Pada saat kita menentukan kriteria atau indikator pada setiap tahap pencapaian itulah, kita melibatkan peserta didik. Mereka tahu sejak awal apa saja yang harus dilakukan jika ingin memperoleh capaian tahap mahir.
Cara ini sangat menyenangkan peserta didik. Mereka sangat antusias melakukan proses dan berusaha memperoleh capaian tahap mahir. Tidak ada peserta didik yang menginginkan pencapaian rendah (baru berkembang). Semua siswa ingin mencapai minimal cakap.
Pelibatan peserta didik bukan hanya melaksanakan proses sesuai dengan tahap tetapi juga merancang indikator tahap pencapaian. Inilah yang menurut Paulo Freire disebut sebagai humanisasi, yaitu melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Menjadikan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran. Mereka bisa mengukur diri mereka sendiri.
Beberapa Alasan Teknik Kinerja Digunakan Dalam Assmen
Banyak alasan kenapa penulis menggunakan teknik kinerja untuk asesmen
Teknik Kinerja Menilai Kualitas ProsesÂ
Pendidikan bukan pertama-tama hasil melainkan proses pembentukan atau pengembangan. Orang mengatakan pendidikan adalah proses yang membuat seorang siswa dari tidak tahu menjadi tahu; dari kurang tahu menjadi tahu. Pencapaian berupa kompetensi dan karakter tidak dicapai sesaat setelah peserta didik menyelesaikan sebuah lingkup materi; melainkan setelah proses pembelajaran diselesaikan. Yang dimaksud dengan pembelajaran adalah aktivitas yang melibatkan koqnitif, afektif dan psikomotorik. Dan pelibatan itu dilakukan melali berbagai metode, pendekatan dan strategi.
Setelah pembelajaran itu diselesaikan, seorang guru akan melakukan asesmen untuk mengukur keterlaksanaan dan ketercapaian pembelajaran tersebut. Untuk mengukur keterlaksanaan dan ketercapaian pembelajaran tersebut seorang guru membutuhkan alat ukur. Nah alat ukur untuk asesmen itu sangat beragam, antara lain.
- Tes tertulis
- Tes lisan
- Portofolio
- Kinerja
Selama ini kebanyakan guru menggunakan satu alat ukur yaitu tes tertulis. Tes tertulis ini menjadi alat ukur yang seolah-olah favorit karena paling banyak digunakan guru dari zaman ke zaman. Padahal tes ini telah menyebabkan siswa takut, dan nervous. Seorang siswa memberi kesaksian, "Saya mencontek karena saya takut hasilnya jelek"
Nah ungkapan ini mengindikasikan bahwa tes tertulis lebih banyak mengukur koqnitif, dan cenderung hafalan (Level 1). Teknik tes ini menyebabkan siswa takut dan tidak jarang belajar sampai larut malam, dan masih juga mencontek. Suasana saat tes tertulis, tegang. Siswa diawasi seperti seorang polisi mengawasi pengendara sepeda motor yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.