Mohon tunggu...
Bing Sunyata
Bing Sunyata Mohon Tunggu... Teknisi - Male

Pekerja di sebuah industri percetakan kertas (packaging) Tanggal lahir yang tertera disini beda dengan yang di KTP, begitu juga dengan agama. :) Yang benar yang tertera disni. Mengapa KTP tidak dirubah ? Satu aja ..., malas kalau dipingpong.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Negari Para Bodhi dan Naga (Hal. 7)

1 Agustus 2017   20:14 Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:19 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Halaman 6 ...

"Anda kemudian menyerah ?", tanya si Parmin.

Tu menggoyangkan tangan kirinya men-charge DeWe yang ia kenakan. Piranti yang dimilikinya itu tiada lagi menggunakan baterai konvensional sebagai sumber energi, tetapi telah menggunakan pembangkit daya dari sistem kinetik dan dikombinasikan dengan penyerap energi chi. Ia kemudian sepintas melihat angka-angka digit penunjuk waktu yang tertera. Bukan disebabkan karena ia ingin tahu kepastian waktu, namun sekedar untuk mengisi jeda saat ia berpikir mengenai jawaban yang akan ia utarakan. Akhirnya serentetan kalimat pun ia utarakan."Lebih tepat bila dikatakan sebagai amarah". "Tetapi ... marahnya kepada diri sendiri". "Sekaligus juga menyesalkan mengapa saya tidak mampu berbuat lebih banyak".

"Marah dan menyesali diri sendiri", Parmin mengulang perkataan Tu. "Uhmmm, memang bukan cuma satu hal yang dapat menyebabkan seseorang bisa memenuhi persyaratan yang ada, dan kiranya kita melihat salah satunya", kata si Parmin sambil menoleh ke Eliana.

Yang diajak bicara pun kemudian seakan tersadar oleh sesuatu, dan kemudian mengangguk tanda mengerti.

"Jadi anda kesana untuk liburan, atau sebutlah refreshing pikiran atau untuk hal lainnya ?", tanya Parmin lagi.

"Saya ingin tinggal disana", jawab si Tu dengan mantap. "Tenaga saya mungkin akan lebih berguna". "Juga pengetahuan saya terkait kondisi disini, mungkin dapat dijadikan bahan pemikiran agar kondisi yang serupa tidak akan terjadi disana nantinya", imbuh si Tu.

"Tidakkah anda ingin menyelamatkan kapal itu ?", tanya Eliana.

"Kiranya saya sudah mencapai suatu batasan, yang mana dengan apa yang ada dalam diri saya sekarang, tiada lagi yang dapat saya lakukan untuk menembus batasan tersebut", tegas si Tu.

"Bila di waktu ke depan anda mempunyainya ?", Eliana bertanya lebih lanjut.

"Mungkin, ... mungkin, tetapi tenaga dan pikiran tentunya saat itu akan sepenuhnya telah terfokus disana", jawab si Tu sambil menerawang jauh. Ia kemudian meletakkan kedua tangan dibelakang kepala sambil menggeliatkan badannya (mulet). "Lagipula tiada lagi aku mempunyai satu ikatan dengan tanah ini, tiada saudara berikut ayah bunda yang akan menanti disini", Tu berkata dalam hatinya. "Lagipula aku harus memikirkan usia dan masalah waktu jua", katanya kepada Eliana. 

"Akan konyol kiranya, bila disana aku menemukan suatu ide yang membuat aku berpikir bahwa itu akan dapat memecahkan masalah yang disini, dan kemudian pulang, dan kemudian mendapati bahwa masalah yang menurutku bisa dipecahkan telah berkembang sedemikian rumitnya, dimana itu tidak lagi dapat terpecahkan dengan ide yang aku bawa dari sana",  katanya lebih lanjut.

Seseorang wanita masuk, kedalam ruangan. Tampak sederhana, bahkan kalau dibilang terlihat anggun dengan blazer berwarna hitam berstrip biru yang ia kenakan. Namun terlihat kontras sekali dengan orangnya ... sehingga membuatnya menjadi penarik perhatian adalah boneka naga berwarna pink berukuran besar (hampir seukuran anak umur 8-9 tahun) yang dibawanya. Boneka itu kemudian ia letakkan menyandar  di dinding, dan kemudian ia sendiri kemudian duduk di sebuah kursi bersebelahan dengan Eliana.

Itu rupanya membuat perhatian si Tu menjadi teralihkan. "Err..., aku tidak tahu kalau kita diperbolehkan membawa hewan kesayangan", tanya si Tu kepada Parmin dengan raut muka bercanda. Sifat usilnya mungkin sedang kumat lagi.

Parmin tersenyum geli, sambil menggeleng. Sedangkan Eliana menutup mulutnya dengan tangan, walau itu tidak dapat menyembunyikan senyum lebarnya.

Wanita yang baru masuk itu sambil menyamankan duduknya, menyadari apa yang dimaksud oleh Tu. "Oh itu adalah kado untuk keponakan saya, perkenalkan nama saya Rachel", ia berkata sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Hai, saya Parmin"

"Saya, Eliana"

"Tu"

Masing-masing memperkenalkan dirinya. Cuma ketika Tu memperkenalkan diri, itu membuat si Rachel tampak sesaat terlihat menunggu sesuatu ... yang tak kunjung tiba.

Parmin mengetahui reaksi yang ditampilkan oleh Rachel. Sambil menahan senyum, ia bertanya kepada Tu. "Tu, apakah selama ini engkau tidak pernah mengalami persoalan dengan nama yang kau miliki ?" "Jadi bahan gojlokan, bullying, atau lainnya ?", imbuhnya.

"Kalau jadi bahan gojlokan, mah ... sering". "Tetapi karena itu pada dasarnya adalah bercanda, saya tidak pernah mengalami suatu masalah karenanya", sahutnya sambil tersenyum lebar yang menampakan gingsul giginya. "Kalau korban bullying, 'nggak pernah". "Mungkin karena nama yang saya miliki, saya kemudian ditempatkan pada posisi yang terlampau rendah walaupun sekedar untuk di bully", tambahnya. Raut mukanya berubah sedikit dingin tatkala mengatakannya.

"Terlampau rendah ?", Parmin secara berhati-hati mengutarakan pertanyaannya. Ia tidak ingin menggugah lebih lanjut sesuatu yang tampak hadir saat itu pada diri Tu.

"Ada hubungannya dengan rasa iri yang ada dalam diri tiap manusia, begitu pula terkait dengan keinginan untuk menjadi setara atau lebih lagi menjadi seorang jawara". "Seseorang membully orang lainnya bisa disebabkan orang itu ingin menjadi setidaknya setara dengan yang di bully, atau bisa juga karena orang itu iri dengan status dari korbannya". "Hal itu bisa juga terjadi atau didukung oleh adanya fakta yang diakui dari pihak pembully itu sendiri bahwa dirinya tidak mempunyai cukup kemampuan yang dapat membuat ia dapat menyetarakan ataupun melebihi status dari korbannya", urai si Tu.

"Wow, anda seorang pengamat dalam bidang sosial rupanya", ungkap Eliana. "Seorang pemerhati atau ..." 

"Hanya seorang penimba air dari kapal nan penuh dengan lubang", tukas si Tu.

"Yang sedang berlayar diterangi cahaya mentari, dibawah langit nan biru dan beralun seiring ombak", Parmin menambahkan dengan nada setengah bercanda.

"He he he ...", si Tu tertawa. Raut muka nakal, tak akan dapat disembunyikannya kala itu.

"Pernah punya keinginan untuk berganti nama ?", Rachel mendadak turut angkat bicara. Ia rupanya terbawa suasana positif pada saat itu.

"Pernah juga sih, tetapi tidak pernah saya pikirkan lebih lanjut secara serius", jawab Tu.

"Nama apa yang kau inginkan sekiranya kau mengganti nama ?", Parmin menukas.

"Su", jawab si Tu.

Bersambung ...

Peeeace 4 all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun