Mohon tunggu...
Hermansyah
Hermansyah Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Kesehatan

Dengan Menulis, kita dapat mengekspresikan dalamnya Rasa_

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membedah Opini: Jokowi Presiden Versi Lembaga Survei, Prabowo Presiden Versi TV One

9 April 2019   10:15 Diperbarui: 9 April 2019   10:20 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Buletinmitsal.Com


"Kita belajar dari banyak hal, dari mereka pelaku-pelaku politik yang menggaungkan nama rakyat dan tuhan di setiap kesempatan, harus percaya dan Optimis, Negeri ini tidak selamanya di urus oleh mereka yang salah, tetapi ada orang-orang baik yang sedang berdiri di sana, maka mari kita bersama orang baik yang berbuat segenap hati untuk negeri ini".

Menarik dibedah bila membahas geliat politik nasional tahun 2019 ini, lebih khusus lagi tentang Pilpres, karena tidak akan habis diwacanakan atau diperdebatkan, keempat sosok putra terbaik bangsa yaitu Jokowi Dodo-KH. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno akan bersaing merebut kursi Nomor 1 (satu) Republik Indonesia periode 2019-2024.

Semua media elektronik, media cetak maupun media sosial tidak pernah sepi, para pendukung dan simpatisan masing-masing memperlihatkan kelebihan pasangan calon presiden dan wakil presidennya, dan di alam demokrasi hal ini adalah sebuah kewajaran, berbeda pilihan politik, berbeda dukungan dan sebagainya, namun tetap mengedepankan nilai toleransi dan persatuan.

Pemilihan presiden dan wakil presiden tinggal menghitung hari, tepatnya tanggal 17 April 2019 kita akan menghadapi pesta demokrasi, dan menjadi sejarah baru bagi negeri ini, karena melaksanakan pemilu secara serentak di seluruh pelosok negeri, yaitu pemilihan DPRD kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, DPRD Pusat, DPD Pusat dan pemilihan Presiden dan wakil presiden.

Pilpres ibarat magnet bagi media-media sebagai bahan pemberitaan, begitupun masyarakat pada umumnya yang tidak ingin ketinggalan mengikuti perkembangan pilpres, membahas visi, misi, karakter, kebijakan, rekam jejak kedua calon presiden yaitu Jokowi Dodo dan Prabowo Subianto tidak pernah usai, tidak ada ujungnya, para netizen tentu paling tau kelebihan dan kelemahan dari kedua pasangan calon presiden ini.

Salah satu yang di soroti belakangan ini adalah masalah elektabilitas dari kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Jokowi-KH. Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi dari berbagai lembaga survei, dimana hampir semua lembaga survei yang di akui kredibilitasnya oleh KPU pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin masih unggul dibandingkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi.

Namun yang menarik adalah, justru dari BPN dan simpatisan Prabowo-Sandi tidak percaya dengan lembaga-lembaga survei sekarang, dan justru survei internal di kubu 02 yaitu  Prabowo-Sandi yang mereka percaya oleh internal mereka juga, dimana Prabowo-Sandi unggul dibandingkan nomor urut 01 Jokowi-KH. Ma'ruf Amin, pertanyaanya yang mana yang harus masyarakat percaya ?

Lembaga-lembaga survei apakah anti Prabowo-Sandi ? Jawabannya tentu tidak, hampir semua masyarakat di negeri ini tentu masih ingat pilpres 2014, dimana saat itu hampir semua lembaga survei yang sama pada saat ini yang di akui oleh KPU dimana survei-surveinya memenangkan Prabowo-Hatta, misalnya hasil survei Puskaptis Prabowo-Hatta unggul 52,05 % dari Jokowi-JK 47,95 %, Survei INES Prabowo-Hatta 54,3 % sedangkan Jokowi-JK 37,6 %, Survei Political Communication Institute Political (poccoMM) Prabowo-Hatta 46,8 %.

Sedangkan Jokowi-JK 45,3 %, maka secara elektabilitas di lembaga survei Prabowo menang, namun kenyataannya teryata tidak, artinya lembaga survei belum tentu 100 % benar, dan kiranya semua mengerti, bahwa 100 orang menjadi responden saja tentu tidak cukup mewakili dan merepresentasikan suara masyarakat Indonesia, tetapi tetap harus percaya, karena metodologi yang digunakan oleh lembaga survei sangat ilmiah dan metodologis, walaupun meleset tetapi tidak signifikan.

Pertanyaan terbalik, apakah kubu Jokowi-JK saat itu melontarkan opini ke masyarakat bahwa lembaga survei tidak boleh di percaya ? Tidak, karena di era demokrasi semua orang bebas beropini, berasumsi, silakan bersuara dengan cara masing-masing namun tetap pada adab dan etika demokrasi, namun kenyataannya sekarang adalah, justru kubu 02 mengskreditkan peran lembaga survei dan melempar opini bahwa lembaga-lembaga survei tersebut adalah bagian dari kaki tangan pemerintah, di biayai oleh pemerintah.

Seperti yang dilontarkan oleh Arief Poyuono salah satu BPN Prabowo-Sandi pada acara Narasi TV yang di pandu oleh Najwa Shihab, mengatakan "Jokowi Dodo adalah presiden versi 15 lembaga survei, sedangkan Prabowo presidennya Rakyat",  ini merunut juga dari pernyataan Wakil Ketua DPRD RI dari partai Gerindra Fadli Zon "Lebih hebat dukun dari pada lembaga Survei." 

Ini artinya secara tidak langsung kubu Prabowo-Sandi tidak percaya lembaga survei dan melontarkan di acara TV sehingga memiliki kesan mengajak masyarakat untuk tidak percaya lembaga survei, namun kenapa baru sekarang baru ada peryataan seperti itu, di tahun 2014 kenapa tidak membuat stagmen yang sama, Ya . . . , begitulah Politik. padahal orang-orang dibelakang lembaga-lembaga survei adalah orang-orang tingkat strata pendidikannya tidak di ragukan lagi.

PERAN MEDIA DI ALAM DEMOKRASI

Sumber : Buletinmitsal.Com
Sumber : Buletinmitsal.Com

Media memiliki peran penting dalam membumikan berita dan informasi, gagasan, visi, misi dan kinerja pemerintah dalam sebuah negara demokrasi, agar masyarakat bisa memahami tujuan dan maksud setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, setelah itu masyarakat akan mengerti dan menilai sejauh mana peran dan kinerja pemerintah, supaya di jadikan indikator dan evaluasi oleh masyarakat.

Namun bagaimana jika media kehilangan obyektifitasnya dalam memberikan sebuah berita dan informasi ? Tentu hal ini sangat di sayangkan, artinya para jurnalis  telah melanggar kode etik pers dan media yang di anutnya, namun lagi-lagi itulah kenyataan yang harus diterima di negara yang menganut sistem demokrasi, ketika kekuasaan menjadi tuhan, maka semua hal bisa di kendalikan, termasuk media.

Pilpres 2019 begitu kental terasa, peran media masa (elektronik, cetak, media sosial) mampu merubah stigma masyarakat, baik secara personal maupun kelompok, dari rasional menjadi tidak rasional, ditengah lajunya informasi tentu harus sedikit obyektif untuk menerimanya, karena jika kita mengkonsumsi secara utuh, maka kita akan terjebak dan ikut arus dari informasi yang kita dapat.

Hal ini mungkin saja tidak berlaku bagi kaum-kaum milenial, para pelajar dan anak-anak muda, dimana secara pengetahuan bisa lebih selektif menerima informasi yang di terima, namun bagaimana dengan emak-emak dari kampung yang gagap terhadap teknologi ? tentu mereka akan menerimanya secara mentah tanpa memahami sumber informasi yang di dapat, dan ini akan berbahaya dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial mereka, karena berujung pada radikalisme pemahaman dan fanatisme terhadap tokoh tertentu yang mengakibatkan retaknya persatuan dan kesatuan, namun hal ini tidak bisa kita menyalakan media sepenuhnya.

Dalam dunia politik, pilpres 2019 kali ini misalnya, masyarakat sulit menemukan media "Tidak Bebas Nilai", karena hampir semua media di tunggangi oleh kepentingan tertentu, Kita masih ingat pernyataan calon presiden dari nomor urut 02 beberapa bulan lalu, saat menghadiri peringatan hari disabilitas internasional di hotel Grand Sahid Jakarta, Rabu (5/2/2018), Prabowo menyinggung acara reuni 212 yang tidak ada media yang meliputnya " Mereka sudah tutup semua, buktinya hampir semua media tidak mau meliput 11 juta lebih orang berkumpul, belum pernah terjadi di dunia", lebih lanjut Prabowo mengatakan "Saudara-saudara, aku tiap hari ada kira-kira 5-8 koran yang datang ke tempat saya, mau lihat, bohong apa lagi nih, saya hanya mau lihat, bohong apa lagi yang mau mereka cetak".(detikNews).

Dan peryataan Prabowo tidak sampai disitu menyinggung media, pada saat menghadiri kampanye Akbar di danau Cimpago, kawasan pantai Padang, Sumatra barat, Selasa (2/4/2018), Prabowo mengatakan "Kalian bawa kamera ngeliput nggak ? Itu rakyat ambil juga atau jadi etok-etok ? Banyak media di Jakarta tidak jelas kerjanya, kerjanya membohongi rakyat Indonesia".

Pernyataan Prabowo ini seperti tersambar petir disiang bolong, bagaimana tidak, para awak media, pers dan jurnalis mensesalkan pernyataan tersebut harus keluar dari mulut seorang calon yang akan memimpin negeri ini, dimana sejak runtuhnya orde baru, para pelaku media begitu kreatif dalam menampilkan berita dan informasi, karena adanya kebebasan berpendapat, menyampaikan informasi walaupun tetap mematuhi kaidah-kaidah dan kode etik jurnalistik.

32 (tiga puluh dua) tahun masyarakat negeri ini terkunkung, di borgol hak bersuara, maka sejak orde baru runtuh, digantikan era reformasi maka perkembangan media di tanah air begitu pesat, namun apa yang disampaikan oleh Prabowo pada beberapa kesempatan yang lalu, seakan menegaskan jika Prabowo naik menduduki kursi nomor 1 di republik ini, maka kebebasan itu bisa saja di rampas kembali.

Namun pernyataan Prabowo yang sering menyinggung media dalam beberapa kesempatan dikritisi oleh koordinator divisi penelitian lembaga pusat kajian media dan komunikasi remotivi, Muhammad Heychael saat di wawancarai oleh TEMPO.COM "Ajakan Prabowo Subianto dan pendukungnya agar tak percaya dan tidak menghormati media massa dan jurnalis justru berbahaya, ini bukan pendidikan politik yang mendewasakan".Rabu (15/12/2018).

Menganalisis apa yang akan terjadi dikemudian hari,  harus dilakukan oleh masyarakat saat ini, agar kita tidak salah memilih pemimpin, ditambah lagi opini yang berkembang di masyarakat, terutama dari pendukung dan simpatisan Prabowo-Sandi yang mengatakan hanya TV One yang harus di percaya sebagai media informasi atau berita yang falid dan kredibel.

Asumsi ini mungkin wajar, karena beberapa media atau Chanel Televisi, seperti Metro TV, RCTI, MNC TV, Global TV, INews TV pemiliknya adalah pendukung pasangan nomor urut 01 Jokowi-KH. Ma'ruf Amin, yaitu Suryah Paloh (Pimpinan Partai NASDEM), Hary Tanoesoedibjo (Pimpinan Partai Perindo), sehingga dari kubu 02 secara terang-terangan media televisi tersebut dalam menyajikan berita tidak berimbang  dan berpihak, dimana lebih banyak menampilkan berita dan capaian-capaian presiden Jokowi Dodo selama ini,  maka beberapa waktu silam salah satu BPN ingin memboikot METRO TV.

Pertanyaan selanjutnya, apakah TV One benar-benar netral dan obyektif menyajikan berita dan informasi ? Tentu jawabannya juga tidak, melihat media-media saat ini sungguh naif bila kita tidak melihat siapa di belakang media tersebut, TV One dikendalikan oleh keluarga Bakrie, karena saham atau kepemilikan TV One dipegang oleh keluarga Bakrie, muncul lagi pertanyaan, tapikan Aburizal Bakrie orang Golkar, dan saat ini Golkar adalah salah satu partai pengusung dan pasang badan untuk kemenangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin.

Menarik ! Persahabatan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie tentu tidak mudah lentur hanya karena keberpihakan partai tempat bernaungnya Aburizal Bakrie sekarang, bisa kita tengok di pilpres 2014 silam, bagaimana Aburizal Bakrie pada saat itu selalu mendampingi Prabowo dimanapun titik kampanye Prabowo dilaksanakan, ibarat dua sisi mata uang atau mungkin dalam istilah politiknya sebagai tangan kanan (hehehehe), maka sampai saat inipun, Golkar boleh berpihak ke kubu 01, tetapi tidak dengan Aburizal Bakrie secara personal, selain dengan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie juga sangat dekat dengan Sandiaga Uno, karena sama-sama sebagai pengusaha.

Menengok kembali sisi lain TV One tahun 2014, dimana saat itu selalu memberitakan hasil survei dari lembaga-lembaga survei yang hasilnya Prabowo-Hatta selalu unggul dibandingkan Jokowi-JK, dan itu berlanjut sampai pada hasil quick count  (perhitungan cepat) dimana Prabowo-Hatta selalu unggul dari beberapa lembaga survei, itu berita yang di sampaikan oleh TV One, sampai pada saat itu, Prabowo, Hatta, Aburizal Bakrie dan tim suksesnya sujud syukur atas kemenangannya, namun kenyataannya ? Tentu kita tau semua.

Hampir semua media tevisi sekarang jika menampilkan berita pilpres sangat sulit kita menilainya obyektif, maka kitalah yang harus obyektif dan selektif dalam memilih informasi yang kita nonton atau terima, termasuk TV One sangat di ragukan, misalnya pada saat Reuni 212 beberapa bulan lalu, TV One mengabarkan bahwa masyarakat yang hadir di Monas pada saat itu sekitar 11 juta, namun kenyataanya Monas dan sekitarnya hanya cukup menampung masyarakat sekitar 700.000 ribu orang, belum sampai di situ, TV One lagi-lagi bias, dimana kampanye Prabowo Sandi pada tanggal 7 April yang lalu di stadion GBK Senayan Jakarta di hadiri 1 juta orang, padahal secara matematis, stadion GBK berdasarkan jumlah kursi hanya mampu menampung 78 ribu orang ditambah di area lapangan rumput, Trek Atletik  13 ribu meter persegi, bila dikalkulasikan sekitar 114.000 ribu orang yang hadir dengan diluar stadion.

Lagi-lagi apakah TV One obyektif ? Jawabannya lagi TIDAK ! karena media televisi sebesar TV One yang saluran Chanelnya sampai ke pelosok negeri tentu tidak mungkin salah membuat berita (versi mereka), pasti melalui setingan dan hitung-hitungan rating yang berujung pada kepentingan dan finansial, maka tidak heran hanya TV One yang memberitakan Reuni 212 dan kampanye Prabowo Sandi di stadion GBK Senayan Jakarta, maka sekarang STOP mengatakan TV One Netral dan Obyektif !

Namun dari semua itu kembali kepada diri kita masing-masing, dan yang menjadi catatan adalah, jadilah pemilih yang rasional, memilih pemimpin yang jelas rekam jejaknya, maka "Memilih pemimpin bukan dilihat dari bentuk fisiknya, namun di lihat dari REKAM JEJAKNYA (WIM POLI)".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun