Mohon tunggu...
Bima Riandy Tarigan
Bima Riandy Tarigan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Seorang mahasiswa Ilmu Politik yang bercita-cita jadi Presiden RI dan memiliki hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kondisi Ketahanan Demokrasi di Indonesia

25 Juni 2022   19:41 Diperbarui: 25 Juni 2022   19:41 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Demokrasi sampai saat ini masih dianggap bentuk atau sistem pemerintahan paling ideal. Melalui demokrasi orang-orang berharap banyak dan menguntungkan mereka. Demokrasi dianggap dapat mengurangi ketidak adilan, melindungi kebebasan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal itu menjadikan demokrasi sebagai pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak umum karena demokrasi menekankan kepada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas. 

Namun, banyak warga negara yang kecewa ketika melihat realita bahwa demokrasi tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi mereka. Bahkan banyak kasus negara yang mengatakan demokrasi namun ketidakadilan merajalela, pembangunan ekonomi tidak kunjung meningkat bahkan cenderung merosot, korupsi kian marak, kriminalitas semakin berani, angka kemiskinan terus meningkat. Selain itu banyak negara demokrasi yang cenderung meminggirkan kelompok-kelompok minoritas. Namun ternyata, berlaku sebaliknya bahwa terdapat negara non demokrasi yang pertumbuhan ekonominya bagus, dan lebih positif dalam beberapa hal. 

Saat ini demokrasi menjadi acuan oleh berbagai negara di dunia, dengan Amerika Serikat sebagai puncak dan wajah demokrasi dunia yang dianggap sebagai negara dengan kualitas demokrasi tertinggi di dunia. Data dari International Ideal (2019) menyatakan bahwa lebih dari setengah negara-negara di dunia telah  menganut sistem demokrasi (62 persen atau 97 negara dari 157 negara yang masuk dalam penilaian International Idea). Demokratisasi yang menyebar begitu cepat ke seluruh belahan dunia menjadi tanda bahwa demokrasi menjadi bentuk pemerintahan yang ideal dan cocok bagi hampir seluruh negara di dunia. 

Eksistensi yang kian memuncak dari penyebaran demokrasi dan demokratisasi yang berlangsung di berbagai negara di dunia khusunya negara berkembang seperti Indonesia, tak lepas dari kekalahan ideologi komunisme Uni Soviet pada tahun 1989 yang mengakhiri perang ideologi antara liberalisme (demokrasi) dan komunisme. Demokrasi yang terus berproses sampai saat ini tidak serta merta memuluskan jalannya demokratisasi tersebut. Terdapat tantangan-tantangan demokrasi yang menyebabkan mundurnya demokrasi di dunia termasuk di Indonesia.

Kejatuhan Presiden Soeharto tidak lantas menjadikan sistem politik di Indonesia sepenuhnya melaksanakan gaya politik demokratis. Hal ini dikarenakan kekuasaan Soeharto yang didukung oleh basis politik kuat, yang mana salah satunya, bersumberkan dari kekuatan koalisi politik dominan. 

Oleh karenanya, peristiwa 1998 yang dialami oleh Presiden Soeharto seakan menunjukan kejatuhan kekuasaannya tidaklah diikuti dengan kejatuhan basis politik yang telah mengakar. Lebih daripada itu, kroni-kroni Soeharto pasca kejatuhan 1998 justru telah berhasil mengisi sektor-sektor strategis dalam pemerintahan yang baru. Faktor ekonomi juga masih banyak diisi oleh rekan bisnis dari Soeharto yang mana nantinya sangat menentukan proses pemulihan ekonomi yang terjadi pasca 1998. 

Masalah rezim orde baru yang belum dapat dituntaskan sampai ke akar-akarnya menjadi salah satu tantangan yang menyebabkan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi budaya di Indonesia yang sampai saat ini sulit diberantas.

Selain budaya politik dari sisa-sisa pemerintahan Orde Baru, munculnya kolonialisme baru atau Neo-Colonialisme yang menyerang negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia juga menjadi tantangan untuk demokrasi. Neo-kolonialisme merupakan istilah yang diciptakan oleh pemimpin-pemimpin negara dunia ketiga yang menemukan bahwa kedaulatan serta kemerdekaan yang mereka dapatkan secara hukum dan konstitusional tidak memberikan hak dan kebebasan total kepada pemerintahan dari negara mereka. neo-kolonialisme merupakan penjajahan jenis baru dimana menggunakan kontrol politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan negara-negara di dunia ketiga tidak mendapatkan kebebasan ataupun kemerdekaan politik serta masih terjadi ketergantungan ekonomi. 

Neo-kolonialisme beroperasi dengan berbagai cara, tidak hanya melalui kelompok penekan namun juga menyusup kedalam pangkalan militer, penasihat, propaganda media, dan lainnya. Bisa dilihat dalam militer, ketergantungan negara dunia ketiga terhadap senjata, pelatihan, dan doktrin dasar militer merupakan bentuk neo-kolonialisme yang sangat terlihat. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi demokrasi, karena urusan internal negara bukan lagi menjadi kedaulatan rakyat (melalui eksekutif dan legislatif), namun terdapat tangan lain yang ikut campur yang mana sangat memungkinkan mengotak-atik perjalanan demokrasi Indonesia.

Kemudian terkait tindakan pemerintah yang mencederai kebebasan berpendapat juga harus diwaspadai. Kebebasan berpendapat menjadi salah satu tolak ukur negara demokrasi. Di Indonesia sendiri Kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan ekslusif bagi tindakan politik di Indonesia. 

Intimidasi dan tindakan kekerasan masih menjadi sarana dominan. Selain itu, Kekerasan tidak hanya digunakan oleh politikus atau kelompok premanisme untuk memonopoli namun kekerasan juga dihalalkan oleh beberapa kelompok yang mengatas namakan tatanan moral. Tindak kekerasan dan intimidasi yang membuat masyarakat takut untuk bersuara juga dapat merusak proses demokrasi yang telah berlangsung. 

Lalu saat ini juga terjadi polarisasi yang begitu kental di Indonesia. Hal ini merupakan sisa-sisa dari pemilu presiden 2019. pemilu (serentak) tahun ini merupakan pemilu dengan gejolak tertinggi sejak zaman reformasi. Ketegangan-ketegangan antar partai politik, calon legislatif maupun presiden dan wakil presiden, bahkan antar masyarakat tidak dapat dihindari. Ketegangan dan gejolak ini menimbulkan perpecahan antara dua kubu yang masing-masing mendukung pasangan calon nomor urut 01 dan 02. 

Sampai saat ini pemerintah juga belum mampu meredam gejolak pemilu serentak ini. Bahkan pemerintah di beberapa waktu memancing percikan-pecikan gejolak yang berujung perpecahan. Para tokoh agama yang seharusnya mendamaikan dan menyejukkan kontestasi pemilu serentak ini malah ikut dalam politik praktis yang tentu saja menimbulkan kebingungan sehingga konflik agama juga masuk kedalam pemilu serentak ini. Polarisasi ini masih terasa sampai sekarang yang menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia.

Saling menghina dan menjelekkan, saling menolak pendapat yang lain, sampai ketahap pengucilan yang hal itu semua menjadi penyebab munculnya konflik-konflik horizontal. Polarisasi ini juga mempengaruhi kemunduran demokrasi.

Kemunduran proses demokratisai ini tentu saja menjadi evaluasi bagi bangsa Indonesia, khususnya pemerintah yang memiliki wewenang atau kewajiban untuk terus mengembangkan proses demokratisasi di Indonesia. Hal -- hal yang terjadi selama periode 2018 sampai 2019 merupakan cikal bakal dari pemerintahan yang otoriter (meskipun masih sangat jauh), pemerintahan yang takut atas kritik, pemerintahan yang takut atas kebebasan pers dan berpendapat baik dalam bentuk kritik melalui media sosial maupun melalui pengumpulan massa. 

Pada intinya benar apa yang dikatakan seorang sosiolog Larry Diamond bahwa demokrasi di negara-negara di dunia ini cenderung menurun dan tidak menuju ke demokrasi penuh. Banyak negara transisi yang terjebak di zona abu-abu yang mana secara formal menerapkan demokrasi namun di sisi yang lain mencederai demokrasi. 

Hal ini tentu saja merusak resiliensi demokrasi . Maka dari itu mengambil masukan dari seorang ilmuwan politik Carothers, kita harus mengubah paradigma kita bahwa sebagian besar negara di dunia tidak sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi. Kita harus mengakui hal ini terlebih dahulu untuk memperkuat resiliensi demokrasi. Karena ketika kita berbicara tentang resiliensi demokrasi itu seperti perumpamaan sebuah tubuh manusia sebagai demokrasi dan daya tahan tubuhnya sebagai resiliensi demokrasi. 

Agar daya tahan tubuh baik maka kita harus melihat dan jujur terhadap diri kita apakah kita sedang sakit atau tidak. Jika tidak maka kita harus mempertahankan daya tahan tubuh kita dengan menjauhi sumber-sumber penyakit, namun jika kita sedang sakit maka kita harus mencari tahu apa faktor yang menyebabkan kita sakit sehingga setelah itu kita dapat mengobati penyakit tersebut dengan obat yang tepat. 

Begitupula resiliensi demokrasi, yang pertama dilakukan adalah meyakini bahwa demokrasi tidak akan selalu menuju ke depan namun ada kemungkinan untuk mundur. Ketika demokrasi mengalami kemunduran maka kita harus mencari tahu faktor-faktor yang menyebabkan demokrasi tersebut mengalami kemunduran. Setelah itu kita atasi faktor-faktor tersebut.

Civil society juga menjadi unsur penting dari resiliensi demokrasi. Saat ini bukan hal yang tidak mungkin dalam suatu rezim tidak ada partai politik yang mejadi pihak oposisi. Politik bagi-bagi kursi merupakan hal yang sering terjadi di negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia. 

Maka dari itu masyarakat sipil harus kuat sehingga dapat teguh menjadi oposisi sejati meskipun tidak ada partai politik yang mendukung. Masyarakat sipil harus kuat secara intelektual dan budaya sehingga tidak terbodohi oleh manipulasi rezim yang dikuasai oleh oligarki. 

Masyarakat harus paham apa itu demokrasi sehingga ketika terdapat pelanggaran demokrasi masyarakat akan melawan dan bersatu menghadapinya. Seperti politik uang yang saat ini terjadi bahkan di tahap pemilihan kepala desa. 

Semua masyarakat Indonesia pasti tahu bahwa Indonesia adalah negara demokrasi tetapi mereka membiarkan dan terbiasa hidup dengan politik uang. Saat ini banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa politik uang merupakan bagian dari kampanye dan pemilu. 

Hal ini terjadi selain karena kebutuhan mereka terhadap "ekonomi" tetapi juga karena budaya demokrasi mereka yang tidak kuat dan kurang. Maka dari itu civil society dan budaya demokrasi rakyat harus diperkuat sehingga kita dapat hidup berdemokrasi secara maksimal dan melawan praktik-praktik yang bertentangan dengan demokrasi.

Pada intinya solusi untuk memperkuat ketahanan atau resiliensi demokrasi adalah pembenahan tata kelola infrastruktur dan suprastruktur negara, kesejahteraan rakyat agar berpendidikan dan kritis terhadap jalannya pemerintahan dan perpolitikan Indonesia, dan yang terakhir adalah pengutana civil society.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun