"Eh? Eh?" kedua berandalan itu kehilangan kepercayaan diri, wajah mereka menjadi pucat seketika.
"Haha, ayolah lebih bersemangat!" katanya. Udin kembali menepuk bahu kedua begundal dan "BRUAAAAAAK!" tiba-tiba aspal yang berada di bawah kaki para penjahat itu rompal. Kini, mereka tak bisa lolos lagi, kedua penjahat itu terbenam di dalam tanah setinggi dada. Mereka terlihat seperti korban rajam.
"Waaaaa! Waaaaaa! Mamaaaaaa! Toloooong!" habis gelap terbitlah terang, setelah kedua penjahat itu membuat anak orang menangis, kini mereka sendiri yang menangis karena sama sekali tak bisa bergerak. Pilihan mereka hanya dua: dicemooh oleh setiap orang yang berlalu atau dibawa ke kantor polisi. Sayangnya, tak ada yang mau menelepon polisi selarut itu, mungkin besok pagi. Jadi, untuk sementara mereka harus menetap pada pilihan pertama.
"Aaaaa~ tukang batagor hebat 'deh, aku terharu sekali," ujar salah seorang mahasiswa berbadan kekar namun berhati barbie.
"Ihhhhh, aku gemas deh sama kamu. Aku boleh minta nomor telepon kamu?" ujar seorang yang lain.
"AAAAAAAAHHHHHHHHHHHH! Menyingkirlah kaliaaaaaan! Pulang sana, kalau perlu kembali lagi saja ke perut ibu kaliaaaaaan!" Udin lebih takut menghadapi kedua mahasiswa tersebut daripada para berandalan. Ia jijik setengah mati hingga membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ih, tukang batagor jahaaat. Setidaknya, katakan siapa namamu seperti di film-film superhero, agar lebih romantis, hihihi~"
"UAAAAAAHHHH! Baiklah, baiklah. Mulai sekarang, panggil aku... Tukang Batagor... Z!" Udin sedikit lebih percaya diri, ia yakin dengan begitu nama baiknya akan melonjak dan dagangannya menjadi super laku.
"Aaaaaa~ Tukang Batagor Z! Keren! Tapi wajahnya biasa saja, ya? Hihihi~"
"Anak setaaaaan, kalian mau kutanam juga di dalam tanah?"
"Aaaaa~ lari yuk! Yuuuuuk~" kedua mahasiswa itupun pergi sambil mengedipkan sebelah mata kepada Udin. Kau bisa membayangkan betapa jijiknya ekspresi Udin saat itu, digombali kambing sepertinya jauh lebih menyenangkan baginya.