    Situasi saat lagu Indonesia Raya ditulis tahun 1924 (sebelum merdeka)

  • Indonesia belumlah dilahirkan, kecuali masih sebatas mimpi besar.
  • Suasana bathin pada masa itu adalah semangat perang merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme Belanda.
  • Pada saat menulis syair lagu Indonesia Raya, sesungguhnya W.R. SOEPRATMAN pandangannya sedang melompat jauh kemasa depan, karena itu beliau memilih kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." yang bisa diartikan dengan "suatu saat nanti".

     Situasi saat ini (Pasca Proklamasi)

  • Indonesia sudah  MERDEKA.
  • Semangat generasi pasca 45 tak lagi perang merebut kemerdekaan dari kolonialisme asing sebagaimana para pendahulunya, tetapi tugas mereka saat ini adalah menjaga, menyelamatkan serta mengisi pembangunan seutuhnya.
  • Untuk menyulut kobaran kesadaran nasionalisme generasi pasca 45, maka sudah saatnya, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." diselaraskan menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".
  • Karena kata "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." mengandung makna bahwa "pada saat ini" generasi pasca 45 sudah berdiri "Di sini" di atas tanah airnya sendiri yang merdeka dan siap sedia mempertahankan, menyelamatkan serta membangunnya dengan segenap jiwa dan raga apapun konsekuensinya.
  • Lebih dari pada itu, NALURI HEROISME akan meresap ke sanubari seluruh generasi pasca 45 saat mereka menyanyikan ataupun mendengarkan lagu Indonesia Raya tepatnya pada bait "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...". 

3. TINJAUAN DARI SISI MASA

  • Semasa pergolakan merebut kemerdekaan, siapapun yang mendengar apalagi menyanyikan lagu Indonesia Raya, dada mereka akan bergetar kencang, gelora nasionalisme sontak menyala-nyala, meledak-ledak menggegap-gempitakan segala rasa serta kerinduan yang menulang sum-sum atas sebuah negara yang diimpikan keterwujudannya. 
  • Singkatnya, pra proklamasi kemerdekaan Indonesia, lagu tersebut pada kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." mampu memabuk kepayangkan kecintaan hati kaum pergerakan dengan menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai "MIMPI BESAR NAN SUCI" yang wajib dikejar, sehingga mereka ikhlas mempersembahkan nyawa beserta seluruh harta yang dicintainya semata-mata demi terwujudnya impian tersebut. 
  • Namun pasca proklamasi kemerdekaan RI, lagu Indonesia Raya seakan tak mampu menghebatkan getaran nasionalisme generasi pasca 45. Hal ini mengakibatkan PERENGGANGAN IKATAN CINTA antara generasi pasca 45 terhadap negaranya, akibat yang ditimbulkannya adalah mereka lebih mencintai diri maupun kelompoknya ketimbang negara.
  • Bila ditinjau dari masa dan atau dimensi waktu, saat lagu tersebut diciptakan pada tahun 1924, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." maka hakekatnya adalah "Suatu saat kelak" Indonesia pasti merdeka serta berdaulat penuh dan mereka beserta keturunannya akan berdiri "Di sana" untuk mengawal mengawal, menata, mengatur dan membangun negaranya sendiri tanpa campur tangan asing.  
  • Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan jaman dan atau masa yang sangat signifikan, antara pada saat lagu Indonesia Raya diciptakan tahun 1924 yaitu sebelum Indonesia merdeka dengan situasi dan kondisi pada saat ini yaitu setelah Indonesia merdeka.
  • Penyelarasan satu kata  "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." sangatlah mendesak agar lagu tersebut tetap terjaga keampuhan daya magisnya dari masa kemasa (pasca proklamasi kemerdekaan).
  • Satu hal yang pasti, saat ini (pasca proklamasi) Indonesia sudah "Di sini" tidak lagi "Di sana".
  • Karena itu kata yang paling tepat saat ini dan atau pasca proklamasi kemerdekaan adalah "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." tidak lagi "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".

4. TINJAUAN DARI SISI SPIRIT / KEJIWAAN

  • Sebaik-baik sebuah lagu kebangsaan adalah yang liriknya mampu membangkitkan spirit  dan atau mengobarkan jiwa nasionalisme para pelantun maupun pendengarnya. 
  • Lagu Indonesia Raya dengan pemilihan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...", telah membuktikan kedigjayaannya semasa perang kemerdekaan, karena kata tersebutlah yang menjadi PELEBUR JIWA kaum bumi putera kala itu dengan negara yang masih dicita-citakan keterwujudannya, yang diyakini suatu saat kelak "Di sanalah" mereka akan berdiri menjadi pandu ibu pertiwi. 
  • Namun setelah Indonesia merdeka dan tetap menggunakan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...", maka generasi pasca 45 terperangkap dalam KELINGLUNGAN JIWA, karena terdoktrin di alam bawah sadarnya bahwa saat ini mereka masih berdiri di atas tanah air yang belum merdeka. 
  • Hal ini disebabkan terjadi ketidak-selarasan antara kenyataan (Indonesia sudah merdeka) dengan spirit ataupun semangat kejiwaan yang ditanamkan dalam lagu tersebut yang hingga saat ini tetap menggunakan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." (seolah mereka masih berdiri di atas tanah yang terjajah), padahal kenyataannya mereka sudah berdiri sudah "Di sini" (di atas tanah airnya sendiri yang merdeka).
  • Dampak terburuk jika tidak segera dilakukan penyelarasan adalah akan menimbulkan kekacauan pada sistem kejiwaan generasi pasca 45, yang akibatnya mereka tidak akan terlalu peduli pada kelangsungan dan keselamatan negaranya dan mereka hanya peduli pada dirinya sendiri. 
  • Ketidak-pedulian generasi penerus dan atau generasi pacsa 45 terhadap negaranya adalah BENCANA TERBESAR bagi negeri ini.
  • Setelah dilakukan penyelarasan dari kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." maka secara alami naluri generasi pasca 45 akan terpanggil untuk berbakti kepada nusa dan bangsa.

5. TINJAUAN DARI SISI MENTAL

  • Disadari ataupun tidak, syair lagu Indonesia Raya mengandung muatan REVOLUSI MENTAL. 
  • Sebelum lagu Indonesia Raya diperkenalkan di depan umum, kebanyakan kaum bumi putera saat itu belumlah bermental revolusioner, bahkan banyak diantara mereka beranggapan bahwa penjajahan adalah suratan takdir yang harus diterima dengan lapang dada meski perih terasa, dan kalaupun diperjuangkan kemerdekaannya maka haruslah dengan cara-cara yang tidak menimbulkan korban jiwa rakyat banyak serta tidak menimbulkan kemarahan dari pihak penjajah. 
  • Di sisi lain saat itu juga belum jelas apa yang harus diperjuangkan dan bagaimana cara memperjuangkannya. Intinya arah perjuangannya masih kabur.
  • Namun sejak berkumandangnya lagu Indonesia Raya maka semua menjadi semakin jelas, dan yang diperjuangkanpun menjadi suatu kepastian yaitu kemerdekaan sebuah negara yang bernama Indonesia, yang suatu saat nanti "Di sanalah" mereka akan berdiri menjadi pandu ibu Pertiwi.
  • Pada saat itulah terjadi REVOLUSI MENTAL kaum bumi putera, dari kaum lemah yang terjajah, sontak bangkit menjadi pejuang-pejuang bermental baja mengusir penjajah.
  • Namun itu dulu! Saat ini situasi, kondisi dan jaman sudah berubah.
  • Masa penjajahan fisik telah usai, dan Indonesia sudah meraih kemerdekaannya.
  • Agar terjadi REVOLUSI MENTAL dalam diri generasi pasca 45, sekaligus mereka menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa saat ini sudah berdiri di atas tanah airnya sendiri, maka sudah saatnya kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." diganti KATA KUNCI-nya menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".
  • Hal ini menandaskan tekad mental, iktikad baik serta komitmen kerja keras generasi pasca 45 untuk menjaga, mempertahankan dan membangun negaranya dengan segenap jiwa dan raga.

6. TINJAUAN DARI SISI RELIGI

  • Sebagai umat beragama kita meyakini bahwa setiap kata adalah DOA.
  • Dan doa yang mustajab adalah yang diucapkan dengan penuh keyakinan serta didukung dengan pemilihan kata yang tepat dan diucapkan diwaktu yang tepat pula.
  • Sesungguhnya syair dalam lagu Indonesia Raya adalah syair doa penciptanya yang kemudian menggelombang menjadi doa massal anak bangsa yang diamini oleh semesta alam.
  • Akhirnya atas berkat Rahmat Tuhan YME, pada tanggal 17 Agustus 1945 doa dan impian itupun TERWUJUD dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.
  • Harus diakui, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." yang diperdengarkan pertama kali pada tahun 1928 merupakan pemilihan kata yang sangat tepat dimasa pergolakan merebut kemerdekaan.
  • Namun setelah proklamasi kemerdekaan 1945 terwujud, maka kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." harus segera diselaraskan menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." agar Tuhan semakin mengokokohkan kaki generasi pasca 45 di atas negaranya sendiri, Indonesia.

7. TINJAUAN DARI SISI SEJARAH PERJALANAN LAGU ITU SENDIRI

     Ternyata lagu Indonesia Raya sejak pertama kali diciptakan pada tahun 1924 hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Dan yang kita kenal selama ini adalah yang versi modern.

     Sejarah mencatat ada tiga versi lagu Indonesia Raya ; 

  1. Lirik asli tahun 1924.
  2. Lirik resmi sesuai Peraturan Pemerintah RI nomor 44 tahun 1958.
  3. Lirik modern.

     Meskipun begitu namun nama penciptanya tidak pernah berubah, yaitu tetap W.R. SOEPRATMAN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun