Senja telah datang, langit dipenuhi oleh warna oranye indah dan sinar matahari yang mulai menghilang. Angin sepoi-sepoi bertiup melewati sebuah desa kecil yang sederhana. Hasan sedang duduk di bawah pohon kesukaannya sambil menatap dengan serius ke dalam hutan lebat yang mengelilingi desanya. Ari, sahabat Hasan dari kecil, berjalan mendekatinya.
"San, mau teh gak?" tanya Ari.
"Eh, Ari, boleh boleh. Makasih ya," jawab Hasan.
Hasan meminum seteguk teh dari cangkir kecilnya berbahan kayu yang dibuat sendiri oleh Ari.
"Ri, kamu pernah mikirin gak, di luar desa kita ada apa?" tanya Hasan.
"Hutan?" jawab Ari dengan tidak yakin sambil ia duduk di sebelah Hasan.
"Di luar hutan ada apa lagi?" tanya Hasan kembali.
"Gak tahu aku, hutan lebih lebat lagi kali." jawab Ari dengan bercanda. "Kenapa emang, San?"
"Aku lagi mikirin apa isi hidup kita cuma desa ini saja? Kita gak pernah keluar dari sini, palingan masuk sedikit ke hutan doang untuk berburu," jawab Hasan.
"Kamu mau keluar jadinya?" tanya Ari.
"Belum tahu aku, tapi aku mau cari tahu di luar desa ada apa," kata Hasan.
"Apa gak bahaya keluar desa?" tanya Ari dengan khawatir. "Orang tua kita saja dari kecil sudah bilang jangan coba-coba keluar."
"Iya sih," jawab Hasan. "Tapi itu kan memang sudah bagian dari tugasnya, orangtua mana yang mau lihat anaknya hilang di dalam hutan."
"Bukannya kamu sudah nyaman di sini?" tanya Ari lagi. "Kita sudah ada semuanya di sini. Ada rumah, setiap hari bisa makan, ada tetangga-tetangga yang baik," kata Ari. "Lihat tuh, ada anak-anak kecil yang lagi main layang-layang tanpa rasa khawatir. Mereka bisa gitu karena keamanan yang ada di desa ini."
"Tapi apa kamu rasa puas kalau yang kamu tahu cuma desa ini saja?" bantah Hasan. "Kita gak tahu apa-apa tentang dunia ini, kita gak tahu di luar sana gimana, kita gak tahu kehidupan lain gimana, apa kamu gak mau tahu?"
"Ya mau," jawab Ari dengan tegas. "Tapi apa sepadan kalau kita harus ninggalin semua yang ada di desa kita? Lebih parahnya mungkin kita bisa mati."
"Itu yang lagi aku pikirin," jawab Hasan sambil meminum seteguk teh lagi. "Ri, kamu mau coba keluar gak besok pagi?"
"Besok pagi? Gila kamu!" jawab Ari dengan kaget. "Kita saja belum ada persiapan apa-apa."
"Tenang, itu biar aku saja. Ini bukan pertama kali aku berpikiran untuk keluar desa," jawab Hasan untuk meyakinkan Ari.
"Memang gila kamu ya, masih sama saja dari dulu. Tapi ya sudah lah aku ikut, daripada kamu pergi sendirian," kata Ari.
"Hahaha, makasih, Ri." Hasan tertawa.
Hasan dan Ari pulang ke rumahnya masing-masing dan bersiap untuk esok hari. Hasan pergi ke pandai besi desa dan membeli segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perjalanannya. Ari pergi ke sawah untuk menyiapkan makanan dan minuman yang cukup selama mereka di luar.
Matahari pun terbit, Hasan dan Ari berkumpul dan mengucapkan selamat tinggal pada keluarga dan teman-temannya sebelum pergi. Mereka menatap tempat tinggal tercintanya untuk terakhir kali sebelum berputar balik memasuki hutan. Saat mereka menginjakkan kaki pada hutan yang luas dan dalam, suara obrolan ceria desa mulai hanyut dan suara keheningan yang sepi mulai terdengar.
"San, kamu sudah ada rencana belum untuk perjalanan ini?" tanya Ari dengan sedikit khawatir.
"Belum, kita ikuti kemana angin bertiup saja," jawab Hasan.
"Makasih, San. Sangat meyakinkan," kata Ari.
"Tapi kalau tujuan akhir kita keluar hutan, cara yang terbaik palingan jalan lurus sejauh mungkin dimulai dari desa, tanpa belok-belok," jelas Hasan. "Kita juga gak sendiri kan, saling jaga saja."
"Oke, oke, masuk akal. Ya sudah, pimpin jalannya, San." kata Ari.
Mereka pun memulai perjalanannya di hutan rimbun ini. Ranting-ranting yang menghalang dipotong oleh pisau yang tajam, sungai-sungai deras diseberangi, Â dengan rehat sejenak di antaranya untuk makan dengan persediaan yang dibawa. Setelah malam mulai muncul, rasa letih di kaki pun mulai terasa. Hasan dan Ari memutuskan untuk berhenti dan tidur.
"Ahh, akhirnya bisa istirahat," kata Hasan dengan lega sambil ia mulai duduk.
"Kakiku rasanya sudah mau putus!" balas Ari sambil ia mencoba menyalakan api unggun. "Nah, kebakar juga akhirnya."
"Nih, mau makan gak?" tanya Hasan.
"Ah enak tuh, makasih, San." jawab Ari.
"Haaa... Ngantuk banget aku," kata Hasan sambil menguap. "Habis makan aku mau langsung tidur ya."
"Oke. Kita ganti-gantian saja tidurnya, biar selalu ada yang jaga," ujar Ari.
"Iya, paling aman kayaknya begitu," Hasan mengangguk. "Kamu gak apa-apa aku tidur duluan?"
"Iya gak apa-apa, mataku juga masih melek lebar," jawab Ari.
"Makasih ya, Ri," kata Hasan. "Kalau kamu sudah rasa ngantuk, bangunin aku saja."
Malam pun berlalu. Hasan dan Ari penuh dengan energi lagi setelah tidur. Mereka lanjut melintasi hutan yang rasanya semakin luas dan membingungkan seiring mereka menjelajah lebih dalam. Matahari susah memancarkan sinarnya dengan pohon-pohon yang semakin besar dan tebal. Hasan dan Ari berjalan lebih hati-hati daripada kemarin. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, bulan pun terlihat lagi dan malam hari tiba.
"Gantian ya, Ri," ujar Hasan. "Kamu tidur duluan saja hari ini."
"Gak apa-apa? Makasih ya kalau begitu," balas Ari.
Ari mulai tidur di samping api yang hangat dan Hasan yang sedang bersandar di pohon pun ditinggal sendiri untuk tugas jaga.
"Hutan ini akan ada habisnya gak ya?" tanya Hasan pada dirinya sendiri. "Apa di luar hutan benar gak ada apa-apa? Mungkin benar kali apa yang dibilang Ari, untuk apa keluar desa kalau semuanya sudah ada di situ. Ayah dan ibu pasti juga punya alasan kenapa kita dilarang keluar. Aduh, aku ngapain bawa Ari juga. Kalau aku sendiri yang mati di sini tidak masalah, lah. Ah, nggak nggak! Mikir kaya gitu cuma menghambat perjalanan saja," Hasan meluruskan pikirannya lagi.
"Hah, apaan itu?" Hasan mendengar suara jejak kaki di sekitar tempat istirahatnya. Terdengarnya seperti langkah kaki yang berat, tetapi geraknya tidak cepat. Suara daun kering di tanah yang terinjak terdengar sambil ia jalan. Napasnya yang pelan terdengar pula di malam yang sunyi.
"Ari, Ri, bangun, Ri," bisik Hasan sambil menggoyang-goyangkan Ari.
"Hah, ada apaan?" tanya Ari yang masih setengah tidur. "APAAN ITU?!" teriak Ari saat ia melihat sebuah macan yang sedang berjalan tidak jauh darinya.
"Shhh, jangan keras-keras!" perintah Hasan. "Dia belum melihat kita kayaknya. Kita harus pindah tempat. Jangan lupa bawa perlengkapan kita."
Hasan dan Ari mulai berkemas-kemas dan bersiap untuk pergi. Saat Hasan memasuki barang-barang ke tasnya, ada satu yang jatuh ke tanah dan mengambil perhatian Si Macan. "Grrr," Si Macan menengokkan kepalanya ke arah Hasan dan Ari dan mulai berjalan menujunya. "Lari, Ri!" teriak Hasan. Mereka berdua lari sekuat tenaga mereka, tetapi Si Macan masih terus tidak lelah mengejarnya.
"Ah!" teriak Ari saat ia tersandung sebuah ranting. "Ari!" Hasan langsung menuju Ari dan menghadap Si Macan. "Mundur! Mundur, kamu!" ujar Hasan sambil melambai-lambaikan pisaunya.
"Nah! Kakiku sudah lepas, ayo, San," kata Ari dengan terburu-buru
Ari berdiri dan mulai berlari sekuat tenaga lagi. Sebelum menyusul Ari, Hasan melemperkan pisaunya dengan keras ke Si Macan dan berhasil mengenakan kepalanya.
"Huft... Huft... Sudah lepas belum kita?" tanya Ari dengan ngos-ngosan.
"Huft... Sudah kayaknya," jawab Hasan sambil menaruhkan tangannya ke pohon untuk bersandar. "Aduh! Tas makan kita gak aku bawa," rasa panik mulai masuk ke diri Hasan, badannya langsung lemas dan kemudian ia duduk di samping pohon. "Maaf banget ya, Ri, maafin semuanya, aku yang bawa kamu ke hutan sialan ini, gara-gara aku juga macan tadi hampir makan kita," kata Hasan dengan menyesal. "Aku bahkan gak tau kalau di luar hutan benaran ada sesuatu atau tidak. Kita mungkin saja hampir mati tadi hanya untuk sia-sia, aku minta maaf sudah nyusahin kamu."
"Sudah, gak apa-apa," Ari menenangkan Hasan sambil menepok-nepok pundaknya. "Semua orang pasti membuat kesalahan kalau ada macan di mukanya. Kamu juga jangan mikir ini sia-sia, itu kan alasan kenapa kita mulai perjalanan ini. Untuk nyari tahu apa yang di luar desa kita, bukan? Kita gak akan tahu sampai dicoba. Aku ikut bukan cuma untuk jagain kamu doang, aku juga mau cari jawaban-jawaban. Jadi jangan mikir kalau kamu nyusahin aku doang ya." jelas Ari.
"Benaran, Ri?" tanya Hasan.
"Iya, benar, sudah tenang saja." Ari meyakinkan Hasan. "Ayo, kita cari tempat istirahat lagi, masih malam ini."
Hasan dan Ari pun menemukan tempat istirahat yang aman dan berhasil untuk melihat matahari terbit lagi. Tetapi dengan tertinggalnya persediaan makan mereka, mereka sekarang harus memulai berburu untuk mendapatkan makanan.
Hasan menasihati untuk tidak memakan tanaman yang ada di hutan karena tidak tahu mana yang beracun dan mana yang tidak. Setelah berjam-jam mencari makan, mereka akhirnya menemukan rusa yang sedang sendirian di antara pohon-pohon tinggi menjulang.
"Ah!" teriak Ari ketika rusa yang ia sedang buru melarikan diri. "Gak kuat lagi aku, itu padahal binatang yang satu-satunya ada di sini,"
"Sudah, gak apa-apa, aku juga sudah gak kuat lagi berburu," jawab Hasan. "Kayaknya kita malam ini gak makan, masih tahan kan kamu?" tanya Hasan dengan lemas. "Kita istirahat saja dulu di sini sampai pagi, biar gak buang-buang energi lagi."
Menunggu cahaya pagi datang lagi rasanya seperti menunggu selama seabad. Kondisi mereka tidak semakin membaik saat bangun, untuk berdiri saja rasanya memerlukan seluruh tenaga, Ari juga mengeluh bahwa ia merasakan sakit kepala setelah bangun tidur.
Perasaan putus asa mulai mendatangi Hasan dan Ari. Hutan ini terlihat seperti tidak ada habis-habisnya. Dengan perut kosong dan mata buram, setiap langkah terasa berat sekali. Tapi mereka tetap teguh, mereka tidak mau perjalanan ini menjadi sia-sia. Setelah mempertaruhkan nyawa mereka untuk keluar hutan, mereka tidak mau berhenti di sini saja. Dan pada akhirnya, keteguhan mereka pun terbalas. Mereka melihat cahaya datang menyinari pohon-pohon gelap di hutan.
"Ari! Ari! Lihat tuh!" teriak Hasan dengan penuh kegembiraan sambil menunjuk cahaya tersebut. "Hahaha! Lihat, Ri!" Hasan dan Ari langsung berlari ke sumber cahaya. Pohon-pohon lebat hutan mulai menghilang semakin jauh mereka lari. Sinar matahari yang redup akibat dedaunan tebal sekarang mulai terang lagi. Setelah berlari sejenak, mereka akhirnya berhasil keluar hutan.
Pemandangan yang dilihat oleh Hasan dan Ari ketika keluar dari hutan tersebut pasti akan teringat sepanjang hidupnya. Â Mereka melihat rumah-rumah yang tingginya berkali-kali lipat dari semua rumah yang pernah mereka lihat. Terlihat pula sebuah makhluk berkaki empat dengan kakinya yang berbentuk bulat melintasi jalanan dengan sangat cepat. Ari menengok ke kanan dan melihat sebuah papan besar dengan orang yang sedang bergerak-gerak di dalamnya. Hasan menengok ke atas dan melihat sebuah burung raksasa terbuat dari besi yang bisa terbang tanpa mengepakkan sayapnya
"Sampai juga kita," kata Hasan dengan lembut dan lelah.
"Luar biasa... " balas Ari dengan kagum sambil ia memandang segala sesuatu yang ada di tempat baru ini. "Ini semua benda apa?"
"Gak tau juga, Ri" jawab Hasan. "Tapi aku mau mencari tahu tentang semuanya."
"Bayangin kalau kita bisa bawa semua ini balik ke desa," Ari berkata dengan senyuman lebar di mukanya. "Aku gak habis pikir ada kehidupan sebesar ini di luar desa kita."
"Haha, iya," balas Hasan. "Ternyata kita cuma butuh keberanian sedikit saja ya untuk bisa sampai sini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H