Pengelolaan tanah di Indonesia masih jauh dari optimal dalam mendukung kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa.Â
Tanah merupakan salah satu aset vital dalam upaya pemenuhan berbagai kebutuhan negara. Sebagai negara terbesar nomor 15 di dunia, Indonesia memiliki sumber daya tanah yang melimpah. Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan tanah. Salah satu tantangan besarnya adalah keberadaan tanah telantar. Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, tercatat sekitar 10 juta hektar tanah telantar di Indonesia pada tahun 2023. Tanah ini mencakup lahan yang tidak dimanfaatkan secara produktif seperti pada sektor pertanian, perkebunan, serta pembangunan.Â
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia belum memiliki sosok "land manager" yang khusus bertanggung jawab mengelola tanah secara terpadu. Pemerintah kemudian menginisiasi pembentukan Badan Bank Tanah. Selain pengelolaan tanah, Badan Bank Tanah sangat dibutuhkan negara untuk membantu meningkatkan ketahanan pangan serta meningkatkan penanaman modal asing.
Optimalisasi Pengelolaan Tanah
Pengelolaan lahan yang efisien dan terarah menjadi salah satu kunci dalam mendorong pemanfaatan sumber daya tanah untuk kepentingan yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan adanya data dan manajemen terpadu yang dimiliki, Badan Bank Tanah dapat memastikan lahan tidak idle yang digunakan untuk kebutuhan prioritas bagi masyarakat yang membutuhkan.Â
Efisiensi ini mampu meningkatkan produktivitas ekonomi, baik pada skala mikro maupun makro. Data yang akurat dan up to date mengenai potensi dan kondisi lahan menjadi dasar pengambilan keputusan yang tepat dalam mengalokasikan lahan. Selain itu, manajemen terpadu yang efektif memungkinkan integrasi berbagai kepentingan, seperti pertanian, permukiman, dan infrastruktur, sehingga meminimalkan konflik penggunaan lahan.
Peningkatan Cadangan Pangan Negara Melalui Agroforestry
Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa jumlah orang yang mengalami kelaparan terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Menurut State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) Tahun 2022, populasi penduduk dunia mengalami kelaparan hampir 30% atau setara dengan 2,4 miliar.Â
Tanpa terkecuali Asia. Berdasarkan Pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan mencapai 1,3% per tahun atau 3 juta jiwa per tahun yang berimplikasi langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.Â
Isu ketahanan pangan nasional terus menjadi topik strategis di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari pemberian bantuan sosial hingga pengembangan food estate yang digadang-gadang sebagai solusi menuju zero hunger. Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki kekayaan hutan yang melimpah dengan total luas mencapai 120,33 juta hektar, ketergantungan terhadap impor pangan masih tinggi.Â
Data BPS mencatat, pada tahun 2023 Indonesia mengimpor 2,53 juta ton beras dan 4,55 juta ton gula dari negara tetangga. Padahal, dengan luas hutan yang besar tersebut, Indonesia seharusnya mampu mengoptimalkannya untuk meningkatkan produksi pangan secara mandiri.Â
Kebijakan hutan untuk ketahanan pangan yang diatur dalam PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan membuka peluang strategis bagi optimalisasi tanah dalam kawasan hutan. Dalam aturan ini, tanah yang dapat dimanfaatkan mencakup lahan yang telah dibebani persetujuan perhutanan sosial maupun tanah objek reforma agraria (TORA).Â
Peran Badan Bank Tanah menjadi sangat vital dalam mendukung implementasi kebijakan ini, khususnya sebagai penyedia dan pengelola tanah TORA. Dengan mandat untuk mendistribusikan tanah secara tepat guna, Badan Bank Tanah dapat memastikan lahan yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk food estate.Â
Sehingga mendukung ketahanan pangan nasional sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor. Integrasi antara regulasi, pengelolaan lahan, dan food estate ini diharapkan menjadi solusi konkret untuk mendorong pemanfaatan sumber daya tanah yang berkelanjutan.
Badan Bank tanah juga dapat bersinergi dengan Kementerian ATR/BPN bagian penataan agraria untuk terlibat mendistribusikan tanah, seperti pemberian akses kepada petani kecil atau masyarakat adat salah satunya. Inisiatif ini meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Potensi Peningkatan Foreign Direct Investment (FDI)
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia sebesar 18,6% pada tahun 2024, mencapai rekor tertinggi IDR 232,7 triliun. Angka ini memberikan gambaran positif tentang prospek penanaman modal asing di Indonesia.Â
Dalam hal ini, peran Badan Bank Tanah menjadi strategis dengan memastikan ketersediaan lahan bagi investor, menciptakan kepastian hukum, serta meningkatkan aksesibilitas lahan. Langkah ini berpotensi menarik investasi asing di sektor manufaktur, properti, dan pariwisata, yang tidak hanya mempercepat pertumbuhan ekonomi tetapi juga menambah nilai aset strategis Indonesia di masa depan.
Selain itu, Badan Bank Tanah memiliki peran penting dalam menstabilkan harga tanah melalui pengelolaan persediaan atau stok lahan. Upaya ini mampu mencegah terjadinya spekulasi berlebihan yang seringkali memicu lonjakan harga, meningkatkan biaya produksi, dan akhirnya menghambat arus investasi di Indonesia. Dengan pengelolaan yang tepat, Badan Bank Tanah dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan berkelanjutan.
Tantangan dan Peluang KedepanÂ
Saat ini, Badan Bank Tanah cenderung lebih memprioritaskan efisiensi administrasi tanah untuk mendukung proyek-proyek pemerintah dan investasi besar. Namun, fokus tersebut kurang sejalan dengan misi UUPA dan Perpres 63 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria.Â
Ada kekhawatiran bahwa kelompok marjinal, seperti petani kecil dan masyarakat adat, tidak mendapatkan akses lahan yang proporsional. Sehingga mereka berisiko semakin terpinggirkan dalam distribusi tanah yang seharusnya berkeadilan.
Menurut Nazir Salim, S.S., M.A, Dosen Reforma Agraria dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, "Jangan sampai penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh negara melalui Bank Tanah berpotensi menimbulkan monopoli yang justru menghambat asas keadilan agraria, karena Badan Bank Tanah lebih terlihat sebagai lembaga yang mengelola untuk kepentingan pasar".Â
Hadirnya Bank Tanah sebagai sui generis memberikan peluang strategis bagi pengelolaan tanah di Indonesia. Badan Bank Tanah diharapkan dapat menciptakan tata ruang yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan, meningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional, serta menarik minat investor asing untuk berinvestasi di sektor pertanian dan perkebunan. Sehingga peran badan ini sangat krusial karena mampu mengolah sumber daya tanah yang ada secara maksimal guna memenuhi berbagai macam kebutuhan negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI