Lalu saat ini juga terjadi polarisasi yang begitu kental di Indonesia. Hal ini merupakan sisa-sisa dari pemilu presiden 2019. pemilu (serentak) tahun ini merupakan pemilu dengan gejolak tertinggi sejak zaman reformasi. Ketegangan-ketegangan antar partai politik, calon legislatif maupun presiden dan wakil presiden, bahkan antar masyarakat tidak dapat dihindari. Ketegangan dan gejolak ini menimbulkan perpecahan antara dua kubu yang masing-masing mendukung pasangan calon nomor urut 01 dan 02.Â
Sampai saat ini pemerintah juga belum mampu meredam gejolak pemilu serentak ini. Bahkan pemerintah di beberapa waktu memancing percikan-pecikan gejolak yang berujung perpecahan. Para tokoh agama yang seharusnya mendamaikan dan menyejukkan kontestasi pemilu serentak ini malah ikut dalam politik praktis yang tentu saja menimbulkan kebingungan sehingga konflik agama juga masuk kedalam pemilu serentak ini. Polarisasi ini masih terasa sampai sekarang yang menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia.
Saling menghina dan menjelekkan, saling menolak pendapat yang lain, sampai ketahap pengucilan yang hal itu semua menjadi penyebab munculnya konflik-konflik horizontal. Polarisasi ini juga mempengaruhi kemunduran demokrasi.
Kemunduran proses demokratisai ini tentu saja menjadi evaluasi bagi bangsa Indonesia, khususnya pemerintah yang memiliki wewenang atau kewajiban untuk terus mengembangkan proses demokratisasi di Indonesia. Hal -- hal yang terjadi selama periode 2018 sampai 2019 merupakan cikal bakal dari pemerintahan yang otoriter (meskipun masih sangat jauh), pemerintahan yang takut atas kritik, pemerintahan yang takut atas kebebasan pers dan berpendapat baik dalam bentuk kritik melalui media sosial maupun melalui pengumpulan massa.Â
Pada intinya benar apa yang dikatakan seorang sosiolog Larry Diamond bahwa demokrasi di negara-negara di dunia ini cenderung menurun dan tidak menuju ke demokrasi penuh. Banyak negara transisi yang terjebak di zona abu-abu yang mana secara formal menerapkan demokrasi namun di sisi yang lain mencederai demokrasi.Â
Hal ini tentu saja merusak resiliensi demokrasi . Maka dari itu mengambil masukan dari seorang ilmuwan politik Carothers, kita harus mengubah paradigma kita bahwa sebagian besar negara di dunia tidak sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi. Kita harus mengakui hal ini terlebih dahulu untuk memperkuat resiliensi demokrasi. Karena ketika kita berbicara tentang resiliensi demokrasi itu seperti perumpamaan sebuah tubuh manusia sebagai demokrasi dan daya tahan tubuhnya sebagai resiliensi demokrasi.Â
Agar daya tahan tubuh baik maka kita harus melihat dan jujur terhadap diri kita apakah kita sedang sakit atau tidak. Jika tidak maka kita harus mempertahankan daya tahan tubuh kita dengan menjauhi sumber-sumber penyakit, namun jika kita sedang sakit maka kita harus mencari tahu apa faktor yang menyebabkan kita sakit sehingga setelah itu kita dapat mengobati penyakit tersebut dengan obat yang tepat.Â
Begitupula resiliensi demokrasi, yang pertama dilakukan adalah meyakini bahwa demokrasi tidak akan selalu menuju ke depan namun ada kemungkinan untuk mundur. Ketika demokrasi mengalami kemunduran maka kita harus mencari tahu faktor-faktor yang menyebabkan demokrasi tersebut mengalami kemunduran. Setelah itu kita atasi faktor-faktor tersebut.
Civil society juga menjadi unsur penting dari resiliensi demokrasi. Saat ini bukan hal yang tidak mungkin dalam suatu rezim tidak ada partai politik yang mejadi pihak oposisi. Politik bagi-bagi kursi merupakan hal yang sering terjadi di negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia.Â
Maka dari itu masyarakat sipil harus kuat sehingga dapat teguh menjadi oposisi sejati meskipun tidak ada partai politik yang mendukung. Masyarakat sipil harus kuat secara intelektual dan budaya sehingga tidak terbodohi oleh manipulasi rezim yang dikuasai oleh oligarki.Â
Masyarakat harus paham apa itu demokrasi sehingga ketika terdapat pelanggaran demokrasi masyarakat akan melawan dan bersatu menghadapinya. Seperti politik uang yang saat ini terjadi bahkan di tahap pemilihan kepala desa.Â